Bayar Mahal, Jaminan Sertifikasi Halal?

Mutiaraumat.com -- Terjaminnya kehalalan setiap produk makanan bagi setiap orang tua muslim adalah salah satu perkara yang penting. Sebagian orang tua masih ada rasa was-was karena masih ada saja produk-produk yang tidak ada label halal dalam kemasan, dan sayangnya, produk tersebut tidak sedikit jumlahnya bertebaran di tempat-tempat penjualan jajanan atau makanan di tengah masyarakat, termasuk dalam lingkungan sekolah.

Hal inipun menjadi perhatian pemerintah. dilansir dari tirto.id (02/02/2024), Muhammad Aqil Irham, Kepala Badan Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama menyatakan, bahwa wajib bagi setiap produk makanan dan minuman yang diperdagangkan di Tanah Air untuk mengurus sertifikasi halal, paling lambat 17 Oktober 2024. 

Ini berlaku bagi seluruh pedagang termasuk diantaranya dari kalangan pelaku usaha mikro dan kecil (UMK). Jika tidak maka akan dikenai sanksi.
Namun rupanya kebijakam ini tak berjalan mulus. Persoalan yang muncul adalah adanya keberatan dari pedagang, baik dari aspek biaya ataupun proses penyelesaian berkas yang membutuhkan waktu ysng cukup lama.

Pak Ipin (48), salah satu pelaku usaha kecil es bubur sumsum di sekitar Palmerah, Jakarta Pusat, mengaku tak masalah jika diminta untuk mengurus sertifikasi halal, yang terpenting tidak memberatkan PKL dengan biaya tinggi, dan bila perlu digratiskan. Beliau juga menuturkan, pengurusan sertifikasi halal akan merepotkan lantaran memakan waktu yang lama (tirto.id, 02/02/2024).

Adapun Biaya Permohonan Sertifikat Halal per Sertifikat-Usaha Mikro dan Kecil : Rp300.000- Usaha Menengah : Rp5.000.000- Usaha Besar dan/atau berasal dari luar negeri: Rp12.500.000. Ini belum termasuk biaya pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk, transportasi, dan akomodasi serta pengujian laboratorium jika diperlukan (tirto.id, 02/02/2024).

Besarnya biaya yang diperlukan untuk mendapat sertifikat halal, ditambah lagi kondisi ekonomi yang demikian sulit dan sempit khusunya bagi pelaku usaha mikro dan kecil, aka  terus menjadi batu sandungan besar dalam menyukseskan berjalannya program sertifikasi halal ini.

Betul bahwa negara ada menyediakan 1 juta layanan sertifikasi halal gratis sejak januari 2023. Namun jumlah ini sangat sedikit jika dibandingkan keberadaan PKL yang berkisar 22 juta di seluruh Indonesia (ekonomi.bisnis.com) belum lagi masa berlakunya, sehingga perlu sertifikasi ulang secara berkala.

Paradigma Islam

Tentu saja tidak mudah untuk selalu memastikan 'setiap' orang akan selalu memproduksi dan memperjualbelikan produk-produk makanan dan minuman, karena pelaku usahanya juga sangat banyak bahkan puluhan juta orang. Maka dibutuhkan sebuah sistem pengaturan dan pengelolaan yang tepat dan efektif, serta tidak merugikan pihak manapun.

Dalam perspektif Islam, upaya untuk pemastian barang dan sarana yang beredar di masyarakat dilakukan oleh negara. Negara dengan kekuasaannya akan mampu "memaksa" untuk mewajibkan produk yang akan beredar di masyarakat adalah halal.

Dalam Sistem Islam, akan dijamin bahwa semua produk dan jasa yang beredar di tengah masyarakat adalah halal. Yakni dengan melarang barang yang diharamkan untuk diproduksi dan dipasarkan. Otomatis, masyarakat akan terjaga dari barang-barang haram. Maka, sertifikat halalpun tidaklah diperlukan karena segala jenis barang haram sudah tercegah masuk sejak awal.

Ini adalah salah satu perkara yang wajib diperhatikan oleh negara di dalam Islam. Rasulullah Saw bersabda, "Seorang lelaki melakukan perjalanan jauh sehingga rambutnya kusut dan wajahnya berdebu. Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit dan berkata, "Wahai Rabbku! Wahai Rabbku!" Padahal, yang dimakannya adalah haram, maka bagaimana akan diterimanya."
Dalam Sistem Islam pula, negara akan menugaskan para qadhi hisbah yang akan rutin melakukan pengawasan setiap hari ke seluruh pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, maupun oabrik. Para Qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan maupun kamuflase.

Hal inu memastikan bahwa hanya produk halal dan aman yang beredar di tengah masyarakat. 
Jikapun secara teknis diperlukan adanya label atau sertifikasi halal,  maka ini adalah tugas negara. Maka prinsip yang harus dipegang adalah mudah dan tidak berbelit-belit dalam birokrasi, cepat dalam pelaksanaan tugas, dan SDM yang kapabel dan berkualitas di bidangnya.

Sebagaimana prinsip lembaga administrasi negara yang dibahas dalam kitab Ajhizah Daulah al Khilafah (Fi al-Hukmi wa al-Idarati).
Oleh karena itu, jika mekanisme jaminan halal adalah dengan adanya sertifikasi, sudah selayaknya negara memberikan layanan serrifikasi halal secara gratis sebagai bentuk riayab terhadap rakyat. Negara yang aktif, bahkan yang 'repot' dalam urusan sertifikat, bukan rakyat.

Tugas rakyat adalah yang menjadi produsen untuk membuat produk halal, sedangkan yang bertugaa mengawasi adalah negara, serta mengedukasi masyarakat mengenai barang dan produk yang halal dan haram. Wallahu 'alam bishshawwab.[]

Oleh: Linda Maulidia, S.Si
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar