Bencana Akibat Deforestasi, Kapitalisme Sumber Utamanya


MutiaraUmat.com -- Dikutip dari databooks.katadata.co.id (19/1/2024) Global Forest Review dari World Resource Institute (WRI) mencatat bahwa Indonesia merupakan salah satu negara yang paling banyak kehilangan hutan primer tropis (humid tropical primary forest) dalam dua dekade terakhir.
WRI mendefinisikan hutan primer tropis sebagai hutan yang memiliki cadangan karbon besar dan kaya akan keragaman hayati. 

Angka kehilangan hutan ini mencakup area hutan primer tropis yang mengalami deforestasi serta degradasi. Deforestasi adalah perubahan lahan hutan menjadi non-hutan secara permanen seperti menjadi permukiman dan perkebunan.

Sedangkan degradasi adalah penurunan fungsi atau kerusakan ekosistem hutan baik disebabkan aktivitas manusia maupun peristiwa alam. Juga berdasarkan data Badan Informasi Geospasial (BIG), luas hutan Indonesia pada tahun 2022 mencapai 102,53 juta hektare (ha). Angka tersebut berkurang sekitar 1,33 juta ha atau turun 0,7% dibanding 2018.

Selama kurun waktu 2018-2022, hutan yang hilang paling banyak berada di pulau Kalimantan. Pengurangan luas hutan di daerah Kalimantan mencapai 526,81 ribu ha. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), luas hutan yang berkurang disebabkan beberapa faktor, seperti peristiwa alam, penebangan hutan dan reklasifikasi area hutan.

Akibat dari deforestasi terjadi pengurangan luas hutan, tingginya potensi  terjadi bencana hidrometeorologi, kehilangan berbagai jenis flora dan fauna, dan kerusakan sistem sumber daya air. Hal ini juga menyebabkan kenaikan suhu udara global karena adanya peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (greenhouse gases).

Hal ini tidak lain terjadi karena negara ini menganut sistem kapitalisme liberalisme. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh penguasa di negeri ini adalah kebijakan yang berorientasi hanya pada keuntungan materi semata. Keserakahan para penguasa dan pengusaha tak segan melakukan segala cara untuk kepentingannya tanpa peduli dengan kerusakan lingkungan yang terjadi.

Salah satu bukti bahwa negara hanya mementingkan kepentingannya dan kepentingan para pemilik modal adalah dengan dikeluarkannya UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja yang seharusnya lebih condong untuk memberikan perlindungan hukum serta menciptakan lapangan kerja, namun kenyataannya substansi dalam RUU tersebut justru condong kepada pemodal.

Sistem kapitalisme ini memandang negara hanyalah sebagai fasilitator dan legislator. Dimana negara berhak membuat kebijakan sesuai keinginan dan hasrat mereka. Maka jadilah aturan itu dibuat sesuai kepentingan si pembuat aturannya. Kekuasaan dijadikan alat untuk meraup keuntungan dan manfaat sebesar-besarnya. Rakyat dijadikan alat bisnis yang pandangannya hanya pada untung dan rugi.

Akan berbeda dengan Islam. Islam adalah sebuah agama sekaligus sistem kehidupan. Islam memandang seorang penguasa atau pemimpin adalah amanah besar untuk mengurusi urusan umat. Kekuasaan yang dimiliki adalah amanah yang akan diminta pertanggung jawaban di akhirat kelak.

Seluruh kebijakan yang dikeluarkan adalah untuk menjalankan syariat Islam juga demi kesejahteraan umat tanpa mengesampingkan kelestarian alam dan lingkungan. 
Islam melarang kita berbuat dzalim kepada lingkungan karena hal itu juga akan menimbulkan bencana bagi manusia itu sendiri. 

Nabi sendiri melarang umatnya untuk merusak lingkungan seperti menebang hutan sembarangan sebagaimana sabda nabi ketika dalam peperangan. Diriwayatkan dari Tsauban, khadim Rasulullah saw. yang mendengar Rasulullah saw. berpesan, “Orang yang membunuh anak kecil, orang tua renta, membakar perkebunan kurma, menebang pohon berbuah, dan memburu kambing untuk diambil kulitnya itu akan merugikan generasi berikutnya” (HR Ahmad).

Dalam riwayat lain, sahabat Abu Bakar berpesan hal yang sama kepada para pemimpin perang di masanya,

"Aku berwasiat takwa untuk kalian semua, janganlah bermaksiat, jangan melampaui batas, jangan penakut, jangan hancurkan rumah ibadah, jangan hancurkan kebun kurma, jangan bakar perkebunan, jangan membunuh hewan ternak, jangan menebang pohon berbuah, dan jangan membunuh orang tua renta, anak kecil, balita, dan perempuan."

Di saat perang saja, Nabi dan para sahabat melarang untuk tidak melakukan perusakan terhadap lingkungan. Tentu di luar perang atau dalam keadaan damai, membakar dan merusak lingkungan itu tidak sesuai dengan ajaran Nabi.

Islam sendiri menganjurkan umatnya untuk menanam pohon. 
“Dari sahabat Anas ra, Rasulullah saw bersabda, ‘Tiada seorang muslim menanam pohon atau menebar bibit tanaman, lalu (hasilnya) dimakan oleh burung atau manusia, melainkan akan bernilai sedekah bagi penanamnya,’” (HR Bukhari, Muslim, dan At-Tirmidzi).

“Dari sahabat Muadz bin Anas ra, Rasulullah saw bersabda, ‘Siapa saja yang mendirikan bangunan atau menanam pohon tanpa kezaliman dan melewati batas, niscaya itu akan bernilai pahala yang mengalir selama bermanfaat bagi makhluk Allah yang bersifat rahman,’” (HR Ahmad).

Selain itu, Islam juga mengatur konsep kepemilikan yang terdiri dari kepemilikan individu, umum dan negara. Dalam hal ini hutan adalah harta kepemilikan umum yang hasilnya bisa dimanfaatkan oleh siapapun tanpa terkecuali. Negara tidak boleh melarang masyarakat umum untuk memanfaatkannya. Hutan misalnya bisa diambil manfaat dari kayunya, padang rumput untuk makan ternak, buah-buahan yang tumbuh di dalamnya dan lain sebagainya. 

Negara hanya sebagai pengawas dan pengatur agar kepemilikan umum tidak diambil secara berlebihan dan tetap terjaga kelestariannya. Negara juga boleh mengelola kepemilikan umum untuk dimanfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat.

Dalam islam masyarakat akan hidup sejahtera dan alam pun terjaga kelestariannya. Itulah keberkahan dari menjalankan syariat Islam yang Allah janjikan. Wallahualam bishshowwab.[]

Oleh: Dinar Rizki Alfianisa
(Aktivis Muslimah)


0 Komentar