MutiaraUmat.com -- Analis Senior Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD) Fajar Kurniawan, mengatakan dalam banyak hal, survei-survei dilakukan ditujukan untuk melegitimasi hal yang bertentangan dengan kehendak publik.
"Dalam banyak hal banyak juga survei-survei itu memang dilakukan walaupun tidak menyebutkan metodologi, tetapi ditujukan untuk melegitimasi hal yang kadang-kadang bertentangan dengan kehendak publik," tuturnya dalam Survei dan Quick Count, Alat Marketing Politik? Di kanal YouTube Khilafah News, Rabu (14/2/2024).
Fajar mengatakan, makin banyak lembaga survei yang sebenarnya bukanlah lembaga survei yang independent, tetapi sudah menjadi konsultan politik, bahkan sudah menjadi tim sukses. Sehingga patut dipertanyakan seberapa independent dari lembaga-lembaga survei yang ada, karena kalau akan melakukan sebuah survei nasional, apalagi mengharuskan tatap muka dengan respondensi, sebut saja 300 orang, itu biayanya mahal tidak kurang dari 1,2 sampai 1,5 miliar.
"Inikan suatu angka yang cukup signifikan. Dari mana kemudian lembaga-lembaga survei tadi mendapatkan dana untuk melakukan surve seperti itu? Betulkah mereka didanai mereka sendiri atau ada sponsor yang lain?," tanyanya.
Fajar mengkhawatirkan, jika lembaga-lembaga survei tersebut adalah konsultan politik atau tim sukses/juru kampanye yang bersembunyi di balik kebebasan akademik. Bahkan boleh jadi, lebih jauh lagi lembaga survei itu sebenarnya agitator kemudian menggiring opini masyarakat untuk sampai pada opini-opini tertentu ini yang mengkhawatirkan.
Justifikasi Akademis Populis
Fajar mengatakan, di tahun-tahun politik terutama di beberapa bulan terakhir menjelang kontestasi politik nasional, ada kecenderungan untuk memobilisasi lembaga-lembaga survei untuk kemudian memberikan semacam justifikasi akademis populis untuk rezim yang berkuasa, untuk kinerja yang berkuasa.
"Apa tujuannya? Tujuannya adalah untuk meningkatkan atau memberikan efek elektoral kepada capres dan cawapres yang di dukung oleh rezim yang berkuasa secara terbuka," ungkapnya.
Dia melanjutkan bahwa masyarakat pasti tau pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang memang didukung secara terbuka oleh Jokowi. Hal yang menarik adalah kalaulah hasil atau persepsi publik atau tingkat kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi tinggi.
"Ada yang menyebutkan 80 persen bahkan di Lembaga Survei Indonesia (LSI) sekitar 80 persen. Di beberapa lembaga survei hasilnya juga tidak jauh berbeda, ada yang 79 persen, 82 persen," ucapnya.
Kalaulah memang hal itu sesuatu yang memang faktual, Fajar mengatakan, seharusnya siapa pun capres dan cawapres yang mendapatkan dukungan secara terbuka dari Presiden Jokowi maka dia harusnya menikmati keuntungan dari efek elektoral. Mungkin bisa memberikan sampai 60 persen bahkan lebih dari 60 persen harusnya tingkat elektabilitas di pasangan yang secara terbuka mendapat endorsement dari Presiden Jokowi.
"Sehingga, tanpa harus ibaratnya ‘berkeringat’ pasangan yang mendapatkan endorsement dari Jokowi sudah minimal mendapatkan elektabilitas sekitar 60 persen atau bahkan lebih dari itu. Tetapi ini kan agak berbeda kita melihat. Justru sebulan terakhir, kita melihat bagaimana Presiden Jokowi seolah berakrobat ke sana ke mari memberikan pernyataan-pernyataan sampai kemudian dia bisa saja presiden mengkampanyekan paslon tertentu dan seterusnya. Bahkan dalam langkah lebih jauh lagi presiden ini sudah masuk dalam ranah teknis," paparnya.
Fajar mencontohkan, bagaimana getol sekali Jokowi berkeliling ke berbagai wilayah terutama di Jawa untuk memberikan program bansos. Seharusnya kalau dengan tingkat penilaian kinerja masyarakat terhadap pemerintahan Presiden Jokowi setinggi itu, seharusnya berpengaruh terhadap elektabilitas dan calon yang kemudian di dukung secara terbuka oleh Presiden Jokowi. Sehingga seharusnya tidak perlu presiden selalu mengeluarkan berbagai statement bahkan juga kebijakan-kebijakan untuk mendongkrak elektabilitas dari paslon yang secara terbuka ia dukung.
"Agak paradoks antara apa yang kemudian berkaitan dengan penilaian kinerja pemerintahan Jokowi dengan tingkat elektabilitas calon yang memang secara terbuka itu didukung oleh Jokowi. Ini yang sebenarnya patut dipertanyakan," tukasnya.
Ia mengajak masyarakat untuk mencoba kritis menyikapi survei yang seperti itu. Karena kalau me-rever kepada temuan LSI bahwa dengan tingkat kepuasan 88 persen, maka diasumsikan sangat tinggi sekali dan harusnya itu juga tercermin di tingkat grassroot.
"Bagaimana kemudian masyarakat merasa puas dalam segala hal. Misalkan kalau ingin menyekolahkan anak, tidak ada masalah (tidak takut finansial), mau berobat juga tidak masalah. Terkait dengan hal-hal yang lain untuk memenuhi kebutuhan yang lain juga tidak ada masalah, tetapi yang kita lihat justru sebaliknya. Bagaimana kemudian sekarang masyarakat sedang terjangkit mental illness," ungkapnya
Sehingga, Fajar mengatakan, banyak hal-hal yang kemudian terjadi di masyarakat dikarenakan tekanan tidak mendapatkan apa yang harusnya mereka rasakan, nikmati, atau pemerintah tidak menyediakan layanan yang seharusnya dia dapatkan, dinikmati oleh masyarakat.
"Sehingga masyarakat harus menyelesaikan segala permasalahan yang dihadapi sendirian tanpa kehadiran sebuah negara," pungkasnya [] Alfia Purwanti
0 Komentar