Dalam Demokrasi, Tetaplah Oligarki Pemenangnya

MutiaraUmat.com -- “Banyak jalan menuju Roma“. Pepatah ini sejalan dengan apa yang tengah diusahakan oleh para pejuang politik pemilihan umum (pemilu) demokrasi hari ini untuk bisa meraih kursi kekuasaannya, khususnya pemilihan badan legislatif. Karena dalam pandangan sistem demokrasi kekuasaan menjadi tujuan yang akan diperjuangkan dengan segala macam cara. Oleh karena itu setiap peluang akan dimanfaatkan.

Sebagaimana pemberitaan oleh pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan (PPATK) mengungkapkan adanya aliran dana dari luar negeri sebesar Rp.195 milyar ke 21 rekening bendahara partai politik sepanjang 2022-2023. Selain itu PPATK juga menerima laporan dari IVTI yang menyebutkan bahwa diantara penerima aliran dana asing terdapat 100 orang dalam daftar calon tetap, hal tersebut dibuktikan dengan adanya temuan oleh PPATK sehubungan dengan bertambahnya  pembukaan rekening baru menjelang pemilu 2024. Kepala PPATK Ivan Yusdian Fandana, menduga pembukaan rekening tersebut boleh jadi berkaitan dengan kontestasi politik, ada 704 juta rekening baru terbuka. Itu dibuka oleh koorporasi 53 juta, lalu oleh individu 650 juta. Ini tidak ada yang salah ungkap Ivan dalam konfresi pers di kantor PPATK, Jakarta di kutip kamis (MMC, 11/1/2024).

Kontestasi pemilu saat ini berpontensi sarat kepentingan karena adanya aliran dana pemilu dari berbagai pihak termasuk asing. Di balik pendanaan tersebut akan memungkinkan tergadainya kedaulatan negara sehingga pemimpin yang terpilih tidak lagi mengurusi rakyat, melainkan memuluskan agenda-agenda pihak yang telah memberi pendanaan. Hal ini tentunya perlu diwaspadai. Apalagi sejatinya kondisi tersebut sudah nyata terjadi. Misalnya pembangunan kereta api cepat, proyek Rempang Eco City dan pembangunan infrastruktur lainnya.

Belum lagi korporat swasta semakin beringas mengeruk kekayaan negeri ini melalui UU minerba yang liberal, juga banyaknya kepentingan intervensi asing bahkan yang melahirkan konflik kepentingan di tengah-tengah masyarakat, kesemuanya itu adalah sebuah keniscayaan akan terjadi dalam sistem demokrasi dan akan menelan biaya yang cukup tinggi. Kekuasaa dalam sistem demokrasi dapat diraih berdasarkan suara mayoritas, karena itu diperlukan dana besar untuk meraup suara dan ini kemudian dijadikan peluang oleh para pemilik modal untuk berperan akatif dan berpartisipasi dalam pemilu dan tentunya tidak ada makan siang gratis. Artinya  setelah mengucurkan dana mereka pasti ingin mendapatkan bagian atau yang sudah familiar kita dengar politik balas budi.

Sehingga mengakibatkan parpol dalam sistem demokrasi kehilangan idealismenya bahkan rawan dibajak oleh kepentingan pemodal. Maka sejatinya dalam sistem demokrasi siapapun yang terpilih maka oligarkilah pemenangnya. Hal itu wajar karena sistem demokrasi meniscayakan kebebasan berprilaku. Apalagi sistem ini jelas mengabaikan aturan agama dalam kehidupan. Di sisi lain, kesadaran politik masyarakat rendah, dan karena rendahnya pendidikan dan kemiskinan yang menimpa masyarakat sehingga mereka akan berpikir pragmatis. Akhirnya muda di manfaatkan untuk kepentingan tertentu.

Jika pemilu demokrasi hanya akan melahirkan penguasa oligarki, maka berbeda halnya dengan pemilu dalam Islam yakni khilafah. Pemilu dalam sistem khilafah hanya dijadikan sebagai uslub (cara) bukan metode baku dalam  pengangkatan kepala negara. Dalam Islam metode baku pengangkatan kepala negara adalah bai’at syar’i. Misalnya dalam proses pengangkatan Utsman menjadi seorang khalifah, yang mana pada saat itu khalifah Umar bin Khattab tengah mengalami sakit keras akibat penusukan yang beliau alami.

Sehingga kemudian kaum muslimin meminta beliau untuk menunjuk penggantinya, namun khalifah Umar menolak. Kemudian kaum muslimin terus mendesak hingga beliau menunjuk 6 orang sebagai penggantinya, dan memerintahkan mereka memilih salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah setelah beliau meninggal dalam jangka waktu tertentu maksimal tiga hari, setelah khalifah Umar wafat, calon khalifah itu melakukan pemilihan (ikhtiar) terhadap salah seorang dari mereka menjadi khalifah, hingga terpilihlah Utsman bin Affan sebagai khalifah.

Umat kemudian melakukan baiat in’iqad kepada calon terpilih untuk menjadi khalifah dan dilakukan bai’at tha’at oleh umat secara umum kepada khalifah atas dasar baiat kaum muslimin. Utsman menjadi khalifah bukan ketika proses penunjukan enam orang sebelumya. Adapun sayarat-syarat menjadi seorang khalifah itu ada tujuh syarat agar ia berkompoten dalam memangku tugas ketatanegaraan (kekhilafahan) dan agar bai’at pengangkatan dapat dilakukan. Tujuh syarat tersebut adalah muslim, laki-laki, balig, berakal, adil, merdeka dan mampu mengemban tugas kekhalifahan. 

Dalam sistem khilafah, khalifah dipilih bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia tetapi untuk menjalankan hukum Allah Ta’ala. Kewajiban seorang penguasa (al-hukkam) menerapkan syariat Islam (QS.Al-Maidah:48-49). Penguasa haram menjalalankan hukum yang bukan syariat Islam seperti sistem demokrasi hari ini ( QS. Al-Maidah :44.45,47). Oleh karena itu pemilu dalam khilafah hanya sebagai uslub (cara) memilih pemimpin yang akan menjalankan syariat Islam dan begitu pula proses pemilihan pemimpin berjalan dengan sederhana, efektif, efisien, dan hemat biaya.
 
Di sisi lain Islam juga menetapkan bahwa kekuasaan adalah amanah yang akan dipertanggung jawabkan di hadapan Allah SWT, sehingga penguasa akan mengurus rakyat sesuai dengan hukum syariat. Islam juga akan mewujudkan SDM berkepribadian Islam, termasuk amanah dan jujur. Negara juga akan mengedukasi rakyat dengan nilai-nilai Islam termasuk dalam memilih pemimpin, sehingga umat memiliki kesadaran akan kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Seorang Muslim yang menjadi pemimpin pun jelas berkualitas karena iman dan takwanya kepada Allah serta memiliki kompetensi dan menjalankan kekuasaan semata-mata mengharap rida Allah SWT. 
Wallahu’alam Bishawab


Oleh: WaOde Asham, S.Pd.
Aktivis Muslimah Konawe

0 Komentar