MutiaraUmat.com -- Sebagai negara yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) nyatanya Indonesia masih memiliki tingkat ketergantungan yang cukup tinggi terhadap utang luar negeri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa sebagai negara berkembang, Indonesia menjadikan utang luar negeri menjadi sumber untuk pembiayaan pembangunan infrastrukturnya. Dan mirisnya, dari tahun ke tahun jumlah utang luar negeri yang dimiliki Indonesia semakin meninggi.
Sebagai informasi, sebagaimana yang dilansir viva.co.id (30/12/23), utang pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) hingga November 2023 tercatat menembus Rp8.041 triliun. Angka ini naik Rp487 triliun dibandingkan November 2022. Dengan jumlah tersebut, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) per 30 November 2023 adalah 38,11 persen atau naik dari bulan sebelumnya pada level 37,95 persen.
Sekalipun utang luar negeri telah menembus angka yang fantastis namun beberapa masih menyebutkan bahwa utang luar negeri Indonesia masih dalam batas aman dan terkendali (Bisnis.com (30/12/23).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto juga menyampaikan bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB masih terjaga dalam batas yang aman hingga November 2023. Dengan alasan “Rasio utang kita di level aman, di bawah 40 persen, yaitu di 38 persen.” Adapun jika mengacu pada Undang-Undang Nomor 1/2003 tentang Keuangan Negara, batas maksimal rasio utang pemerintah terhadap PDB ditetapkan sebesar 60 persen.
Narasi Berbahaya ala Kapitalis
Narasi utang luar negeri Indonesia aman dan terkendali adalah narasi yang berbahaya. Narasi ini seolah menjadi pemanis penguasa dalam kapitalisme untuk menidurkan kewaspadaan rakyat. Kendati utang luar negeri masih di bawah rasio 40 persen hal ini menjadi sesuatu yang harus diwaspadai, karena jumlah utang setiap tahunnya terus bertambah secara tidak rasional jika dibandingkan dengan Produk Domestik Bruto (PDB).
Karena fakta yang ada, utang luar negeri akan dimasukkan ke dalam APBN. Sementara APBN sendiri sering kali menghadapi turbulensi, dan kerap mengalami defisit. Yang sudah-sudah ketika itu terjadi maka biasanya pemerintah mengambil kebijakan dengan cara mengambil utang kembali. Jika kita lihat nominal utang luar negeri saat ini, dan kita bandingkan pada PDB yang kita miliki maka akan menjadi sebuah angka yang tidak rasional!
Meningkatnya jumlah utang negara sejatinya akan berkelindan dengan kenaikan pajak. Tentu ini akan menambah beban bagi rakyat, karena rakyat mau tidak mau harus membayar pajak kepada negara. Merupakan rahasia bersama bahwa pajak dijadikan sebagai salah satu sumber untuk membayar utang negara. Oleh karenanya, ketika negara berutang maka rakyat bersiap-siap harus menerima kenaikan pajak atau besiap dengan adanya kebijakan pajak baru.
Kapitalisme Sumber Masalah
Kondisi di atas memang tak bisa dihindari dalam sistem kapitalisme yang menjadi sumber masalah. Dalam sistem saat ini utang dijadikan alternatif untuk membiayai pembangunan infrastruktur sebuah negara jika APBN tidak mampu mendanai. Bukan saja utang pokok yang menjadi beban rakyat, namun juga bunga (riba) dari utang tersebut yang semakin membengkak.
Padahal, di sisi lain negara Indonesia adalah negara yang kaya akan SDA, namun sayangnya kekayaan tersebut tidak dimanfaatkan sebagai pemasukan negara. Negara justru memprivatisasi SDA dan menyerahkannya kepada kapitalis Asing dan swasta, alhasil mereka bisa berkuasa sepenuhnya terhadap kekayaan yang ada.
Sejatinya utang luar negeri juga bisa mengancam dan membahayakan kedaulatan sebuah negara, karena akan membuat negara semakin ketergantungan kepada negara lain. Dalam paradigma kapitalisme, dunia akan terus memberikan penilaian positif terhadap utang suatu negara. Makin banyak utang suatu negara, makin untung negara-negara pemberi utang.
Benarlah apa yang dikatakan oleh Abdurrahman al Maliki, "Utang luar negeri adalah cara paling berbahaya untuk merusak eksistensi suatu negara." Setidaknya ada dua bahaya yang akan mengancam suatu negara dengan jeratan utang, yaitu bahaya jangka pendek dan jangka panjang.
Bahaya jangka pendek akibat dari utang negara adalah dapat menghancurkan mata uang debitur dan kekacauan moneter. Jika sudah jatuh tempo utang luar negeri tidak bisa dibayar dengan mata uang debitur namun menggunakan mata uang US Dollar atau hard money lainya.
Efeknya mata uang debitur akan babak belur dan nilainya akan turun secara drastis sehingga jika kondisi ini terus terjadi negara debitur tidak punya pilihan kecuali negara debitur mendatangi IMF. hal ini berarti negara tersebut semakin terperosok dan semakin terjerat oleh hutang ribawi lembaga-lembaga kapital.
Sementara bahaya jangka panjangnya, utang luar negeri akan mengacaukan dan merusak kedaulatan negara jika negara debitur gagal membayar utang luar negerinya. Aset-aset dalam negeri pun terancam lepas karena bisa saja dikuasai sebagai bentuk pelunasan utang yang ada.
Seperti halnya yang terjadi pada Srilanka, yang dengan terpaksa menandatangani kontrak sewa pelabuhan Hambantota dengan perusahaan milik negara Tiongkok selama 99 tahun akibat miliaran utangnya kepada Beijing. Atau contoh lain penggunaan mata uang Yuan di Zimbabwe dan Angola akibat hal yang sama. Inilah yang disebut dengan "jebakan utang." Kondisi ini terjadi akibat para penguasa yang awalnya merasa aman dengan kondisi utang luar negeri.
Jika melihat mekanisme jebakan utang di atas tentu wajar jika kita khawatir, mengingat negara berkembang lainnya pun saat ini melakukan hal yang sama. Bukan tidak mungkin jebakan utang itu akan menimpa negara lain, termasuk Indonesia. Oleh karenanya masyarakat jangan merasa aman dengan adanya narasi berbahaya kapitalisme terkait utang luar negeri yang aman dan terkendali.
Umat Harus Sadar, Islam Satu-satunya Solusi
Umat harus sadar dan mencari solusi atas semua permasalahan yang ada termasuk masalah utang luar negeri Indonesia yang semakin lama semakin meningkat. Dan satu-satunya solusi yang mampu menyelesaikan itu semua adalah sistem Islam yaitu Khilafah Islamiyah. Nyatanya Islam memiliki mekanisme luar biasa agar negara bebas dari utang luar negeri.
Yang pertama, negara Khilafah memahami betul konsep bahwa utang bukanlah orientasi Khilafah untuk memenuhi keuangan negara. Sebab Khilafah paham bahwa utang luar negeri merupakan celah penjajahan kepada kaum muslimin yang mampu menghilangkan kedaulatan negara, dan ini haram hukumnya untuk dilakukan.
Selain itu, Khilafah memiliki lembaga pengelola keuangan negara yang akan mengelola kas sesuai hukum Syara, lemabaga tersebut adalah baitul maal. Sementara itu, sumber keuangan Khilafah di baitul maal berasal dari tiga pos, yakni pos kepemilikan negara (seperti usyur, kharaj, ghanimah, jizyah dan sejenisnya) adapun alokasi post ini diperuntukkan untuk membangun insfrastruktur negara, membiayai dakwah dan jihad yang dilakukan oleh negara dalam membebaskan sebuah wilayah, menjamin kesejahteraan pegawai negara dan sejenisnya.
Berikutnya ada post kepemilikan umum, yang berasal dari hasil pengelolaan SDA yang dikelola secara mandiri oleh negara, dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat, sebagaimana ketentuan Syariat Islam. Bentuknya bisa berupa jaminan langsung (seperti subsidi), ataupun jaminan tidak langsung untuk kebutuhan dasar (seperti keamanan, kesehatan, dan keamanan).
Oleh karenanya wajar jika dalam negara Khilafah kebutuhan dasar masyarakat gratis. Selain itu, dalam negara Khilafah juga tidak mengenal kontrak karya, atau profit sharing dalam mengelola SDA. Sebab cara² tersebut adalah cara kapitalisme menguasai SDA kaum muslimin.
Pos ketiga, yaitu pos zakat. Baik zakat fitrah, zakat mal, infaq shodaqoh dan wakaf kaum muslim. Post ini diberikan kepada mereka yang berhak menerima sebagaimana yang telah ditentukan oleh Syara'.
Demikianlah mekanisme pemasukan keuangan negara dalam sistem Khilafah untuk memberikan kesejahteraan rakyatnya. Berbeda dengan sistem kapitalisme, negara Khilafah tidak mengandalkan utang dan pajak untuk pembangunan infrastruktur ataupun yang lainnya. Karena jelas utang hanyalah akan menjadikan negara kehilangan kedaulatan, justru sebaliknya Islam mendorong negara menjadi negara adidaya dan terdepan. Wallahu a'lam bi ash-shawab.[]
Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I
(Pemerhati Sosial dan Media)
0 Komentar