Sejahtera dengan KEK? Jebakan Kesengsaraan

MutiaraUmat.com -- Dikembangkan mulai tahun 2009, pemerintah menetapkan adanya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di 20 titik kawasan di sejumlah provinsi di Indonesia, mulai dari Sumatera sampai ke Papua. Sebagai program nasional, KEK bergerak di bidang industri manufaktur dan wisata. 

KEK digadang-gadang bisa meningkatkan investasi dan menyerap tenaga kerja rakyat. Terdata di tahun 2023 ada 36000 pekerja terserap di industri parawisata dan 33000 pekerja di industri manufaktur. 

Sedang terkait investasi, pemerintah telah membuka lebar-lebar keran investor baik dari dalam maupun luar negeri. Yang penting kuat modal. Wajar, sistem Kapitalisme mencipta gurita oligarki di setiap proyek strategis di negeri ini. 

Dari kata "Khusus", bisa dipahami bahwa program nasional KEK ini membidik target tertentu, bukan umum. KEK Pariwisata Kesehatan di Bali, misalnya. Di sana akan dibangun 8 klinik di RS Bali Internasional, mencakup klinik estetik, operasi plastik (plastic surgery), stem cell, fertilitas (fertility) dan geriatri. Tergambar aktivitas yang akan berjalan seperti apa dan yang hilir mudik dari  kalangan mana saja.

Ilusi Sejahtera

Memang KEK menyerap tenaga kerja, namun masih jauh dari kata sejahtera. Mengapa? Karena sebagian besar, rakyat kecil bekerja di posisi sebagai pekerja bawahan saja. Seperti di bagian office boy, produksi, dll.. 

Faktanya, setelah adanya KEK, banyak rakyat kecil kehilangan mata pencaharian. Para petani dan nelayan, hidup miskin bertambah miskin. Bahkan terusir dari tanah lahirnya sendiri. Padahal, mereka pribumi. Sedang para pemilik modal (investor luar) adalah para pendatang yang menjadi tuan serta meraup keuntungan sesuka mereka. 

Lalu, apakah layak sebutan bahwa program KEK menyejahterakan, sedang di lapangan kesenjangan makin melebar? 

Carut Marut Kebijakan Kapitalis

Keberpihakan pemerintah terhadap rakyatnya, mempunyai tanggungjawab penuh dalam hal pemerataan pembangunan. Di mana pun berada, sama. Maka seharusnya tidak ada posisi pengkhususan dalam setiap kebijakan.

Semestinya, mulai perencanaan dan pelaksanaan juga pemanfaatan program, murni pemerintah yang menjalankan. Terutama masalah modal. Bukan sekadar hadir membuat regulasi, sedang di lapangan swasta punya kuasa. 

Dalam kebijakan yang berjalan selama ini, sistem ganti rugi (bahkan ada yang sama sekali tidak mendapat penggantian) merupakan solusi yang merugikan rakyat. Seharusnya, rakyat dilayani, diayomi, didengarkan serta diperhatikan kebutuhannya. Bukan asal program berjalan.

Menumpuknya ketidakpuasan rakyat yang tidak mendapatkan keadilan, memunculkan ledakan yang bisa saja muncul kapan saja ketika ada pemantiknya. Seperti belum lama kasus Rempang dan Seruyan di Kalimantan Tengah. 

Sayangnya, penyelesaiannya tidak tuntas. Pemerintah hanya mengambil kebijakan yang tambal sulam. Rakyat kecil jadi korban. Mungkin bisa meredam, namun sesaat saja. 

Sistem Islam Membangun

Dalam sistem Islam, yakni Daulah Khilafah Islam, pembangunan dirancang dan dilaksanakan sebagai salah satu tanggung jawab negara untuk melayani dan menyejahterakan rakyatnya. Merata. Tanpa pembeda untuk warga muslim atau bukan. Karena tugasnya menyebarkan rahmat ke seluruh alam. 

Proyek pembangunan negara tidak bertarget pada transaksi ekonomi komersial. Pihak swasta mungkin diikutsertakan, dengan akad putus di bagian-bagian cabang saja. Artinya, bagian pokok seperti modal, status kepemilikan, jelas milik negara. 

Atas dasar akidah, pembebasan lahan akan berjalan mudah. Sebab, pemilik tanah selain pasti mendapatkan keadilan terkait kompensasi yang diterima, dorongan untuk berlomba-lomba dalam beramal salih menjadi faktor yang tidak didapati pada sistem lain. 

Proyek rel kereta api Hijaz buktinya. Adalah satu proyek peninggalan Khilafah Utsmani yang masih bisa kita lihat saat ini.

Dengan izin Allah akan ada proyek-proyek besar lain, ketika kehidupan dalam naungan sistem Islam bisa dilanjutkan. Wallahu alam.

Oleh: Sri Ratna Puri
(Pegiat Opini Islam)

0 Komentar