Pajak dalam Kapitalisme Mencekik Rakyat


MutiaraUmat.com -- Belum lama ini mencuat rencana menaikkan pajak motor berbahan bakar minyak (BBM). Hal tersebut dilontarkan oleh Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Menurutnya, kenaikan pajak kendaraan motor BBM sebagai upaya peralihan dana subsidi ke transportasi publik.

Namun, tak lama setelah wacana ini dilontarkan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memastikan rencana kenaikan pajak kendaraan bermotor berbahan bakar minyak (BBM) atau bensin tidak akan dilakukan dalam waktu dekat ini.

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Jodi Mahardi menjelaskan, wacana menaikkan pajak kendaraan bermotor merupakan rangkaian upaya pemerintah dalam memperbaiki kualitas udara terutama di wilayah Jabodetabek yang sudah sempat dibahas dalam rapat koordinasi beberapa hari lalu.

Menurut Jodi, usulan pajak kendaraan bermotor muncul sebagai upaya pemerintah untuk mengatasi penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong masyarakat beralih menggunakan transportasi umum. Pembahasan juga menyinggung soal insentif, seperti diskon tarif bagi pengguna angkutan umum. 

Jodi menyebut, saat ini wacana untuk menaikkan pajak kendaraan bermotor masih dalam tahap kajian mendalam. Adapun pemerintah masih menghitung untung ruginya terkait dengan manfaat dan beban yang akan ditanggung masyarakat kedepannya (CNBNIndonesia.com, 19/1/2024).

Walaupun masih wacana dan belum ada kepastian waktu penerapannya,  kebijakan pajak kendaraan ini tentu akan mempersulit kehidupan rakyat. Pasalnya, masyarakat dengan ekonomi menengah ke bawah lebih memilih kendaraan motor karena ongkos yang lebih murah. 

Pemerintah memang telah mengembangkan moda transportasi yang terintegrasi khususnya di daerah Jabodetabek, seperti Transjakarta, KRL, LRT hingga MRT. Akan tetapi untuk beralih antar moda transportasi tersebut masyarakat masih dibebani tarif baru yang cukup mahal. Begitulah,  dalam penerapan sistem ekonomi kapitalisme, pajak niscaya dijadikan sumber utama pemasukan negara.

Dilansir dari setkab.go.id 
jumlah penerimaan negara dari pajak hingga akhir Juli 2023 mencapai Rp1.109,1 triliun atau 64,6 persen dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023. Capaian penerimaan ini tercatat tumbuh sebesar 7,8 persen secara tahunan. Artinya segala pembiayaan negara seperti pembangunan, gaji pegawai negara, pendidikan, kesehatan dan lain-lain bersumber dari harta rakyat berupa pajak. Padahal, di tengah pajak yang terus naik dan meluas ke berbagai sektor kesejahteraan rakyat tak kunjung didapatkan. 

Oleh karena itu, rencana menaikkan pajak motor berbahan bakar minyak (BBM) adalah kebijakan yang zalim. Sejatinya, persoalan utamanya adalah penerapan sistem kapitalisme yang menjadikan pajak dan utang sebagai sumber utama pendapatan. 

Oleh karena itu, kebijakan menaikkan pajak lazim diambil oleh negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Sebab pajak menjadi bagian dari kebijakan fiskal yang dianggap membantu negara mencapai kestabilan ekonomi dan bisnis, maka tidak aneh jika rezim saat ini mudah mengeluarkan kebijakan pajak. Karena pajak adalah cara termudah mendapatkan dana segar untuk menutupi defisit anggaran negara serta membantu melunasi utang yang membengkak. Inilah alasan mengapa pajak menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara kapitalisme.

Bagaimana Islam Memandang Pajak?

Sangat berbeda dengan sistem khilafah dalam memandang pajak. Seorang Mujtahid hebat Syekh Taqiyyudin an Nabahani dalam kitabnya Nidzamul Iqthisadiy (Sistem Ekonomi Islam) dan Muqaddimah ad Dustur pasal 147 menjelaskan secara rinci bagaimana Islam memandang pajak dan kapan negara khilafah boleh mengambil pajak.

Pajak dalam Islam dikenal dengan sebutan dharibah Hukum asal dharibah (pajak) adalah haram.

Rasulullah SAW bersabda,

"Sungguh pemungut cukai berada di dalam neraka." 
(HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Hanya saja Allah SWT telah mensyariatkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu negara boleh menetapkan pajak dalam rangka memenuhi kebutuhan rakyat, maka dharibah tidak akan diambil dalam kondisi normal, namun hanya akan ditarik ketika kondisi darurat saja.

Jadi, dharibah sifatnya insidental, yaitu ketika pembiayaan tersebut sudah terpenuhi, maka dharibah dihentikan pemungutannya.

Standar keadaan darurat adalah ketika kas negara baitul mal habis atau dananya tidak mencukupi untuk mengcover kepentingan rakyat yang dharuri atau tidak mencukupi pembiayaan pengaturan-pengaturan urusan rakyat oleh negara. Jika negara tidak menarik dari dharibah, maka dikhawatirkan akan menimbulkan kemudharatan bagi rakyat atau menyebabkan terhambatnya pengaturan urusan rakyat.

Pembiayaan yang boleh diambil dari dharibah adalah pembiayaan untuk sarana-sarana atau kepentingan yang harus dipenuhi oleh khilafah baik dalam baitul mal itu ada atau tidak ada. Di antara contohnya seperti, pembiayaan jihad dan semua hal yang berkaitan erat dengan aktivitas jihad, pembiayaan industri militer maupun pabrik-pabrik penunjangnya yang memungkinkan negara memiliki industri persenjataan, pembiayaan sarana jalan-jalan umum, sekolah-sekolah, universitas, rumah sakit, masjid, pengadaan saluran air minum dan lain-lain. Jika sarana tersebut tidak ada, maka akan menyebabkan bahaya bagi umat.

Contoh lainnya adalah pembiayaan untuk keadaan darurat maupun bencana alam, seperti tanah longsor, gempa bumi dan angin topan atau pembiayaan untuk mengusir musuh. Kemudian pembiayaan bagi fakir miskin dan ibnu sabil serta pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru dan lain-lain yang melaksanakan pekerjaan untuk kemaslahatan kaum Muslim.

Adapun untuk penarikan pajak dilakukan secara selektif, artinya tidak semua orang dibebani untuk membayar pajak. Dharibah hanya dibebankan kepada kaum Muslim saja tidak kepada warga khilafah non Muslim atau kafir dzimmi. Dharibah hanya diambil dari pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja. Kemampuan dan kecukupan ini dinilai dari harta orang tersebut adalah harta sisa dari pemenuhan kebutuhan primer dan kebutuhan sekundernya yang makruf. Tolak ukur makruf di sini adalah sesuai dengan taraf hidup di tempat dia tinggal bersama individu yang lain. Sehingga standar kelebihan itu tidak berlaku umum untuk semua orang.

Akan tetapi, sekalipun dharibah boleh diambil oleh negara secara insidental, namun perlu dipahami bahwa dharibah adalah salah satu pemasukan pos kepemilikan negara yang tidak bersifat tetap. Selain dharibah pemasukan tetap pos kepemilikan negara di baitul mal berasal dari kharaj, fai, usyur, jizyah, ghanimah, ghulul, rikaz, dan sejenisnya. Jumlah tersebut sebenarnya sangat besar dan cukup untuk memenuhi kebutuhan kaum Muslim dan negara. 

Namun Islam juga tidak memungkiri kadangkala sebuah negara mengalami kondisi darurat. Karena itu, Islam mengatur sedemikian rupa pengambilan pajak atau dharibah agar tidak menimbulkan kezaliman bagi rakyat. Sangat berbeda bukan dengan pajak dalam negara kapitalisme yang terasa mencekik rakyat?

Oleh: Nabila Zidane
(Jurnalis)

0 Komentar