Bahaya Pragmatisme Politik Demokrasi

MutiaraUmat.com -- Apa itu pragmatisme ? Pragmatisme adalah filsafat yang didasarkan manfaat dari tiap gagasan. Dengan pragmatisme, tujuan politik yang bersifat ideologis berubah menjadi bersifat praktis. Maksudnya berorientasi kepada manfaat dalam memenuhi kebutuhan / kepentingan pribadi atau kelompok, tidak peduli apakah itu halal atau haram. 

Dalam politik demokrasi, pragmatisme adalah sesuatu yang melekat dalam demokrasi itu sendiri. Kenapa ? karena politik demokrasi ditegakkan atas dasar sekularisme (memisahkan agama dalam kehidupan) sehingga masyarakat tidak lagi mengenal apakah itu halal atau haram, yang dikenal adalah manfaat. Selama bermanfaat, sebuah aturan akan dipaksakan untuk dilegalkan oleh segelintir para pengendali kekuasaan (para politisi) dan juga pengendali keuangan (para cukong / pemodal)

Dari konsep di atas, bahaya pragmatisme politik demokrasi itu sangat terlihat paling tidak pada tiga hal berikut ini :
Pertama, bahaya asas, politik demokrasi didasarkan pada asas sekularisme (memisahkan agama dalam kehidupan) yang menolak agama (Islam) dilibatkan dalam kehidupan. Agama diakui tetapi dilarang turut campur dalam menangani permasalahan kehidupan. Ini berarti menafikan bahkan menuduh agama (Islam) tidak layak untuk mengatur kehidupan. Ini berarti menyingkirkan peran pencipta (Allah SWT) sebagai pengatur kehidupan.

Kedua, bahaya pilar yaitu bahaya pada pilar dasar. Pilar dasar dari politik demokrasi adalah kedaulatan di tangan rakyat (as siyadah li sya’bi), ini bertentangan dengan konsep bahwa manusia adalah makhluk / hamba yang diciptakan oleh Allah SWT. Manusia fitrahnya bersifat lemah, membutuhkan pencipta dan sepatutnya pula menaati aturan dari sang pencipta atau kedaulatan pencipta, bukan menggunakan aturan manusia. Kekuasaan yang dimiliki pemimpin pun untuk mengimplementasikan aturan pencipta bukan aturan buatan manusia.

Ketiga, bahaya realitas. Pada faktanya politik demokrasi itu sebenarnya ilusi / tipuan. Faktanya yang berdaulat bukan rakyat, tetapi segelintir elite parpol (partai politik). Tidak mungkin mengikutkan semua rakyat dalam membuat aturan. Mereka berdalih perlunya perwakilan dalam bentuk legislatif (parlemen). Padahal faktanya para anggota parlemen tunduk pada elite pimpinan parpol (partai politik). Celakanya elite pimpinan parpol (partai politik) itu tunduk pada segelintir kapitalis pemilik modal / oligarki. Tidak aneh banyak pihak yang menyinggung secara terbuka kebutuhan dana yang besar untuk menjadi anggota legislatif (parlemen) seperti DPR, DPRD dan juga eksekutif (penguasa) seperti presiden, gubernur, bupati atau wali kota. Inilah yang membuat mereka sangat bergantung pada pasokan cuan (dana) dari cukong politik (oligarki).

Dari hal tersebut, politik demokrasi sangatlah berbahaya. Saatnya meletakkan kedaulatan di tangan pencipta / syariah (as siyaadah li syar’i) dan menjadikannya sebagai fondasi yang akan membuat pemimpin tidak dipilih dengan “cek kosong”, semau dia atau sesuai yang mengendalikan dia para cukong politik (oligarki). 
Pemimpin dalam Islam, diangkat dan dibaiat (sumpah setia) untuk menjalankan Al Quran dan as sunah. Sehingga semua aturan / kebijakan yang diterapkan kepada rakyat dipastikan harus sesuai dengan syariah Islam. Dengan begitu semua perilaku politiknya atas dorongan keimanannya yang dibatasi oleh syariah Islam.  Ini menjadikan kedaulatan ada di tangan syariah bukan di tangan manusia sehingga ini akan membatasi dari pragmatisme buruk dari para oligarki.

Oleh: Yusup Muhamad Yani
Aktivis dakwah

0 Komentar