Food Insecurity di Negara Agraris, Mengapa Bisa Terjadi?


MutiaraUmat.com -- Mengutip berita dari Kominfo.go.id, berlandaskan informasi Global Food Security Index (GFSI), indikator ketahanan pangan Indonesia pada tahun 2022 berada pada skor 60,2 atau pada peringkat 63 dari 113 negara di dunia. Skor ini menunjukkan bahwa Indonesia berada di tingkat ketahanan pangan yang rendah. 

Terkait dengan berita di atas, berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO), The State of Food Security and Nutrition in The World, Indonesia tercatat sebagai negara dengan jumlah penduduk kurang gizi tertinggi di kawasan Asia Tenggara.

Data ini miris dibaca. Bagaimana bisa negara dengan julukan 'gemah ripah loh jinawi' ini mengalami tingkat ketahanan pangan rendah yang berdampak sangat besar pada kesehatan masyarakatnya?

Selain akibat dari kurangnya lahan pertanian karena alih fungsi lahan yang sangat masif dan jumlah SDM yang bergelut di bidang pertanian juga semakin menurun, ternyata ada sebuah aturan internasional yang sangat buruk dan menjadi biang keladi rusaknya sistem pengadaan pangan di Indonesia.

Pada tahun 1994, Indonesia bergabung dengan World Trade Organization (WTO) dan ikut menandatangani Agreement on Agriculture (AoA), yakni sebuah perjanjian pertanian yang resmi diberlakukan sejak 1 Januari 1995. Tujuan dibuatnya AoA adalah untuk mewujudkan perluasan akses pasar pangan antar negara anggota. Untuk mencapai tujuan ini, ada beberapa klausul yang jika dilihat, terbukti merugikan negara-negara anggota yang berstatus sebagai negara berkembang.

Dalam AoA, setidaknya terdapat tiga poin yang jelas dapat menggembosi ketahanan pangan dalam negeri. Pertama, akses pasar; yakni kewajiban negara anggota untuk menurunkan tarif dasar impor pertanian. Kedua, dukungan domestik; di mana negara-negara anggota diwajibkan membatasi subsidi pemerintah di sektor pertanian dalam negeri. Ketiga, subsidi ekspor; perjanjian ini juga meminta para negara anggota untuk membatasi bahkan menghapus subsidi ekspor produk pertanian.

Butir-butir perjanjian ini dibuat berdasarkan anggapan bahwa keamanan pangan dunia akan teratasi dengan menerapkan liberalisasi dagang, privatisasi dan membuka pasar. Tak heran mekanisme perdagangan di sektor pertanian sangat berorientasi pasar. Walaupun pada AoA ada keringanan untuk negara maju dan negara miskin untuk menerapkan pemotongan subsidi, nyatanya tetaplah negara AS dan Eropa yang meneguk keuntungan dari kebijakan ini. Pasalnya AS dan Eropa secara serempak menjaga produksi pangan mereka dengan siasat menyelewengkan tarif.

Menurut keterangan Oxfam, pemberian subsidi secara ilegal telah dilakukan AS dan negara-negara Uni Eropa pada produk pangan seperti beras, jagung, tomat dan tembakau. Eropa menganggarkan 38% dari keseluruhan anggaran mereka pada sektor pertanian. Begitupula dengan AS yang mengeluarkan 100 milyar USD per tahun di sektor yang sama. Tahun 2019, komisi Uni Eropa mengeluarkan laporan yang mengatakan bahwa negara-negara Eropa menjadi eksportir pangan dan pertanian terbesar di dunia (Keamanan Dan Kedaulatan Pangan Dalam Studi Hubungan Internasional, Dina Yulianti).

Sangat nampak ketidakadilan ini. Di satu sisi mereka melarang subsidi pemerintah pada petani lokal yang membuat petani lokal makin terseok, sedangkan mereka, para negara adidaya itu justru menggelontorkan dana besar untuk pertanian mereka. Bayangkan hasil produksi pangan mereka jika bertemu di pasar internasional, tentu produk-produk hasil subsidi akan menang karena dapat menekan biaya produksi. Bahkan sangat memungkinkan produk pangan impor dapat menjatuhkan harga produk lokal di negara-negara berkembang.

Kini di Indonesia, sedang terjadi kenaikan harga beras secara signifikan di tengah derasnya arus impor. Sebagai bahan pokok pangan di Indonesia, kenaikan harga beras telah menambah jumlah penduduk yang masuk kategori miskin. Kenaikan harga beras akan menaikkan jumlah pengeluaran hanya untuk beras saja dan berdampak dengan ditekannya pengeluaran pada kebutuhan pangan lainnya, seperti kebutuhan akan protein. Maka tak heran angka gizi buruk pun kian melesat.

Fakta ini jelas membuktikan bahwa ide-ide liberal yang lahir dari kandungan ibu kapitalisme tidak bertujuan sama sekali dalam mengentaskan masalah keamanan pangan dunia. Tujuan mereka tentu menjadikan rakyat negara berkembang seperti Indonesia hanya sebagai sapi perah untuk menguntungkan para pemilik modal.

Berbanding terbalik dengan sistem ekonomi Islam, di mana Khalifah sebagai kepala negara tidak mengikuti perjanjian-perjanjian batil yang justru mengisap darah rakyatnya sendiri. Dalam sistem Islam, pemberian subsidi di berbagai bidang esensial seperti pangan, kesehatan dan pendidikan wajib diberikan tanpa memandang aspek bisnisnya. Karena dalam Islam, pemimpin bertugas mengurus dan bertanggung jawab terhadap rakyat.

"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya" (HR al-Bukhari). 

Pemimpin dalam Islam tidaklah berperan sebagai pedagang bagi rakyatnya. Selain pemberian subsidi pada bahan-bahan pertanian, Khalifah juga membiayai para ahli pertanian untuk mengadakan riset guna memajukan sektor pertanian, seperti pengadaan benih unggul, pupuk dan obat-obatan serta alat-alat pertanian yang akan mempermudah dalam mengelola tanah. Upaya ini selain bertujuan mengokohkan kedaulatan pangan dalam negeri, juga demi menekan aliran produk impor karena daulah Islam tidak akan membiarkan kebutuhan krusial daulah berada di tangan asing, negara kafir harbi.

Jika telah nyata bobroknya sistem kapitalisme, mau sampai kapan kita menerapkan sistem ini? Bukankah kini saatnya kita berjuang untuk beralih ke sistem Islam?

Wallahu a'lam bishshawab. []


Honesta Jocelyn
Aktivis Lingkar Studi Muslimah Bali

0 Komentar