Dalam Demokrasi, Money Politik adalah Sebuah Keniscayaan

MutiaraUmat.com -- Polisi menangkap seorang aparatur sipil negara (ASN) yang berinisial OS yang membagikan uang kepada warga untuk memilih seorang caleg DPRD Cianjur. Dalam penggeledahan di rumah OS polisi menemukan amplop berisi uang dengan spesimen surat suara caleg tersebut.

Tak hanya untuk pemilihan caleg, praktik politik uang terjadi untuk pemilihan presiden di kabupaten Malang Jawa Timur. Seorang caleg berinisial P ketahuan membagikan uang satu juta Kepada 20 warga di desa Putat Kidul dan desa Sepanjang kecamatan Gondanglegi. Uang itu diberikan agar warga memilih salah satu pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Komisioner Bawaslu kabupaten Malang Muhamad Hazairin mengakui pihaknya telah menangani pembagian uang yang videonya sempat viral di media sosial tersebut. Pembagian tersebut diduga dilakukan pada Ahad 11 Februari lalu zairin menyatakan pendapat laporan praktik politik uang tersebut dari kepala desa setempat.

Peneliti dari perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Ihsan Maulana menilai masih maraknya praktik politik uang disebabkan oleh gagapnya para caleg dalam menarik suara pemilih. Alih-alih menjual ide dan gagasan, peserta Pemilu justru mengambil jalan pintas dengan menyebarkan uang agar bisa menang dengan tujuan akhir mengembalikan modal yang telah mereka keluarkan, mengingat mahalnya mahar politik yang telah mereka keluarkan.(koran.tempo.co, 14/2/2024)

Praktik politik uang memang tak akan pernah bisa dihapus dari sistem demokrasi. Sebab sistem ini mensyaratkan kemenangan berdasarkan suara terbanyak dan untuk meraih suara terbanyak tak jarang calon yang ingin meraih kursi kekuasaan menggunakan segala cara hingga menggelontorkan dana besar, memanfaatkan ketenaran dan jabatan ataupun menampakkan diri ke tengah rakyat agar dikenal. 

Maka dalam kondisi ini, pemberian uang, sembako, souvenir dan lainnya dengan disertai janji-janji manis kampanye akan mereka lakukan demi memenangkan hati rakyat. Inilah praktik kotor Pemilu dalam demokrasi. Praktik ini seolah sudah menjadi tradisi dalam sistem pemilihan pemimpin baik di tingkat daerah maupun pusat. Sehingga, pemilihan pemimpin tidak lagi didasarkan pada kualitas dan kepribadian calon pemimpin. Inilah fakta boroknya sistem demokrasi kapitalisme yang lahir dari asas pemisahan aturan agama dari kehidupan (sekularisme).

Dalam sistem sekuler, aturan Islam tidak akan pernah diberi ruang untuk mengatur negara, maka wajar jika segala cara tak peduli halal atau haram akan dilakukan seseorang demi meraih kekuasaan. Lebih lagi, praktik ini pasti akan melahirkan penguasa korup. Sebab mereka wajib balik modal yang digunakan habis-habisan saat kampanye. Rakyat pun hanya dimanfaatkan dan diperalat demi meraih kursi kekuasaan. Pemimpin yang terpilih pun bukan karena kemampuannya, tetapi hasil membeli suara rakyat.

Pemilihan Pejabat Dalam Islam

Hal ini sungguh berbeda dengan pemilihan pejabat dalam sistem Islam, yakni khilafah. Pemilihan pejabat dalam Islam didasarkan pada pandangan politik Islam yang manusiawi dan adil bagi seluruh rakyat, yakni Islam yang berasal dari Allah SWT. 

Islam memandang politik sebagai memelihara urusan rakyat berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum syara' yang rinci. Khilafah meniscayakan adanya Pemilu, hanya saja Pemilu ini berbiaya rendah, efektif dan efisien serta mampu menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Pemilu dalam Islam diperuntukkan untuk mengetahui calon yang menjadi kehendak rakyat dalam memimpin mereka sesuai Al-Quran dan as-Sunnah. Mereka dapat memilih kepala negara atau khalifah dan wakil mereka di Majelis Umat melalui Pemilu.

Tugas Majelis Umat ini adalah menyampaikan aspirasi rakyat dan mengontrol jalannya pemerintahan. Sedangkan kepala daerah baik wali (setingkat gubernur) dan amil (setingkat bupati) diangkat langsung oleh khalifah sehingga tak dibutuhkan Pilkada dalam hal ini. Sistem seperti ini sangat hemat biaya.

Di samping itu, masa tugas khalifah adalah seumur hidup sehingga tidak perlu melakukan pemilihan khalifah yang berulang-ulang selama ia tidak melakukan pelanggaran yang mengharuskan jabatannya dicopot. Dalam pengangkatan khalifah  terdapat hal yang baku, yaitu baiat.

_Baiat_ adalah metode satu-satunya untuk mengangkat khalifah. _Baiat_ mengandung komitmen dari pihak umat untuk menaati khalifah yang di baiat. Adapun khalifah yang di baiat
berkomitmen untuk mengamalkan kitabullah dan sunnah RasulNya di tengah-tengah umat.
(Abdul Qodim Zallum dalam bukunya Nizham al-Hukm fi al-Islam. Beirut: Darul Ummah, 2002  halaman 56)

Islam menetapkan batas maksimal kekosongan kepemimpinan adalah tiga hari. Batas waktu tiga hari ini akan membatasi kampanye sehingga tak perlu kampanye akbar yang akan menghabiskan uang dalam jumlah besar. 

Teknis pemilihan juga akan dibuat sederhana sehingga dalam waktu tiga hari Pemilu sudah selesai. Oleh karena itu, mekanisme pemilihan khalifah dan kepala daerah dalam khilafah adalah sebaik-baik acuan untuk sebuah sistem pemerintahan. Selain praktis mekanismenya syar'i dan dengan biaya yang sangat murah. Sehingga tidak akan ada praktik politik uang.

Hal yang tak kalah penting juga dalam khilafah kepala daerah, yakni wali atau amilyang terpilih, dipilih karena ketakwaan dan kapasitasnya sebagai pembantu khalifah untuk menjalankan seluruh perintah syara', bukan atas dasar kekuatan modal atau dinasti politik dan oligarki yang dipenuhi dengan cara-cara yang kotor dan tidak syar'i seperti yang tampak pada sistem politik demokrasi.

Demikianlah pemilihan kepala daerah dalam khilafah, jauh lebih efisien dan efektif dalam memilih para pemimpin atau kepala daerah yang berkualitas serta tidak menimbulkan mudharat bagi masyarakat.

Oleh: Nabila Zidane
Jurnalis

0 Komentar