Urgensi Pemimpin yang Memahami Hukum Agama dalam Penyelenggaraan Negara



MutiaraUmat.com -- Lagi dan lagi. Jagat media sosial kembali heboh dengan beredarnya video pernyataan Khofifah Indar Parawansa yang menyebut pasangan Prabowo-Gibran seperti sahabat Nabi Muhammad SAW, Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib (viva.co.id, 24/1/2024).

Meskipun Khofifah berdalih bahwa soal ini sebatas referensi kepemimpinan antara senior dan junior, namun layakkah personifikasi tersebut dilakukan? 

Sebelumnya, jelang Pilpres 2019, ayah Gibran, Joko Widodo sempat disamakan oleh Rokhmin Dahuri dengan sahabat Rasulullah SAW yang lain, Umar bin Khattab (suara.com, 24/1/2024).

Sementara itu di sebuah ponpes yang mendoakan Mahfud MD menjadi wapres, ia menyatakan bahwa Indonesia dengan segala ideologinya adalah warisan ulama dan merupakan amanah Allah untuk dijaga dengan baik sebagai suatu negara (inews.id, 24/1/2024).

Sebagaimana kontestasi tahun-tahun sebelumnya, narasi berbau agama kerap kali dilontarkan. Diduga sebagai upaya menaikkan citra kandidat   hingga teraihnya popularitas. Ujung-ujungnya demi meraup suara rakyat. Politisasi agama yang basi.

Karena memposisikan agama sebatas simbol dan komoditas politik demi meraih kursi kuasa. Sementara substansi agama tak pernah ada.  

Setelah berkuasa, apakah Indonesia sebagai warisan ulama dan amanah Allah ini dijaga dengan syariat-Nya? Realitas membuktikan, jangankan menerapkan agama Allah SWT, justru orang atau kelompok umat yang berkehendak merealisasikan ajaran Islam dalam ranah politik dicurigai dan diwaspadai sebagai ancaman. Dilabeli dengan diksi radikal, intoleran, anti ini, anti itu.

Padahal bukankah kekuasaan manusia  harus berdasar kekuasaan Allah SWT sebagai Sang Pemilik Kekuasaan? Sebagaimana perkataan Imam Ghazali, agama dan kekuasaan (politik) itu bagai saudara kembar. Agama adalah pondasi kekuasaan dan kekuasaan merupakan penjaga agama.

Sesuatu yang dibangun tanpa pondasi akan runtuh dan yang tidak ada penjaganya akan mudah lenyap. Maka tak sekadar narasi basi, seharusnya para pemimpin mampu memahami dan menerapkan agama secara esensi.

Hukum Agama sebagai Pondasi Negara

Merujuk pada perkataan Imam Ghazali bahwa (hukum) agama merupakan pondasi kekuasaan, maka seorang pemimpin seharusnya memahami hukum agama dalam penyelenggaraan negara. Bila pemimpin tak paham agama, bagaimana ia mampu meletakkan pondasi di mana negara dibangun di atasnya? 

Atau jika pemahaman agamanya minimalis alias pas-pasan, artinya pondasi juga ia bangun ala kadarnya. Bagaimana mungkin akan mampu menyangga negara dengan beban berat yang dipikulnya? 

Siapa pun pemimpin terpilih dalam kontestasi 2024, selagi dia Muslim yang mengurus rakyat yang mayoritas beragama Islam ini, hendaknya tahu urgensi memahami hukum agama dalam penyelenggaraan negara. Berikut beberapa alasannya:

Pertama, politik bukanlah sekadar sarana meraih, mempertahankan atau memperluas kekuasaan. Tapi pengaturan urusan umat (rakyat) baik di dalam maupun di luar negeri. 

Agar kebutuhan hidup (minimal yang pokok) terpenuhi, pun urusan hidup lainnya berjalan dengan baik. Sehingga rakyat hidup sejahtera dan bahagia. Dalam pandangan Islam, politik dijalankan berdasar aturan Allah SWT. Bila pemimpin tak paham hukum agama, bagaimana ia mampu berlaku adil dan bijaksana?

Kedua, politik itu bukan alat meraih jabatan dunia tapi sarana menerapkan hukum Allah SWT. Kekuasaan mestinya bukan untuk kekuasaan itu sendiri. Ini cara pandang pragmatis dan menunjukkan kedangkalan berpikir. 

Dalam pandangan Islam, politik sesungguhnya mulia. Karena dengannya hukum Allah bisa diterapkan demi mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Melalui kebijakan atau aturan penguasa merujuk pada sumber hukum utama yaitu Al-Qur'an dan As-Sunnah. Bila pemimpin tak menguasai hukum agama, bagaimana ia mampu menjalankan kemuliaan ini?

Ketiga, pemimpin yang baik akan meniru role model pemimpin terbaik yang pernah ada di dunia. Siapa lagi kalau bukan Rasulullah Muhammad SAW? Seorang pemimpin berpengaruh sekaligus legendaris yang Allah turunkan sebagai uswatun hasanah. 

Beliau pun terkenal dengan karakter  leadership; shiddiq, amanah, fatonah, dan tabligh. Bila beberapa pemimpin selama ini dipersonifikasi sebagai sahabat Nabi SAW: Umar, Abu Bakar, Ali, buktikan dengan betul-betul ittiba' pada cara Rasulullah SAW memimpin. Dan ciri khas kepemimpinan beliau adalah menjadikan hukum Allah sebagai satu-satunya pemutus dalam setiap perkara.

Keempat, sabda Rasulullah SAW, "Kullukum ra'in wa kullukum mas'ulun an ra'iyyatihi. Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban" (HR. Imam Bukhari). 

Para pemimpin harus paham bahwa seluruh aktivitas kekuasaannya tidak hanya dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat, tapi kelak dihisab oleh Allah SWT. Hari ini seorang penguasa mungkin masih bisa membohongi rakyat, tapi sanggupkah dia berdusta kelak di hadapan penciptanya? Bila dia tak paham hukum agama, bagaimana kelak dia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya?

Demikianlah beberapa alasan seorang pemimpin harus memahami hukum agama dalam penyelenggaraan negara. Karena agama adalah hal mendasar untuk mengatur seluruh proses kehidupan. Terlebih politik (kekuasaan) tidak hanya sebagai aktivitas mengatur urusan rakyat namun juga sarana menerapkan hukum Sang Pencipta. Dengan begitu, seorang pemimpin mutlak harus memahaminya.

Dampak Pemimpin yang Tidak Paham Hukum Agama terhadap Penyelenggaraan Negara

Quotes ulama besar berikut ini semestinya menjadi pengingat bagi para kandidat maupun pemimpin (Muslim) di negeri ini,
"Kepemimpinan diwujudkan untuk menggantikan (tugas) nubuwwah/kenabian dalam menjaga agama dan mengatur (kehidupan) dunia (dengan agama/syariah)."
(Al-Mawardi, al-Ahkam as-Sulthaniyyah).

Dengan memahami fungsi kepemimpinan di atas, seorang pemimpin akan meyakini apa yang dilakukannya merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT. Pemimpin adalah panggilan mulia dan perintah dari Allah yang menempatkan dirinya sebagai makhluk pilihan.  Sehingga tumbuh dalam dirinya sikap wara' (kehati-hatian), adil, bijaksana, dan seterusnya. 

Bila pemimpin tidak paham hukum agama, tentu ia tidak akan mampu menjalankan fungsi kepemimpinan secara hakiki. Hal ini akan berdampak buruk juga terhadap penyelenggaraan negara yaitu:

Pertama, negara dikelola sesuai kehendak (hawa nafsu) sang pemimpin. Ketika memimpin tanpa agama, hawa nafsulah yang mengemuka. Hal ini cenderung mengarahkan pemimpin pada tindakan suka-suka kami (SSK). Praktiknya, pembuatan hukum, kebijakan, aturan ditujukan demi kepentingan (keuntungan) pribadi, anak istri, serta oligarki. Bukan untuk kemaslahatan umat. Kecurangan pun tak segan dilakukan demi mewujudkan keserakahannya.

Kedua, pemimpin yang buruk cenderung mengangkat pegawai pemerintahan yang buruk juga. Demi mengikuti perintahnya dan mengamankan kekuasaannya. Pun, bawahan akan mengikuti perilaku atau perintah atasan. Terlepas ada tekanan atau kebiasaan. Seperti pepatah "Ikan busuk mulai dari kepala." Kalau pimpinannya bermasalah, bawahannya akan bermasalah juga. Bila sang penyelenggara negara bermasalah, maka ambyarlah urusan bangsa.

Ketiga, pemimpin kharismatik dan berpengaruh salah satunya terbentuk dari pemahaman agama yang baik dan kedekatan hubungan dengan Allah SWT. Integritas pemimpin yang memadukan kebenaran lisan dan tindakan akan menumbuhkan kepercayaan serta harapan rakyat. Sebaliknya, pemimpin minus pemahaman agama hanya memiliki retorika kosong tanpa arti. Lambat laun rakyat bisa mengenali kelemahannya hingga hilang rasa simpati dan kepercayaannya. Bila trust rakyat terhadap pemimpin luntur, negara akan berjalan labil bahkan gejolak dan kekacauan.

Keempat, cita-cita mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur tidak akan pernah terwujud. Ungkapan “baldatun thayyibatun” secara lughawi artinya negeri yang baik, mencakup seluruh kebaikan alamnya termasuk SDA yang luar biasa. 

Kemudian “wa rabbun ghafur” menunjukkan Allah itu Maha Pengampun dan ini mencakup seluruh kebaikan dari perilaku penduduknya sehingga berimplikasi datangnya ampunan dari Allah SWT.  Bila pemimpin tidak paham hukum agama hingga tidak menerapkannya, apakah mampu membentuk kebaikan perilaku SDM, menjaga kebaikan SDA, hingga mendapat ampunan-Nya?

Demikian beberapa dampak buruk pemimpin yang tidak memahami hukum agama terhadap penyelenggaraan negara. Ketika agama sebagai pondasi tidak dimiliki, maka rusaklah bangunan  kekuasaan. Dan realitas seperti ini telah kita saksikan selama bertahun-tahun di negeri ini. Menjadi bukti ketika agama tidak digunakan sebagai landasan kekuasaan, yang terjadi adalah kerusakan demi kerusakan.

Strategi Memilih Pemimpin yang Paham Agama agar Penyelenggaraan Negara tidak Menyimpang dari Tuntunan-Nya

Mengingat tugas kepemimpinan itu berat, pertanggungjawabannya dunia dan akhirat, maka sang pemimpin haruslah sosok yang benar-benar kredibel dan kompeten dalam menjalankannya. Yang utama adalah pemimpin yang paham agama agar penyelenggaraan negara tidak menyimpang dari tuntunan-Nya. Berikut strategi memilih pemimpin yang bersosok ideal tersebut:

Pertama, tidak mengambil orang kafir (orang yang tidak beriman) sebagai pemimpin bagi orang-orang Muslim. Bagaimana pun ini akan mempengaruhi kualitas keberagamaan rakyat yang dipimpinnya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an Surat An-Nisa': 144.

Kedua, tidak mengangkat pemimpin dari orang-orang yang mempermainkan agama Islam. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Maidah: 57.

Ketiga, pemimpin harus memiliki keahlian di bidangnya. Pemberian tugas atau wewenang kepada yang tidak berkompeten akan mengakibatkan rusaknya pekerjaan bahkan institusi yang menaunginya. Rasulullah SAW bersabda, “Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Keempat, pemimpin harus bisa diterima (acceptable), mencintai dan dicintai umatnya, mendoakan dan didoakan oleh umatnya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Sebaik-baik pemimpin adalah mereka yang kamu cintai dan mencintai kamu, kamu berdoa untuk mereka dan mereka berdoa untuk kamu. Seburuk-buruk pemimpin adalah mereka yang kamu benci dan mereka membenci kamu, kamu melaknati mereka dan mereka melaknati kamu” (HR. Muslim).

Kelima, pemimpin harus mengutamakan, membela dan mendahulukan kepentingan umat, menegakkan keadilan, melaksanakan syari’at, berjuang menghilangkan segala bentuk kemunkaran, kekufuran, kekacauan, dan fitnah. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Al Maidah: 8

Keenam, pemimpin harus memiliki bayangan sifat-sifat Allah SWT yang terkumpul dalam Asmaul Husna dan sifat-sifat Rasul-Nya.

Ketujuh, meneladani karakter Kepemimpinan Rasulullah SAW. Shiddiq (jujur) merupakan karakter wajib pemimpin. Misalnya; tidak berbohong atau menipu, tidak ingkar janji-janji kampanye jelang Pemilu, dan seterusnya.

Terkait karakter amanah, pemimpin harus menjaga kepercayaan rakyat dan bertanggung jawab atas apa yang ia kerjakan. Fathonah (cerdas) dalam memutuskan sesuatu atau mengambil kebijakan. Serta tabligh yaitu apa yang ia sampaikan merupakan kebenaran dan selalu mengajak masyarakat untuk menerapkan aturan yang benar yaitu dari Allah SWT dan Rasul-Nya.

Pemimpin berkarakter di atas layak untuk dipilih dan insya Allah mampu menunaikan tugasnya hingga tidak menyimpang dari tuntunan-Nya. Hanya saja, mungkinkah terwujud sosok islami di tengah tatanan hidup (sistem pemerintahan) tidak islami saat ini? 

Menyitir ucapan Prof. Mahfud MD, malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis, lalu bagaimana bila yang masuk manusia biasa? Dengan demikian, idealnya tak hanya memilih pemimpin Islami namun juga mengubah tatanan hidup (sistem pemerintahan) menjadi Islami juga. Sehingga akan tercapai fungsi kepemimpinan hakiki sebagai pelanjut tugas kenabian menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia dengan syariat-Nya. Sejatinya inilah jaminan hidup bahagia sejahtera dunia akhirat yang didamba seluruh manusia. []

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati

0 Komentar