Pemerintah Mengadopsi Toleransi Liberal


MutiaraUmat.com -- Ahli Fiqih Islam K.H. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, M.Si, mengatakan, pemerintah mengadopsi toleransi liberal atau toleransi gaya Barat, bukan toleransi berdasarkan Islam.

“Paham toleransi liberal yang sekarang diadopsi itu sebenarnya adalah toleransi ala Barat, yang memberi kontribusi besar dan menambah kesalahpahaman, yaitu Natalan dianggap sama seperti Maulid,” jelasnya dalam Akun Official Rasul Hayatul Dakwah: "Natal, Tauhid dan Toleransi." Ahad (24/12/2024) di UIY Official. 

Ia menyebutkan, toleransi ini termasuk mencampuradukkan, kemudian menganggap semua agama sama. Di daerah Ambon pada saat Natalan, di kampung-kampung dan di kantor-kantor yang menjadi ketua panitia biasanya yang ditunjuk adalah Muslim. Toleransi liberal ini tidak mengenal batas-batas syariah, karena mereka liberal. 

“Adanya toleransi liberal dan pengaruh media mengakibatkan umat Islam menjadi kabur atau enggak jelas batas-batas mana yang disebut toleran ataupun intoleran. Ketika kita mau bersikap tegas, misalnya diminta menjadi panitia Natal, khawatir kalau nanti menolak disebut intoleran, bahkan mungkin disebut radikal. Umat Islam secara psikologis merasa dalam posisi ewuhpekewuh bahasa Jawanya, jadi merasa tidak enak kalau tidak menjadi panitia Natal,” papar Kyai Siddiq.

Kyai Siddiq menjelaskan, Prof DR Muhammad Ahmad Mufti, seorang ahli siasah Syariah dari Arab, menulis kitab dengan judul Naqdu Atasamuh Al’ibroli (kritik terhadap toleransi liberal). Ada tiga pemikiran Barat yang mendasari toleransi liberal yaitu, pertama fasluddin anil hayah (sekularisme) adalah agama tidak boleh mengatur kehidupan, agama hanya mengatur ibadah saja. Kedua, taadudiah (pluralism) adalah menganggap semua agama benar, tidak boleh ada klaim satu agama yang benar. Ketiga annisbiah (relativisme) adalah masing-masing kebenaran agama itu relatif, tidak ada yang boleh mengklaim agamanya benar secara absolut, yang lain salah.

 Toleransi Islam 

“Toleransi Islam dasarnya tiga, pertama akidah Islam, jadi kita tidak boleh merujuk kepada paham sekularisme. Kedua, toleransi Islam itu harus berbasis pada keimanan bahwa hanya Islam saja sebagai agama yang benar, di luar Islam adalah kafir, nah ini sebagai kontra, dari paham pluralisme. Dalam Al-Qur'an surat Ali Imran ayat 19 Allah mengatakan inna dinna Indallahi Islam (Islam sesungguhnya agama yang diakui, diridai oleh Allah itu hanya Islam saja, tidak ada yang lain),” paparnya. 

Kemudian katanya yang ketiga, toleransi Islam itu harus mempunyai batas-batas menurut Al-Qur'an dan As-sunah, jadi harus ada batas-batas yang Islami, batasnya ditentukan oleh Al-Qur'an dan As-sunah.

"Dalam Kitab Ahkamu Ahludzimah, pada masa khalifah Umar Bin Khattab melarang orang Yahudi dan orang Kristen membunyikan lonceng-lonceng, tidak boleh menampakkan simbol-simbol salib, jika di publik, di jalan atau di pinggir jalan, tetapi kalau di gereja dan di rumah ada salib, silakan. Jadi intinya mereka ada kebebasan beragama tapi dalam batas-batas tertentu, yaitu dalam kehidupan private mereka, di rumah ibadah mereka. Karena ini adalah masyarakat Islam, secara kehidupan publik Islamlah yang muncul, tidak boleh ada simbol-simbol dari agama lain kecuali syiar-siar Islam," tuntasnya [] Yesi Wahyu I 

0 Komentar