Serangan Koalisi Amerika atas Yaman, Umat Butuh Persatuan


MutiaraUmat.com -- Pada Kamis sore (11/01) hingga Jumat (12/11) Amerika bersamaan dengan Inggris melancarkan serangan ke Ibukota Yaman Sana’a. Sebagai reaksi atas aksi Militer Houthi Yaman yang menutup akses Laut Merah bagi kapal-kapal Amerika dan sekutunya. Diketahui sebelumnya Houthi menggencarkan aksi mereka memboikot akses Laut Merah sebagai bentuk keberpihakan dengan Palestina. Aksi ini membangkitkan amarah Amerika dan sekutunya lantaran jalur tersebut mengandung chokepoint dunia, Selat Bab Al-Mandab. Boikot tersebut mengakibatkan terganggunya rantai pasok perdagangan dunia. Kapal-kapal harus berputar lewat Tanjung Harapan. (BBCNewsIndonesia.com, 12/01/2024)

Sebagai respon atas serangan Amerika – Inggris, Yaman mengirimkan rudal balistik ke arah Laut Merah. Namun dikonfirmasi bahwa rudal ini tidak mengenai kapal musuh satupun. Amerika memperkirakan Yaman tidak akan menyerah begitu saja dalam pertempuran kali ini. Yaman pun telah menegaskan tidak akan menyerah sedikitpun dan aktif menunjukan keberpihakan pada Saudara Muslim Palestina. (Detik.com, 13/01/2024)

“Setiap individu di dunia ini dihadapkan pada dua pilihan -berdiri bersama para korban genosida atau membela para pelakunya.” Tulis Pemimpin Houthi Mohammed Al-Bukhaiti di media sosial. 


Konstelasi Politik

Menanggapi aksi Yaman yang terbilang “paling frontal” dibanding negara Muslim lainnya, ada negara yang pro dengan aksi Yaman namun ada pula yang berpihak pada koalisi Amerika – Inggris. Australia, Bahrain, Kanada, Denmark, Jerman, Belanda, Selandia Baru, dan Korea Selatan berkoalisi menyokong Amerika. 

Adapun negeri-negeri berpenduduk Muslim mayoritas beragam pandangan. Turki, Iran serta Yordania menyatakan dukungan atas Yaman dan mengecam aksi Amerika. Adapun Mesir dan UEA memilih netral dan menghasung perdamaian dua belah pihak. Sementara Oman memilih untuk mengecam serangan Yaman yang memancing reaksi musuh. Bahkan Bahrain bergabung dengan koalisi Amerika – Inggris.

Satu hal yang cukup memprihatinkan adalah bagaimana Kaum Muslim hari ini berpecah dan tidak satu suara. Terbukti antar negara memiliki respon yang berbeda, bahkan di Yaman sendiri tidak satu suara. Sebagaimana yang diketahui bahwa Yaman terpecah menjadi dua wilayah dan dua penguasa. Penguasa Yaman yang sah diakui oleh internasional hari ini mengecam tindakan militer Houthi yang menyerang Laut Merah dan menyebabkan kekacauan. Tak hanya itu, negara lainnya memilih mendukung secara verbal saja atau memilih netral karena lebih memikirkan nasib negaranya sendiri. 

Di saat yang bersamaan, Amerika justru menggandeng beberapa negara untuk berkoalisi melancarkan serangan. Selain menyokong Israel dengan aksi genosidanya terhadap Palestina, Amerika membangun basis kuat untuk mengembalikan power mereka di Laut Merah. Karena bagaimana pun juga Selat Dab Al-Mandab adalah chokepoint dunia yang punya pengaruh besar terhadap rantai pasok bisnis internasional. 

Maka benarlah sabda Nabi, akan ada masa dimana Umat Islam menjadi makanan empuk bagi para musuh. Bukan karena jumlahnya sedikit. Melainkan jumlahnya banyak namun berpecah-belah seperti buih di lautan. Terombang-ambing kesana kemari. 

"Dari Tsauban ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: "Suatu masa nanti, bangsa-bangsa akan memperebutkan kalian seperti orang-orang yang sedang makan yang memperebutkan makanan di atas nampan". Kemudian ada sahabat yang bertanya: "Apakah saat itu kita (kaum Muslimin) berjumlah sedikit [sehingga bisa mengalami kondisi seperti itu]?". Rasulullah SAW menjawab: "Sebaliknya, jumlah kalian saat itu banyak, namun kalian hanyalah bak buih di atas air bah [yang dengan mudah dihanyutkan ke sana ke mari]. Dan Allah SWT akan mencabut rasa takut dari dalam diri musuh-musuh kalian terhadap kalian, sementara Dia meletakkan penyakit wahn dalam hati kalian." Ada sahabat yang bertanya lagi: "Wahai Rasulullah SAW, apakah wahn itu?" beliau menjawab: "Cinta dunia dan takut mati."

Fenomena ini terjadi akibat paham nasionalisme yang ditanamkan Barat dalam pemikiran umat telah mengkotakan ukhuwah dan mempersempit objek pemikiran Umat. Telah bercokol di benak umat sikap pragmatis dan individualis, sehingga enggan memikirkan nasib Kaum Muslim sedunia. Melainkan berfokus pada masalah bangsa sendiri. Di saat Palestina membutuhkan uluran bantuan militer dari wilayah Islam lainnya, tidak ada negeri muslim satu pun yang mampu mengirim bantuan militer. Bukan tak punya kuasa, namun tersekat batas teritorial fana. 

Ditambah dengan tunduknya penguasa boneka di negeri-negeri Muslim kepada hegemoni Barat, melanggengkan pelemahan potensi Kaum Muslimin. Amerika banyak campur tangan mengintervensi kebijakan politik di berbagai negeri Muslim menjadikan negeri-negeri Muslim tidak memiliki politik yang mandiri independen. Barat pun menjerat negeri-negeri Muslim dengan utang ribawi melalu Bank Dunia demi mengikat dan merampas kekayaan kaum Muslim. 


Ketiadaan Junnah

Baik masalah Yaman, Palestina, dan negeri Muslim lainnya yang hari ini terjadi semua bermuara dari ketiadaan perisai atau junnah Umat yang mampu melindungi. Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alaih dll.)

Sebab hanya dengan sistem pemerintahan Islam umat bersatu dalam satu naungan. Hanya dengan sistem politik Islam yang polugrinya bebas aktif serta mandiri dihormati oleh kawan dan disegani oleh lawan. Sebagaimana 13 abad Islam pernah menaungi 1/3 dunia dan disegani oleh musuh-musuh Islam. Dalam chain of command yang jelas, wilayah Kaum Muslimin mampu terjaga kesejahteraan dan keharmonisannya. Ketika terjadi penyerangan, Islam memiliki kekuatan militer yang tangguh nan professional mampu melawan musuh. Tanpa tersekat batas teritorial ataupun perbedaan suku bangsa. 

Salah satu bukti sejarah yang mampu menggambarkan kepada kita pentingnya chain of command dalam penjagaan wilayah geografis Umat Islam adalah kemenangan Kekhilafahan Utsmaniyah atas Portugis. Pasukan Portugis di bawah kepemimpinan Pangeran Henry menguasai Pelabuhan Sabtah di Maroko. Hal ini menjadi permulaan perang Utsmani – Portugis. Portugis didasari semangat menyebarkan Kristen dan beranggapan bahwa mereka “Penolong Agama Nasrani” harus menumpas Islam sebagai musuh bebuyutan mereka. Maka mulailah mereka menyerang wilayah Tanah Suci Umat Islam dan berambisi ingin merebut bahkan ingin merampas jasad Rasulullah SAW untuk dijadikan bahan gadai. Bahkah, gerakan ekspedisi ini didukung penuh oleh entitas Yahudi. 

Tak hanya itu, Portugis menguasai beberapa jalur bisnis strategis di sekitar Laut Arab, Teluk Arab, dan pantai-pantai Afrika. Tujuan utama mereka adalah mengunci dua selat penting yang hari ini kita kenal sebagai dua chokepoint dunia. Yakni Bab Al-Mandab dan Hurmuz. Namun, di masa pemerintahan Sulaiman Al-Qanuni Portugis mampu diusir dari Laut Merah dan wilayah-wilayah Teluk Arab. Dikatakan bahwa sekalipun terdapat serangan Portugis dan beberapa konflik internal dalam tubuh Kaum Muslimin, jalur peribadahan menuju Tanah Suci tetap aman dan Umat Islam masih bisa menempuh perjalanan dengan aman untuk ibadah. (Sumber: Bangkit dan Runtuhnya Khilafah Utsmaniyah)

Dengan asas polugri ala Islam yang menolak segala intervensi asing serta muamalah ribawi menjadikan negara Islam kuat dan bebas menentukan langkah dalam menjaga wilayah kekuasaannya sesuai tuntunan syariat. Bahkan musuh sungkan untuk mengganggu dan mencaplok wilayah Islam. Sebagaimana yang terjadi pada masa Khalifah Abdul Hamid II, Yahudi Zionis tidak berani mencaplok Palestina. Baru ketika institusi Islam ini runtuh pada tahun 1924, setelahnya Yahudi bebas mencaplok Tanah Al-Quds. []


Oleh: Qathratun
Member @geosantri.id

0 Komentar