Mutiaraumat.com -- Semenjak Undang-Undang (UU) telah dibuat atau dirubah berdasarkan akal manusia, banyak digunakan untuk kepentingan pribadi saja demi keuntungan hidup di dunia. Terutama untuk kepentingan pribadi yang membuat Undang-Undang (UU) tersebut.
Undang-Undang (UU) yang tidak berdasarkan dari Sang Pencipta pada akhirnya akan menghasilkan kerusakan. Seperti Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2024 Tentang Perubahan Kedua Atas (UU) Nomor 11 Tahun 2028 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Alasan merevisi UU ITE yang telah dinukil dari laman JDIH Setneg, karena keberatan publik dalam penerapan aturan pidana dalam UU ITE sebelumnya. Poin pertama alasan dalam UU 1/2024 ini disahkan berbunyi “Munculnya keberatan sebagian masyarakat terhadap beberapa ketentuan pidana seperti dalam Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 ayat (2) yang telah beberapa kali diajukan uji materi (judicial review) di Mahkamah Konstitusi.”
Alasan lainnya karena aturan sebelumnya belum menyelesaikan masalah. Ternyata, masih ada persepsi tidak tepat sasaran dalam pelaksanaan aturan.
(Tirto.id/7/1/2024)
Perubahan Kedua terhadap UU ITE 2.0 memberikan wajah dan fitur baru UU ITE yang lebih progresif dan komprehensif dalam mengatur penyelenggaraan sistem dan transaksi elektronik serta pengaturan pidana. Perubahan kedua UU ITE telah dilatarbelakangi kebijakan strategis pemerintah dalam menjaga ruang digital Indonesia yang bersih, sehat, beretika, produktif, dan berkeadilan (Nasional.kompas.com/5/1/2024).
Perubahan kedua atas UU ITE telah memiliki dampak yang besar. Namun, dampak tersebut masih tidak sepenuhnya yang terbaik untuk masyarakat. Masyarakat hanya bisa menjalankan saja tanpa bisa mengubah UU dengan bebasnya, tidak seperti para penguasa.
Perubahan UU ITE juga dipandang masih banyak mengandung pasal bermasalah, yang dapat menjadi pasal karet agar dapat dimainkan untuk menyerang pihak tertentu.
Pasal karet membuka peluang terjadinya kriminalisasi lawan politik, juga umat Islam yang selalu dijadikan sebagai tertuduh. Selama menggunakan sistem kapitalisme, maka para penguasalah yang sebenarnya memiliki keuntungan hidup untuk dirinya sendiri tanpa memikirkan baik atau buruknya dari Sang Pencipta, termasuk dengan sesuka hatinya membuat atau merubah Undang-Undang (UU).
Sistem ini menggunakan aqidah sekuler yang bertujuan untuk memisahkan agama dari kehidupan. Tidak heran maka semakin banyak manusia yang ingin menjauh dari Islam, karena sering dituduh dan menganggap bahwa Islam itu tidak sepenuhnya menguntungkan secara duniawi.
Undang-Undang (UU) dalam Islam adalah untuk menegakkan keadilan dan mengatur kehidupan masyarakat, dan jauh dari konflik kepentingan. Undang-Undang (UU) tersebut berasal dari Islam Rahmatan lil’alamin, dan berlandaskan aqidah Islam.
Sehingga sesuai dengan fitrah manusia, bahkan mampu menyejahterakan seluruh masyarakat. Para penguasa yang bertakwa, maka aturan Allah benar-benar ditegakkan lewat Undang-Undang (UU) dalam Islam.
Di sisi lain, media dalam Islam memiliki peran strategis, baik dalam mencerdaskan umat maupun sebagai penyalur aspirasi rakyat dan alat muhasabah perangkat negara. Karena media sering digunakan oleh masyarakat untuk keberlangsungan hidup, tak terkecuali oleh penguasa. Media yang diatur sesuai syariat, maka masyarakat termasuk penguasa pun memiliki kepribadian yang bertakwa secara menyeluruh.
Pengaturan media dan penyampaian pendapat oleh rakyat adalah untuk menegakkan keadilan dan menjaga agar tetap berada dalam keridloan Allah. Penerapan syariat Islan dalam seluruh lini kehidupan, akan membuat kehidupan masyarakat menjadi lebih sejahtera dan tidak akan lagi sengsara. Karena pada dasarnya, syariat Islam memang berasal dari Sang Pencipta yang mengetahui kondisi setiap umatnya.
Wallahua’lam bishshawwab.[]
Oleh: Hanisa Aryana, S.Pd. (Pemerhati Pendidikan dan Remaja)
0 Komentar