Berharap Peran Wakil Rakyat di Tengah Hegemoni Pemerintahan Oligarkis: Bak Jauh Panggang dari Api

MutiaraUmat.com -- "Wakil rakyat seharusnya merakyat. Jangan tidur waktu sidang soal rakyat." Lirik lagu gubahan Iwan Fals tahun 1987 rasanya masih aktual untuk merespons tabiat wakil rakyat hingga saat ini. Wakil rakyat tapi tidak merakyat. Inilah kesan yang nampak dari performa mereka. Banyak kalangan memandang, keberadaan wakil rakyat di parlemen masih berjarak dengan rakyat. Kinerja legislator pun cenderung dinilai publik belum maksimal memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. 

Hasil jajak pendapat Kompas (10-12/1/2023) memperlihatkan penilaian publik yang cenderung negatif terhadap DPR. Publik menganggap kinerja anggota parlemen belum aspiratif dan kritis ketika menjalankan fungsi, tugas, dan wewenangnya (kompas.id, 23/1/2023). 

Bagaimana bisa disebut merakyat, sementara mereka memproduksi undang-undang (UU) yang jarang memenuhi aspirasi rakyat bahkan merugikan rakyat? Sebut saja UU Omnibus Law Cipta Kerja. Meski ditolak berbagai kalangan; buruh, mahasiswa, organisasi peduli lingkungan, hingga pemuka agama, UU kontroversial ini tetap disahkan. Dan saat ramai-ramai publik menggugatnya ke Mahkamah Konstitusi (MK), MK "hanya" menyatakan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat dan harus diperbaiki dalam jangka waktu dua tahun.

Meski mereka berdalih pembuatan berbagai produk hukum tersebut demi kepentingan rakyat, publik pun akan terus mempertanyakan, rakyat yang mana? Apakah segelintir rakyat yaitu kaum oligark yang diduga sebagai pihak pemesan UU? Ya, dalam sistem politik bernuansa kapitalistik sekuler, hegemoni oligarki tak terelakkan. Mereka disebut berada di balik berbagai kebijakan besutan wakil rakyat maupun pemerintah. Bila benar demikian, lantas buat apa wakil rakyat dipilih oleh rakyat tapi tidak mewakili rakyat?

Kualitas Wakil Rakyat Hasil Pemilu Oligarkis

Tak dipungkiri, oligarki menjadi gaya rezim memerintah saat ini. Dalam teori Thomas Aquinas, istilah oligarki dapat disimpulkan berupa kekuasaan kelompok kecil. Dalam oligarki, penguasa menindas rakyatnya melalui represi ekonomi. Penguasa oligarki adalah orang-orang yang memiliki harta kekayaan yang melimpah (Suhelmi, 2001). 

Dalam pengertian senada, oligarki adalah bentuk pemerintahan yang kekuasaan politiknya secara efektif dipegang oleh kelompok elite kecil dari masyarakat, baik karena kekayaan, keluarga, atau militer. Ciri-ciri negara penganut sistem pemerintahan oligarki yakni kekuasaan dikendalikan oleh kelompok masyarakat kecil, terjadi kesenjangan material cukup ekstrem, uang dan kekuasaan tidak terpisahkan, serta kekuasaan demi mempertahankan kekayaan. 

Meski rezim sering mengklaim demokrasi sebagai harga mati yang terkesan mengutamakan kepentingan rakyat, tetapi realitas menunjukkan sebaliknya. Demokrasi memang memberikan jalan lapang pada apa yang disebut dengan kedaulatan rakyat. Membuka jalan lebar bagi aspirasi rakyat. Saat rakyat berdaulat, ia bisa menentukan apa yang terbaik baginya. Secara teori begitu yang diinginkan dan diangankan oleh pendukung demokrasi. Tetapi secara fakta? 

Ketika demokrasi membuka pintu seluas-luasnya kepada rakyat untuk menentukan jalannya negara, mudah ditebak bahwa kelompok sangat kaya tak tinggal diam. Mereka berupaya meraih kekuasaan demi menjaga dan mengembangkan kepentingannya. Akhirnya demokrasi berubah total dari kedaulatan rakyat menjadi kedaulatan konglomerat.

Presiden Abraham Lincoln (1860-1865) boleh saja mengatakan demokrasi adalah “from the people, by the people and for the people.” Tapi sebelas tahun setelah Lincoln meninggal, Presiden Rutherford B. Hayes pada tahun 1876 mengatakan kondisi di Amerika Serikat saat itu adalah “from company, by company and for company.” 

Dengan kata lain, demokrasi secara alami akan bertransformasi menjadi wajah oligarki. Yaitu sistem politik dari konglomerat, oleh konglomerat, dan untuk konglomerat. “Of the 1%, by the 1%, for the 1%. (Dari satu persen, oleh satu persen, untuk satu persen orang).” (Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi)

Selain itu, transformasi ini tak lepas dari watak demokrasi itu sendiri. Meski teorinya yang berdaulat adalah rakyat, tetapi faktanya rakyat hanya dijadikan vote getter (pengumpul suara) dalam ajang Pemilu. Setelahnya, peran rakyat hilang karena dia diwakili oleh wakilnya dari partai politik (parpol). Sementara yang berwenang/berkuasa dalam parpol adalah pemilik dan pengurusnya. 

Idealnya, partai didirikan oleh rakyat karena kesamaan pikiran dan aspirasi politik. Namun realitasnya, parpol didirikan tidak selalu mewujudkan kehendak rakyat. Untuk mendirikan partai apalagi sampai pada capaian tertentu tidak murah, hanya elite politik berkemampuan finansial raksasa (oligarki) yang sanggup “memiliki” partai. 

Selain itu, terkait dana yang digunakan peserta Pemilu, meski telah ada aturannya tapi masih muncul soal keabsahan dana. Besarnya dana kampanye yang disumbangkan pada parpol (caleg) membuat mereka terjebak dalam kepentingan penyumbang dan seakan melupakan kepentingan rakyat. Dana haram seperti hasil korupsi, pencucian uang, penyuapan hingga besarnya pengaruh dana yang disumbangkan diduga selanjutnya berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan. 

Kasus-kasus korupsi besar yang menjadi topik utama media massa nasional, seperti kasus BLBI, Bank Century, Hambalang, SKK Migas, diyakini banyak kalangan terkait aliran dana kampanye. Pemilu sebagai pesta demokrasi nyatanya dipenuhi praktik kotor untuk membiayai kampanye. Bahkan hingga sponsor pembuatan kebijakan saat sebagai wakil rakyat.  

Dari proses politik di atas, dapatkah kita berharap wakil rakyat memiliki kualitas terbaik?  Sementara sejak masa kampanye jadi caleg saja mereka telah berada dalam bayang-bayang oligark bahkan sebagiannya adalah kaum oligark itu sendiri? "Wajar" ketika menjadi wakil rakyat, kepentingan rakyat diabaikan sembari lebih mementingkan kemaslahatan oligarki. 

Tepat jika Jefrey Winters menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia telah dikuasai oleh kelompok oligarki. Akibatnya sistem demokrasi di Indonesia semakin jauh dari cita-cita serta tujuan untuk menyejahterakan masyarakatnya. Jadi sejatinya, hari ini negeri ini menganut demokrasi atau oligarki? Sampai kapan bertahan mengatakan bahwa demokrasi adalah harga mati?

Efektivitas Peran Wakil Rakyat dalam Hegemoni Pemerintahan Oligarkis

DPR merupakan salah satu lembaga tinggi negara yang bertugas mewakili aspirasi rakyat. Tugas dan wewenang DPR diatur dalam pasal 19 UUD 1945 dan pasal 67 UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). 

DPR sebagai badan legislatif di Indonesia 
berwenang membuat UU sesuai Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, "DPR memegang kekuasaan membentuk UU. Menurut UUD 1945, DPR memiliki tiga fungsi yaitu fungsi legislasi, fungsi anggaran, serta fungsi pengawasan. 

Ketiga fungsi ini merupakan amanat yang harus dijalankan oleh anggota DPR sebagai wakil rakyat sebagaimana sumpah mereka dalam Pasal 78 UU MD3. Sebagai wakil rakyat maka, anggota DPR seharusnya bertindak atas nama rakyat atau memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Bukan atas nama partainya atau untuk kepentingan pihak lainnya yang bertentangan dengan kepentingan rakyat. Ketiga fungsi DPR merupakan salah satu cara untuk menguatkan posisinya dan membantu menyalurkan aspirasi masyarakat. 

Namun publik menilai kualitas fungsi legislasi DPR RI buruk dan secara kuantitas jumlah produk UU yang dihasilkan tidak sesuai dengan yang ditargetkan. Selain itu, UU yang ditetapkan oleh DPR  bersama presiden dianggap belum memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Suatu kebijakan publik pada dasarnya ditujukan untuk memecahkan persoalan masyarakat. Jika para pembuat kebijakan gagal atau salah dalam mendefinisikan suatu masalah maka dampak  kebijakan justru merugikan rakyat. Misalnya UU Cipta Kerja dan UU Minerba yang menimbulkan kontroversi dan berpotensi merugikan masyarakat. 

Dengan fungsi legislasi ini, mestinya DPR membuat UU yang prorakyat dengan aspirasi dari rakyat. Namun fungsi ini ternyata tidak berjalan seperti yang diharapkan. Melemahnya fungsi ini disebabkan oleh lebih dominannya peran eksekutif yang memungkinkan juga dipengaruhi oleh besarnya oligarki ekonomi yang berkepentingan atas UU tersebut.

Saat ini seolah-olah DPR tidak lagi merepresentasikan rakyat, tetapi lebih 
mewakili kepentingan oligarki parpol. Meningkatnya fenomena oligarki yang nyaris tak terbendung terlihat dalam sejumlah langkah politik pejabat publik puncak dan elite politik di lingkungan eksekutif dan legislatif. Mereka yang 
bisa disebut oligark politik, sering mengambil keputusan menyangkut kepentingan publik dan hajat orang banyak di dalam lingkaran mereka sendiri. Oligarki politik tidak melibatkan warga yang diwakili. 

Pada proses legislasi di DPR dalam pembuatan beberapa peraturan perundangundangan seperti perubahan UU No. 3 Tahun 2020 tentang Minerba dan pengajuan RUU Omnibus Law UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, perubahan dan pengesahan semua UU itu sepenuhnya ditentukan oligarki eksekutif dan legislatif. Masyarakat sipil tidak dilibatkan dalam perubahan dan pembentukannya. Hingga UU tersebut digugat ke MK. 

Meningkatnya oligarki merupakan salah satu fenomena paling menonjol di tengah perkembangan politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Peningkatan oligarki sering disebut banyak lembaga dan pengamat politik Indonesia sebagai salah satu indikator utama kemunduran demokrasi Indonesia. 

Oligarki terus meningkat dengan kian menguatnya koalisi fraksi-fraksi di DPR. Koalisi besar pro-rezim seperti F-PDIP, F-PG, F-Nasdem, F-PKB, F-Gerindra, F-PPP, dan F-PAN, dapat melakukan langkah politik apa pun. Dua fraksi sisanya: F-PKS dan F-Partai Demokrat, hampir tak berdaya membendung langkah oligarki politik.

Elite politik biasanya didominasi oleh para pengusaha atau orang-orang yang sangat kaya yang mampu membiayai semua yang diinginkan oleh partai. Dengan besarnya intervensi para elite politik terhadap parpol maupun pemerintah dapat mengakibatkan sempitnya ruang gerak dari parpol dan pemerintah itu sendiri. 

Akibatnya, lemahnya kekuatan parpol yang telah diintervensi tersebut membuat mereka mendesak perwakilannya yang ada di parlemen untuk membuat kebijakan yang memudahkan gerak
elite politik itu sendiri. Sehingga ungkapan ‘orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin’ benar-benar terjadi di era reformasi ini karena lemahnya kekuatan parpol sehingga menutup mata terhadap kepentingan rakyat.

Dengan demikian, fenomena di atas menunjukkan bahwa parpol dan pemerintah telah dipengaruhi oleh kekuatan oligarki ekonomi yang menjalankan bisnis mereka di Indonesia. Sehingga DPR tidak efektif (mampu) menjalankan fungsinya, khususnya di fungsi legislasi.

Strategi Memilih Wakil Rakyat yang Mampu Berperan Meriayah Rakyat

Intervensi oligarki dalam prosesi demokrasi tidak sekali dua kali terjadi. Tapi selalu berulang di setiap Pemilu. Ini menjadi gejala bahwa masalah yang terjadi bukan soal individu atau kasuistik tapi problem sistemis. Akibat penerapan sistem politik saat ini yaitu demokrasi kapitalistik liberalistik. 

Bila akar masalahnya pada sistem demokrasi, tentu tidak cukup menyelesaikan problem keterlibatan oligarki dalam Pemilu hanya pada perbaikan mekanismenya. Terlebih demokrasilah yang justru membuka peluang besar bagi masuknya oligarki dalam prosesi politik; pendirian partai politik, pencalonan pemimpin/wakil rakyat, hingga intervensi pembuatan kebijakan.

Mengapa? Karena berasas sekularisme dan berpilar kebebasan individu, praktik demokrasi jauh dari nilai agama. Konsep kedaulatan rakyat yang diagungkan hakikatnya meniadakan peran Tuhan (Allah) sebagai pihak yang berwenang menetapkan hukum bagi seluruh aspek kehidupan. Inilah cacat demokrasi sejak lahir. Oleh karena itu, alangkah idealnya bila penerapan sistem demokrasi diganti dengan sistem yang terbaik dan memungkinkan masyarakat hidup dalam kesejahteraan dan kebahagiaan. Tak lain sistem Islam yang bersumber dari kalam Allah SWT dan Rasul-Nya. 

Sebagai ajaran paripurna, sistem politik Islam juga mengatur tentang pemilihan wakil rakyat (majelis umat). Proses menjadi anggota majelis umat melalui pemilihan (al-intikhâbat) oleh umat. 

Di sini berlaku akad wakalah (perwakilan). Anggota majelis umat adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra‘yu) dan pengawasan kepada penguasa (An-Nabhani, 1990: 90-96). Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya. Maka anggota majelis umat harus dipilih oleh umat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalifah (Zallum, 2002: 221).

Dalam akad wakalah, pihak muwakkil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya (‘azl al-wakil), sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad wakalah adalah akad yang tidak mengikat (al-‘aqd al-ja’izah) (Lihat: Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, III/148). 

Maka umat berhak memberhentikan para wakilnya di majelis umat. Ini berbeda dengan akad khilafah, sebab dalam akad khilafah umat tidak berhak memberhentikan khalifah (‘azl al-khalîfah). Jadi meskipun umat yang mengangkat dan membaiat khalifah, tetapi umat tidak berhak memberhentikan khalifah, selama akad baiat telah sempurna sesuai syariat. Jika khalifah melanggar syariat Islam, yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazhalim yaitu lembaga peradilan (al-qadhâ’) yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan penguasa/negara (Zallum, 2002: 114-115).

Demikian gambaran pemilihan wakil rakyat dalam sistem politik Islam. Insya Allah akan menghindarkan prosesnya dari intervensi oligarki hingga lebih menjamin integritas wakil rakyat terpilih. Yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani Allah SWT dan umat melalui pengaturan urusan kehidupan berdasarkan syariat Islam. Tentu ini berbeda dengan Pemilu dalam sistem demokrasi yang menihilkan peran agama, serta tidak menjadikan pelayanan rakyat sebagai poros kekuasaannya. []


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

0 Komentar