Potret Negara Lemah 2023: Oligarki Mengendalikan Hukum dan Kekuasaan

MutiaraUmat.com -- Oligarki. Kian dekat dengan prosesi politik 2024, topik ini semakin hangat dibincang. Banyak yang apriori terhadap pengaruhnya atas penyelenggaraan negara. Benarkah oligarki telah memengaruhi sistem dan proses hukum? 

Hal ini tentu saja menyangkut law and power, hukum, serta kekuasaan. Sebenarnya hukum itu hadir untuk membatasi kekuasaan yang cenderung absolut. Ketika kekuasaan yang dahulu diatur oleh hukum kemudian berbalik menjadikan hukum sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan, maka kekuasaan itu sudah mengendalikan hukum. Kekuasaan itu bisa berisi politik (jabatan-jabatan strategis) dan ekonomi (pengusaha) yang dikendalikan oleh segelintir orang yang kita sebut oligark. Atau dalam bahasa kasarnya adalah "Peng-Peng".

Lalu bagaimana itu bisa terjadi? Hingga kini kita masih mengakui berada dalam sistem demokrasi. Padahal senyatanya menurut Ian Dallas, kita telah berada di sistem okhlokrasi.

Selepas kudeta pada "Vox Rei Vox Dei” di Eropa klasik. Suara Raja Suara Tuhan dikudeta. Diganti Suara Rakyat Suara Tuhan. Demokrasi seolah menjadi dibela sampai mati. Padahal terjadi penyelewengan. Karena di balik Vox Populi Vox Dei, menyelusup sekelompok orang penentu. 

Mereka yang menyusun ‘state’ tadi. Merekalah kaum bankir. Pemilik bank sentral. Dan bank sentral menjadi makhluk ‘ghaib’ di luar Trias Politica. Tak dikenali Montesquei. Tak dikenali Machiavelli. Tapi menyelusup dalam teorinya JJ Rousseau. Inilah wujud ‘state’ yang nyata. Bukan lagi Trias Politica. Melainkan Trias Politica dikendalikan bank sentral.

Karena faktanya, bank sentral memiliki kekuasaan. Mereka mengendalikan uang dan harta. Mereka entitas yang tak bertanggung jawab secara hukum pada entitas Trias Politica. Mereka berdiri sendiri. Utuh, mandiri, tanpa pengawasan. Karena government bukan sebagai ownernya. Melainkan dimiliki segelintir kaum Yahudi. 

Sekuel itu bisa dibaca melalui Bank of England, 1668. Kala bank sentral pertama di dunia itu berdiri, mengendalikan Raja William sebagai nasabah terbesar. Raja Inggris berutang pada bank. Jadi, okhlokrasi inilah yang menopang berdirinya oligarki yang konon tetap mengaku-aku berlandaskan demokrasi.

Bagaimana dampak pengendalian kekuasaan oleh oligarki terhadap penegakan hukum? Penegakan hukum sebenarnya dilakukan sejak law making, karena sejak saat itulah sebenarnya jangkar bekerjanya hukum dalam masyarakat itu ditancapkan.  

Pada tahun 2023, kita menyaksikan pembentukan hukum di bidang investasi lebih membela pengusaha dan penguasa. Pemerintah misalnya, tetap bersikukuh menetapkan UU Omnibuslaw padahal mendapat perlawanan rakyat hingga digugat di MK dengan putusan inskonstitusional bersyarat (2022). 

Pemerintah stubborn hingga mengeluarkan Perppu yang kemudian DPR menyetujui dengan mengeluarkan UU No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Di awal tahun 2023, bangsa Indonesia berhasil menetapkan KUHP Nasional yang akan berlaku 3 tahun sejak ditetapkan. 

Hukum korupsi itu sudah ditentukan sejak penyusunan UU Investasi, misal dengan Omnibus law Cipta Kerja 2020, di bidang korupsi sejak perubahan UU KPK (2019). Dan siapa yang ada di balik kedua UU itu? Apakah murni rakyat? Bukan! Melainkan Peng-Peng! 

Pada pertengahan tahun, kita disibukkan dengan berbagai isu hukum dan politik menjelang pemilu tahun 2024. Cawe-cawe Presiden Jokowi di dalam proses penyelenggaraan Pemilu dinilai merusak kehidupan demokrasi. Cawe-cawe itu hingga ke ranah endorsement terhadap Gibran Rakabuming untuk disandingkan dengan Prabowo sebagai calon wakil presiden.

Mengingat umur Gibran belum mencapai 40 tahun, agar memenuhi syarat sebagai cawapres, maka ada upaya sistematis untuk merudapaksa UU Pemilu dengan Judicial Review yang melibatkan pamannya sekaligus Ketua MK, yakni Hakim Anwar Usman. Syahdan, gayung bersambut Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 memuat amar bahwa ketentuan tentang batas usia dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai atau pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui Pemilu. 

Atas putusan aneh, ini Ketua MK disidang oleh MKMK dengan putusan bahwa Ketua MK telah melakukan pelanggaran kode etik sangat berat sehingga berujung pada pencopotan Anwar Usman sebagai Ketua MK.

Di penghujung tahun 2023 pun problem hukum menyeruak dengan penetapan Ketua KPK Firli Bahuri sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Plot twist tengah terjadi dalam penegakan hukum kita.

Jadi kita bisa memprediksi, penegakan hukum yang dipengaruhi Peng-Peng pasti membuat hukum tak kunjung tegak bahkan the haves always come out ahead maupun down ward law is greater than upward law (Hukum Pisau Dapur). Dalam keadaan ini, para penegak hukum tak lagi independen.

Independensi penegak hukum itu bisa terwujud kalau benar-benar diterapkan sparation of power atau hukumnya sendiri benar-benar bukan hasil rekayasa atau kesepakatan manusia belaka. Misal hukum yang telah Allah SWT sediakan. 

Jika hukum hanya merupakan hasil kesepakatan rakyat atas nama numeric democracy (demokrasi hanya dalam angka melalui voting), maka sejak awal saja hukum itu pasti memihak the haves, apalagi soal penegakan atau bekerjanya dalam masyarakat. 

Lembaga-lembaga penegak hukum itu tidak bekerja di ruang hampa, melainkan di ruang yang dipenuhi dengan conflict of interest tersebab nepotisme atau kepentingan lainnya. Lalu bagaimana ia bisa independen? Kembali ke persoalan awal, mungkinkah negara demokrasi liberal kapitalistik ini bisa lepas dari cengkeraman oligarki yang mengendalikan hukum dan kekuasaan? Bagi negara lemah, adalah sebuah kemustahilan bisa terlepas dari "black oligarch".

#Lamrad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


MATERI KULIAH ONLINE
UNIOL 4.0 Diponorogo
Senin, 1 Januari 2024
Diasuh oleh: Prof. Pierre Suteki
---------------------------------------------
Oleh: Pierre Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

0 Komentar