Pemilu dan Masa Depan Umat

MutiaraUmat.com -- Pemilu 2024 di negeri ini sudah makin dekat. Hajatan besar 5 tahunan yang diongkosi triliunan rupiah dari uang rakyat dan melibatkan seluruh lapisan masyarakat disambut secara gegap-gempita. 

Akankah Pemilu ini bermanfaat untuk rakyat?
Tentu jawabannya jelas beragam.
Ada pihak yang merasa yakin bahwa Pemilu akan memberikan banyak perubahan dan menjadi tumpuan harapan, karena dianggap dari sanalah perubahan ke arah yang lebih baik bisa dimulai. 

Namun sebaliknya, ada yang pesimis bahkan apatis. Karena dianggapnya Pemilu tidak akan membawa perubahan apa-apa, baik dari segi gagasan, kebijakan ataupun program yang disampaikan.

Pemilu dianggap sebagai pesta demokrasi, pestanya rakyat untuk memilih para wakilnya yang duduk di parlemen, sekaligus untuk memilih pemimpin yang didambakan. Dan wakil-wakil rakyat dianggap sebagai penyambung lidah rakyat, dan pemimpin yang terpilih akan menjalankan kehendak dan keinginan rakyat menuju masyarakat dan negara yang demokratis.

Pertanyaannya, apakah benar para wakil rakyat itu menjadi penyambung lidah aspirasi rakyat? Dan apakah benar pemimpin yang terpilih akan menjalankan kehendak rakyatnya? 
Justru kenyataannya berbicara lain. Alih-alih membela kepentingan rakyat, para wakil rakyat dan pemimpin yang terpilih selama ini justru lebih banyak mengagendakan kepentingan pribadi, keluarga, dan partainya. Sementara rakyat seperti biasa habis manis sepah dibuang.

Pemilu dalam Islam untuk Menuju Perubahan Hakiki 

Dari segi asasnya sistem Islam sangat berbeda dengan sistem demokrasi. Karena keduanya melahirkan sistem yang berbeda, bahkan bertentangan termasuk Pemilu. Karena didalamnya rakyat menggantungkan harapan untuk memperbaiki kehidupan mereka dengan mengabaikan ridho Allah ta'ala.
Ketika Islam membolehkan Pemilu untuk memilih khalifah atau anggota majelis umat, hal ini bukan berarti Pemilu dalam Islam identik dengan Pemilu dalam sistem demokrasi sekarang. 

Dari segi cara/teknis (uslub), memang boleh dikatakan sama antara Pemilu dalam sistem demokrasi dan Pemilu dalam sistem Islam.
Namun dari segi falsafah dasar, prinsip, dan tujuan keduanya sangatlah berbeda, hal ini bagaikan bumi dan langit.

Pemilu dalam demokrasi didasarkan pada falsafah dasar demokrasi itu sendiri, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Sedangkan Pemilu dalam Islam didasarkan pada akidah Islam, yang tidak pernah mengenal pemisahan agama dari kehidupan.

Pemilu dalam sistem demokrasi didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan rakyat, sehingga rakyat disamping mempunyai hak memilih penguasa, rakyat juga berhak membuat hukum.

Sebaliknya, Pemilu dalam Islam didasarkan pada prinsip kedaulatan di tangan syariat, bukan di tangan rakyat. Jadi,meskipun rakyat berhak memilih pemimpinnya, tapi kehendak rakyat wajib tunduk pada hukum Al Quran dan as Sunnah. Rakyat tidak boleh membuat hukum sendiri sebagaimana yang berlaku dalam demokrasi.
Tujuan Pemilu dalam sistem demokrasi adalah memilih penguasa yang akan menjalankan peraturan yang dikehendaki dan dibuat oleh rakyat. Sebaliknya, Pemilu dalam Islam bertujuan untuk memilih penguasa (khalifah) yang akan menjalankan kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya, bukan menjalankan hukum kufur buatan manusia seperti dalam demokrasi.

Jadi, jelaslah bahwa Pemilu ini tidak akan memberikan banyak kemanfaatan untuk rakyat maupun untuk umat Islam, kecuali Pemilu itu memang dimanfaatkan untuk mengubah sistem sekuler yang ada menjadi sistem Islam. Pemilu dalam sistem kufur tidak akan memberikan perubahan dan kebangkitan yang hakiki. Karena jalan kebangkitan umat Islam yang hakiki hanyalah syariah Islam dan Khilafah. Oleh sebab itu, setiap umat Islam perlu menyampaikan syariah Islam dan Khilafah secara lantang. Karena tanpa itu, kebatilan akan terus merajalela. Sebab, orang yang diam dari menyatakan kebenaran adalah seperti setan yang bisu.
Wallahu a'lam bi ash-shawab []


Oleh: Yanti Muslim
Aktivis Dakwah Muslimah Bogor

0 Komentar