Direktur Forkei: Produk Perundangan-Undangan Makin Pro Oligarki

MutiaraUmat.com -- Terkait dugaan adanya oligarki dibalik calon presiden dan wakil presiden 2024, Direktur Forum Kajian Kebijakan Energi Indonesia (FORKEI) Agus Kiswantono, mengatakan, makin ke sini, produk perundang-undangan yang ada di Indonesia semakin pro dengan oligarki. 

"Kita bisa memperhatikan apakah negara ini berkuasa hanya sekadarnya ataukah negara ini sebagai pengatur dengan segala potensi yang ada di Indonesia ini. Makin ke sini, produk perundang-undangan yang itu persentasi dari berbagai perspektif kehidupan yang ada di Indonesia ini makin pro dengan oligarki," tuturnya dalam video Gempar! Ada Oligarki Tambang dan Energi di Kubu Capres Cawapres? Di kanal YouTube Khilafah News, Senin (5/2/2024) 

Agus menambahkan, fungsi dari control dari negara yang ada makin terpinggirkan, oleh karena itu yang terjadi sekarang ini antara perundang-undangan dengan aturan yang lama atau yang baru, terjadi kejomplangan dalam hal keberpihakan. Oleh karena itu ia meastikan bahwa ada yang bermain dalam rangka untuk mengatur Indonesia, yang dominan bukan negaranya tetapi yang dominan di luar negara (oligarki). 

Dia menyarankan, kedepan negara Indonesia harus merepresentasikan kepentingan dari masyarakat Indonesia dengan memegang kewenangannya sehingga kewenangannya yang akan menjadi simbol kekuatan untuk mengatur bukan diatur. 

Problem Pertambangan 

Lebih lanjut, mengemukakan, masalah pertambangan bukan hanya diujung (hilir) tetapi pertambangan harusnya diimbangi dengan bagaimana materi regulasinya itu jelas. 

"Contoh yang dulunya ada bekas galian itukan ada dua pilihan mau melakukan peremajaan atau mau ditinggalkan atau seperti apa jadi itukan ada galian-galian dan di eksploitasi sangat luar biasa sementara regulasinya itu mengatakan ya tidak ada masalah dipilih salah satu saja, jadi kalau regulasinya masih seperti itu," terangnya. 

"Belum ada satu keberpihakan maupun belum ada satu revisi terkait dengan undang-undang minerba maka bisa kita pastikan apalah artinya program tanpa adanya dukungan dari undang-undang. Program hanya sekadar program sementara aktualisasinya perlu perlindungan dalam bentuk perundang-undangan. Sehingga apa yang ada di program itu tong kosong nyaring bunyinya, tidak ada artinya, tidak ada keinginan yang signifikan yang serius untuk melakukan revisi terkait dengan materi undang-undang belum lagi UU minerba, UU Ciptaker atau Omnibuslaw," paparnya. 

Dia menilai, problematika yang ada di Indonesia ini sangat luar biasa apalagi masalah tambang. Salah satunya Nikel, potensi Nikel yang sangat luar biasa, Indonesia sumber daya Nikel mencapai 17,7 miliar ton biji. Kalau itu di smelter maka totalnya bisa mencapai 177,8 juta ton logam, dengan jumlah cadangan 5,2 miliar ton biji kemudian 57 juta ton logamnya. 

Cadangan Nikel yang terbesar ini letak permasalahannya ada pada pengelolaan. Masalah pengelolaan berarti masalah goodwill berarti, adakah keinginan yang signifikan bukan hanya sekadar program-program. Kalau program saja ibaratnya hanya jualan, kalau jualan seperti kampanye seperti ini ya. Semua bisa tetapi actionnya seperti apa, dampaknya bagaimana, keinginan dari regulasi bagaimana? Tiga hal itu yang coba kita kritisi serius. Masing-masing dari yang memaparkan program," paparnya. 

"Kalau hanya sekadar program semua pada bisa tetapi apalah artinya mana kala dieksekusi lemah, tiada daya ini adalah doman dari negara," pungkasnya. [] Alfia Purwanti

0 Komentar