Dua Hal Pemicu Gangguan Mental dalam Pesta Demokrasi


MutiaraUmat.com -- Direktur Utama Pusat Kesehatan Jiwa Nasional DR Dr Nova Riyanti Yusuf, SpKJ mengatakan calon legislatif (caleg) yang mencalonkan diri namun tanpa tujuan yang jelas, kemudian kalah, terlilit utang atau kecewa berat hingga depresi rentan mengalami gangguan mental hingga berakhir bunuh diri. (kompas.tv, 12/12/2023)

Dilansir detik.com (16/12/2023) memberitakan, Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Oto Iskandardinata (Otista) berencana menyiapkan ruangan bagi calon anggota legislatif (caleg) yang stres atau depresi pasca pemilihan. Hal tersebut dilakukan berkaca dari beberapa daerah yang terjadi kasus tersebut

Tidak hanya di Bandung, Pemerintah Kota Jakarta Pusat (Pemkot Jakpus) menyediakan fasilitas dan layanan kesehatan jiwa di pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) dan rumah sakit (RS) bagi peserta Pemilu 2024 yang gagal terpilih. Langkah ini sebagai antisipasi jika ada calon anggota legistalif alami gangguan kejiwaan karena adanya harapan tinggi yang tidak terpenuhi, sementara segala upaya dan sumber daya sudah dilakukan. (detik.com, 26/1/2024)

Fenomena stres hingga depresi membuktikan bahwa Pemilu dalam sistem hari ini rawan mengakibatkan gangguan mental. Kerawanan gangguan mental itu setidaknya disebabkan oleh dua hal,

Pertama, faktor sistem demokrasi yang dijadikan sebagai sistem pemerintahan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sistem demokrasi memiliki mekanisme pemilihan pemimpin, yaitu dengan cara pemilihan langsung oleh rakyat untuk memilih calon kepala negara dan anggota legislatif secara langsung. Sebelum model pemilihan langsung, pemilihan kepala negara dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). DPR sendiri dipilih oleh rakyat dengan mekanisme pemilihan umum. Pemilu dalam sistem demokrasi membutuhkan biaya tinggi (modal besar). Pasalnya, kontestasi pemilu harus melakukan kampanye yang tentu membutuhkan ongkos yang tidak sedikit. Sehingga, mereka pasti membutuhkan perjuangan dengan mengerahkan segala macam cara untuk meraih kemenangan.

Dikutip dari www.eranasional.com menurut Lembaga Penelitian  Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPM FE UI) modal menjadi caleg cukup variatif. calon anggota DPR RI sebesar 1 miliar hingga 2 miliar rupiah. Calon anggota DPRD provinsi sebesar 500 juta hingga 1 miliar rupiah dan calon anggota DPRD kabupaten atau kota sebesar 250 juta hingga 300 juta rupiah. Hal inilah yang bisa menjadi pemicu stres bagi para caleg yang gagal dalam Pemilu.

Apalagi hari ini, jabatan menjadi impian masyarakat. Karena dianggap dapat menaikkan harga diri (prestise) juga jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan kemudahan atau fasilitas lainnya.

Kedua, faktor individu yang memiliki kepribadian yang lemah. Padahal, kekuatan mental seseorang akan menentukan sikap seseorang terhadap hasil pemilihan. 

Hal tersebut tentu dipengaruhi oleh sistem pendidikan yang diterapkan di negeri ini. Faktanya, sistem pendidikan sekuler-kapitalis telah gagal membentuk individu berkepribadian kuat dan mulia. Sistem pendidikan ini mutlak memisahkan aturan agama dari kehidupan dalam penyusunan kurikulumnya. Akibatnya, masyarakat tidak memahami hakikat dirinya sebagai hamba Allah Ta'ala dan bagaimana menyikapi setiap persoalan kehidupan sesuai dengan syariat Islam.

Bobroknya sistem pendidikan sekuler- kapitalis telah terbukti dengan meningkatnya kasus gangguan mental di masyarakat. Inilah akar persoalan mudahnya gangguan mental terjadi pada saat pesta demokrasi, yakni penerapan sistem demokrasi sebagai sistem pemerintahan di negeri ini.


Islam Pencetak Individu Berkualitas Unggul

Oleh karena itu, butuh sistem alternatif yang mampu mencetak individu berkualitas unggul dan dengan sistem politik yang sederhana serta menjamin terwujudnya kebaikan di tengah umat. Sistem yang dimaksud adalah sistem politik Islam, yaitu Khilafah Islamiyah.

Islam memandang kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Ta'ala kelak dan harus dijalankan sesuai ketentuan Allah dan RasulNya. Dalam khilafah, akan dilakukan pemilihan wakil umat yang akan bergabung dalam lembaga yang disebut Majelis Umat. 

Majelis umat tidak berperan menjalankan pemerintahan, tetapi merupakan wakil umat dalam melakukan muhasabah (koreksi) dan kontrol dan syura (musyawarah). Pemilihan Majelis Umat mutlak dilakukan melalui Pemilu dan tidak diangkat melalui penunjukan. Karena Majelis Umat merupakan representasi masyarakat, maka mereka adalah sosok yang berkepribadian Islam yang kuat, amanah dan memahami tanggung jawabnya di hadapan Allah SWT.

Generasi dengan sosok seperti ini, hanya lahir dalam sistem Islam. Di masa Rasulullah SAW saat menjadi kepala negara di Madinah, beliau sering menunjuk beberapa sahabat dalam mengambil pendapat. Di antara mereka adalah Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman Al-Farisi dan Hudzaifah ra. Sahabat-sahabat inilah yang merupakan anggota Majelis umat.

Realitas Majelis Umat juga diambil dari perlakuan khusus Abu Bakar terhadap beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Ansor saat beliau menjadi khalifah. Ahlus Syura pada masa Abu Bakar adalah para ulama dan orang-orang yang ahli dalam masalah fatwa. 

Adapun dalam hal pengangkatan kepala negara, Islam telah menetapkan metode baku, yaitu bai'at syar'i. Imam an-Nawawi dalam kitabnya Nihaya al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj juz VII halaman 390 telah berkata,

"Akad Imamah (Khilafah) sah dengan adanya bai'at atau lebih tepatnya bai'at dari Ahlul halli wal 'aqdi yang mudah untuk dikumpulkan."

Seorang calon pemimpin akan di_baiat_ jika mendapatkan dukungan umat. Dukungan tersebut tak harus berupa Pemilu langsung yang menghabiskan uang negara, dukungan rakyat bisa diperoleh melalui metode perwakilan, yaitu rakyat memilih wakilnya lalu wakil umat ini, yakni Majelis Ummah yang memilih penguasa. Tidak menutup kemungkinan, Pemilu dalam Islam bersifat langsung. Namun pemilihan langsung bukanlah metode, melainkan teknis yang bersifat opsional atau mubah. Metode baku menurut syariat adalah baiat.

Islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari. Dalilnya adalah ijma sahabat pada pem_baiat_an Abu Bakar ra. yang sempurna di hari ketiga pasca wafatnya Rasulullah SAW. Batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye. Sehingga tidak perlu kampanye akbar yang akan menghabiskan uang dalam jumlah besar. Teknis pemilihan juga akan dibuat sederhana. Sehingga dalam waktu tiga hari, Pemilu sudah selesai.

Selain sistem pemilihan pemimpin yang sederhana, khilafah memiliki sistem pendidikan yang menghantarkan individu menjadi orang yang memahami kekuasaan adalah amanah dan beriman pada qadha dan qadar yang telah diterapkan Allah Ta'ala. Sistem pendidikan ini juga mampu melahirkan individu yang selalu dalam kebaikan. Karena selalu bersyukur dan bersabar. Sehingga terhindar dari gangguan mental. Inilah mekanisme pemilihan pemimpin dalam Islam yang efektif dan mampu menghasilkan pemimpin berkualitas. []


Nabila Zidane
Jurnalis

0 Komentar