Pemilu di Depan Mata Aroma Politisasi ODGJ Makin Tampak


MutiaraUmat.com -- Pemilihan Umum Presiden Indonesia 2024 adalah sebuah proses demokrasi untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk masa bakti 2024–2029. Pilpres 2024 akan berlangsung pada 14 Februari 2024. Namun yang menjadi hal menarik adalah adanya penyandang disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) masuk dalam daftar pemilih tetap.

Anggota Divisi Data dan Informasi KPU DKI Jakarta Fahmi Zikrillah mengatakan bahwa Daftar Pemilih Tetap (DPT) untuk Pemilu 2024 berjumlah 8.252.897 pemilih. Dari total keseluruhan 8,2 juta jumlah pemilih tersebut, 61.747 diantaranya merupakan penyandang disabilitas termasuk 22.871 disabilitas mental atau orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). (cnnindonesia.com, 16/12/2023)

Dilansir dari monitoringindonesia.com, (20/12/2023) Ketua Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat KPU DKI Jakarta, Astri Megatari, mengatakan bahwa Orang Dalam Gangguan Jiwa (ODGJ) tetap mempunyai hak suara, tetapi dengan catatan memiliki surat resmi dari dokter yang bertanggung jawab. Astri juga menambahkan bahwa surat keterangan sehat dari dokter adalah penentu apakah pemilih ODGJ mengalami delusi halusinasi atau tidak. Keterangan tersebut penting untuk menentukan bisa tidaknya ODGJ pergi ke TPS. 

Tidak hanya di DKI Jakarta, menurut beritajateng.tv (20/12/2023) KPU Provinsi Jawa Tengah akan memfasilitasi sebanyak 43.851 pemilih disabilitas mental atau ODGJ pada pemilu 2024 mendatang. Sementara di Bali Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat jumlah pemilih dengan gangguan jiwa (ODGJ) di Bali mencapai 4.955 orang. Tertinggi di Kabupaten Gianyar sebanyak 760 orang. (detik.com, 19/12/2023)

Begitulah, dalam sistem politik demokrasi seharusnya pemilih menjadi raja dan ratu. Karena suara mereka menentukan nasib kontestan Pemilu. Pemenang pemilu adalah kontestan yang mendapat suara terbanyak, maka tak heran pemilih dalam pemilu menjadi salah satu objek yang berpotensi bermasalah.

Dahulu, Pemilu di Indonesia tidak memasukkan ODGJ sebagai pemilih berdasarkan Undang-Undang Pemilu. Pasalnya, dalam Undang-Undang Pemilu dicantumkan enam syarat yang harus dipenuhi oleh pemilih, salah satunya adalah tidak sedang terganggu jiwa dan ingatannya.

Menjelang Pemilu 2014 syarat tidak sedang terganggu jiwa atau ingatan tersebut menimbulkan polemik dan kembali menjadi perbincangan publik menjelang Pemilu 2019. Pada pemilu 2019 Mahkamah Konstitusi (MK) menegaskan, syarat tidak sedang gangguan jiwa atau ingatan bertentangan dengan konstitusi sepanjang frasa terganggu jiwa atau ingatan tidak dimaknai sebagai mengalami gangguan jiwa atau ingatan permanen menurut profesional bidang kesehatan. Keputusan MK inilah yang menjadi pedoman bagi KPU untuk menetapkan ODGJ sebagai pemilih.

Perubahan peraturan terkait hak pilih dalam sistem demokrasi sejatinya menunjukkan bahwa perubahan regulasi dalam sistem demokrasi adalah sesuatu yang dianggap wajar. Bahkan regulasi terkait pemilih kalangan ODGJ ini, diduga kuat akan dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraup suara. Ketetapan ODGJ boleh memanfaatkan hak pilihnya membuktikan bahwa negara memiliki standar ganda dalam kebijakan-kebijakannya. Sebab negara memberi perlakuan berbeda terhadap ODGJ dalam perkara lain.

Contohnya, dalam kasus kriminalisasi ulama yang banyak terjadi beberapa tahun terakhir. Pelaku yang kebanyakan berasal dari ODGJ justru dibebaskan oleh negara atau tidak diberi sanksi. Hal tersebut menunjukkan bahwa negara mengakui ODGJ tidak memahami konsekuensi atas aktivitas-aktivitasnya dan tidak mampu berpikir benar. 

Oleh karena itu, masalah ini tidak hanya berkaitan dengan penghormatan atas hak politik dan kewarganegaraan ODGJ semata. Lebih dari itu, berkaitan dengan kebijakan politisasi ODGJ oleh pihak-pihak tertentu demi meraih kekuasaan atau memenangkan Pemilu.

Sistem demokrasi telah membuka celah bagi orang-orang yang memiliki kekuatan dan modal untuk melakukan politisasi terhadap ODGJ. Apalagi kekuasaan yang mereka dapatkan hanya untuk memperkaya diri sendiri dan golongannya, bukan untuk menyejahterakan rakyat. Inilah tabiat sistem demokrasi yang menghalalkan segala cara demi meraih kekuasaan. Selain dari itu, sistem demokrasi adalah sistem rusak yang berasal dari akal manusia yang lemah. Sehingga tidak layak diterapkan dalam kehidupan umat manusia.


Sistem Politik Islam

Sistem politik Islam didasarkan pada akidah Islam yang lurus yang memandang bahwa Allah adalah Al-Khaliq (Pencipta) dan Al-Mudabbir (Pengatur) kehidupan. Oleh karenanya, praktik politik pun wajib dijalankan di atas aturan-aturan syariat dan wajib ditegakkan oleh semua pihak baik penguasa maupun rakyatnya.

Politik dalam pandangan Islam merupakan ri'ayah syu'unil ummah atau pengurusan urusan umat dengan syariat Islam saja. Oleh karena itu, politik tidak hanya dimaknai sebagai kekuasaan sebagaimana politik demokrasi. 

Islam memandang bahwa kekuasaan hanya menjadi sarana untuk menerapkan hukum-hukum syariat. Sebab kedaulatan hanya ada di tangan Asy-Syari' sebagai pembuat hukum Allah Subhanahu Wa Ta'ala.

Dalam sistem politik Islam, rakyat dilibatkan dalam memilih pemimpin (khalifah). Hanya saja, Islam telah menetapkan syarat-syarat sah kepemimpinan, diantaranya seorang Muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu melaksanakan amanah kekhilafahan. Islam juga telah menetapkan metode baku dalam pengangkatan pemimpin. Sedangkan pemilihan oleh rakyat secara langsung hanya merupakan salah satu cara untuk memilih pemimpin setelah Mahkamah Mazhalim menetapkan calon khalifah yang lolos verifikasi. Mereka tentu harus orang yang berakal bukan ODGJ.

Islam memfungsikan akal sebagaimana tujuan diciptakannya akal oleh Allah SWT, yaitu untuk memahami hakikat hidup sebagai hamba Allah dan memahami Al-Qur'an sebagai petunjuk hidup. Islam mengakui ODGJ sebagai makhluk Allah yang wajib dipenuhi kebutuhannya, namun tidak mendapatkan beban amanah termasuk dalam memilih pemimpin.

Rasulullah SAW bersabda, "Pena diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan: Pertama, orang yang tidur sampai dia bangun. Kedua, anak kecil sampai mimpi basah (baligh) dan ketiga orang gila sampai ia kembali sadar (berakal)." (HR. Abu Dawud)

ODGJ dalam khilafah juga sangat jarang ditemui mengingat kesejahteraan dan keadilan dirasakan oleh umat manusia sebagai kerahmatan yang merupakan konsekuensi penerapan Islam kaffah
Dengan demikian, khilafah mampu menghindarkan rakyat dari kemiskinan dan kezaliman yang dalam sistem hari ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan jiwa. Demikianlah, sistem politik Islam yang mampu mencetak pemimpin berkualitas dengan tetap memperhatikan kemaslahatan orang dengan gangguan jiwa. []


Nabila Zidane
Jurnalis

0 Komentar