Biang Kerok Naiknya Harga Beras di Pasaran


MutiaraUmat.com -- Menelusur data panel harga Badan Pangan Nasional (Bapenas) pada hari Jumat(11/2/ 2024) rerata harga beras jenis premium naik Rp110 menjadi Rp15.700 per kilogram (Kg), untuk harga beras medium turun Rp410 menjadi Rp13.280 per kg. Pemicunya adalah meningkatnya permintaan dan berkurangnya pasokan beras yang tersedia dipasaran. Menteri BUMN Erick Thohir mengungkapkan alasan kenaikan harga beras, “Kalau harga beras melonjak itu bukan di Indonesia, di seluruh dunia. Di seluruh dunia memang harga pangan sedang meningkat” (Antaranews.com, 2024). Alasan tersebut tidaklah serta merta harus diterima, terdapat dua faktor yang berkontribusi, diantaranya faktor alami dan penyimpangan ekonomi terhadap hukum-hukum Islam, seperti permainan harga (ghabn al fâkhisy), penimbunan (ihtikâr), hingga kebijakan liberaliasi yang menjerumuskan bangsa ini kepada ‘penjajahan’ ekonomi.

Kebijakan pemerintah sebagaimana disampaikan Menteri BUMN, adalah dengan mengoptimalkan Bulog untuk menggelontorkan beras stabilisasi pasokan harga pasar (SPHP) sebesar 220 ribu ton dari awal tahun 2024 dan dilanjutkan lagi 250 ribu ton. Kebijakan tersebut, merupakan keputusan yang bersifat normatif dan reaktif. Seharusnya kebijakannya adalah pro-aktif, yakni menghilangkan akar permasalahannya. Bukankah kenaikan harga pangan tidak cuman saat ini? Hampir setiap tahun terjadi, lebih-lebih menjelang bulan Ramadhan dan hari besar Islam. 

Fenomen iklim disebut-sebut juga menjadi alasan yang memberikan kontribusi menurunya produksi pangan. Kepala Bapenas Arief Prasetyo Adi mengungkapkan, “kenaikan harga gabah itu disebabkan oleh produksi padi saat ini menurun akibat cuaca ekstrem El-Nino” (Media Indonesia, 2023). Perubahan siklus ektrem El-nino terjadi 3-4 tahun sekali, sementara kenaikan harga pangan terjadi setiap tahunnya. Artinya ada faktor lain tidak selesainya permasalah tersebut. Hal ini menunjukan adanya kelalaian dan ketidakmampuan pemerintah dalam tata kelola pemenuhan dan ketersediaan pangan bagi rakyat. Seharusnya pemerintah melakukan evaluasi mendasar dan bukan sekedar berkutat pada penyelesaian teknis, seperti impor beras, pendistribusian beras SPHP, bantuan pangan langsung. Dengan kebijakan teknis yang sudah dijalankan tersebut, faktanya harga beras tetap tinggi.

Persoalan mendasar masalah pangan bangsa ini adalah akibat cengkraman bangsa asing terhadap dunia pertanian Indonesia. Semenjak tahun 1990-an pemerintah RI telah mengikuti kebijakan pangan ala neo liberal yang sangat setuju dengan pasar bebas (free-market). Karenanya kebijakan yang diambil tidak berpihak kepada petani atau rakyat, melainkan keperpihakannya kepada kapitalis (imperialis). Contohnya adalah kebijakan yang disepakati dengan IMF dan Bank Dunia secara mendasar sangatlah merusak, diantaranya penurunan tarif impor komoditi pangan bahan pokok (beras, gula, terigu, dll), pengurangan dan penghapusan subsidi, serta pengurangan peran pemerintah dalam perdagangan bahan pangan (seperti dengan merubah peran BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah). Pola-pola tersebut menunjukan bahwa peran pemerintah tidak lebih sekedar sebagai regulator dan fasilitator yang menguntungkan pihak-pihak kapitalis, dan bukan sebagai pelayan urusan rakyat.

Pengurangan dan penghapusan subsisdi dalam bidang pertanian sangat memberatkan petani. Ketiadaan pupuk memberikan dampak buruk bagi keberlangsungan produk pertanian. Petani terpaksa membeli kekurangan pupuk dengan pupuk non-subsidi yang harganya 3 kali lipat lebih mahal. Hasil pertanian pun menjadi tidak maksimal, karena kebijakan komposisi produksi pupuk subsidi mengalami perubahan, contohya pada pupuk NPK Yang sebelumnya komposisi 15-15-15, akan tetapi setalah ada peraturan Direktorat Jendral Prasarana dan Sarana Pertanian Nomor : B-434/SR.340/B/07/2020 formula NPK subsidi berubah menjadi 15-10-12. Bila petani menghendaki hasil maksimal, petani terpaksa menambah pengeluaran untuk membeli pupuk jenis lain, seperti ZA dan SP-36. Lagi-lagi kondisi ini menunjukan ketidakperpihakan pemerintah kepada para petani dalam hal melayani rakyatnya. Seharusnya pemerintah memberikan bantuan secara maksimal dalam sektor petanian, sebagaimana solusi yang dijalankan dalam penerapan sisitim ekonomi Islam, “khalifah Umar bin Khathab yang memberikan sarana produksi pertanian kepada para petani Irak untuk mengelola tanah pertanian mereka “ (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam, hlm. 119).

Solusi mendasar mengatasi itu semua adalah dengan memperbaiki tata kelolanya dengan mengganti sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem ekonomi Islam dalam satu kepemimpinan global. Kepemimpinan sentral akan memudahkan dalam pendistribusian kebutuhan pangan rakyat ke seluruh wilayah. Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis yang ditopang oleh politik kekuasaan demokrasi dengan pemerintahan otonomi daerah. Hal ini memungkinkan adanya egoisme politik dan ekonomi kedaerahan. Tiap-tiap daerah otonom akan fokus kepada ketahanan bahan pangan di daerahnya masing-masing, sehingga tiap-tiap daerah akan menahan surplus hasil panen pertaniannya dan tidak mendistribusikan ke daerah yang mengalami kekurangan kebutuhan bahan pangan.

Islam adalah satu-satunya solusi terjaminnya ketersediaan kebutuhan pangan dengan pemerataan dan keadilan. Rasulullah SAW telah memberikan keteladanan dalam penyelesaian setiap persoalan umat, termasuk tata kelola ekonomi. Beliau tidak segan-segan turun ke pasar untuk melakukan peninjauan langsung mencegah terjadi penyimpangan hukum–hukum Islam, seperti penipuan harga (ghabn), aktivitas penipuan barang / alat tukar (tadlis), Beliau juga melarang penimbunan (ihtikar). Khalifah Umar bin Khatab menetapkan kebijakan melarang orang yang tidak memahami hukum fikih muammalah (bisnis) atas aktivitas bisnis. Mengontrol secara langsung dengan menguji berkala kepada pembisnis, apakah mengerti hukum-hukum Islam berkenaan bisnisnya atau tidak? Jika tidak memahami dengan benar, maka mereka dilarang melakukan aktivitas bisnis. segala penyimpangan terhadap hukum-hukum Islam merupakan kemaksiatan, apalagi terkait ekonomi, akan menghancurkan seluruh sendi kehidupan ekonomi. []

Purwokerto, 4 Sya’ban 1445 H / 14 Februari 2024 M


Amir Mahmudin
Aktivis Muslim

0 Komentar