Money Politic dalam Pemilu: Mengapa Sulit Dihilangkan?


MutiaraUmat.com -- "Hajar Serangan Fajar." Slogan ini diluncurkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) jelang Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024. "Serangan fajar" merupakan istilah populer dari money politic (politik uang). Ya, money politic selalu menghantui jelang prosesi politik lima tahunan di negeri ini. Hasil survei nasional oleh Lembaga Survei Populi Center menunjukkan, 37,2 persen responden mengkhawatirkan terjadi money politic saat Pemilu 2024. Ini merupakan peringkat kekhawatiran publik tertinggi. Di bawahnya, bentrok antarpendukung calon (19,8 persen) dan hoaks (11,9 persen) (antaranews.com, 9/12/2023).

Realitasnya, praktik money politic terus terjadi. Bawaslu Jawa Barat mengungkap indikasi money politic dari sepuluh orang di tujuh kabupaten dan tiga kota di Jawa Barat. Para calon anggota legislatif dan tim pemenangannya diduga membagikan uang hingga kebutuhan pokok saat berkampanye (kompas.id, 21/12/2023). Sementara, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan, sejumlah kasus money politic melalui e-wallet (dompet digital) pada kampanye Pemilu 2024. Bukan sekadar indikasi, namun PPATK menemukan peningkatan masif dari transaksi keuangan mencurigakan oleh peserta kontestasi yang didapat dari DCT (daftar calon tetap) (infobanknews.com, 14/12/2023).

Seolah tradisi, money politic dalam Pemilu diamini sebagai bagian dari sosialisasi caleg atau capres-cawapres. Bahkan masyarakat pun menganggapnya sebagai hal biasa. Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) November 2023 mengungkap, 44 persen masyarakat menilai money politic sebagai hal lumrah, bukan masalah besar, dan tidak tabu. Dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) 204,8 juta, terdapat sekitar 90 juta pemilih yang anggap wajar politik uang (viva.co.id, 21/12/2023). 

Bila money politic sebagai bentuk kecurangan dianggap hal lumrah, di situlah kerusakan tengah terjadi. Jika proses Pemilu diwarnai berbagai tindak keburukan, mampukah melahirkan wakil rakyat dan pemimpin berkualitas baik? Money politic yang sulit hilang dalam Pemilu, menunjukkan ini bukan kasuistik tapi problem sistemis. Sebuah keniscayaan akibat penerapan demokrasi kapitalistik liberalistik saat ini.

*Fenomena Money Politic dalam Pemilu*

Money politic menjadi ancaman serius Pemilu 2024. Tak lagi antara peserta dan pemilih bahkan diduga merambah ke penyelenggara Pemilu. 

Definisi money politic jika merujuk pada ahli, salah satunya dari Aspinall dan Sukmajati (2015), merupakan upaya menyuap pemilih dengan memberikan uang atau jasa agar preferensi suara pemilih dapat diberikan kepada seorang penyuap. Namun, jika memahami cara pandang dan pengkategorisasian politik uang oleh Daniel Bumke, politik uang juga mencakup korupsi politik yaitu suap kepada politisi dalam rangka mendapatkan kebijakan menguntungkan atau keuntungan lainnya.

Dalam modul DP3 (Desa Peduli Pemilu dan Pemilihan) yang disusun oleh tim KPU RI (2021), berdasarkan studi dari The Latin American Public Opinion Project (LAPOP) Americas Barometer, Afrobarometer, dan Money Politics Project di Asia Tenggara, menunjukkan Indonesia di peringkat ketiga negara di dunia yang terbanyak melakukan praktik jual beli suara atau money politic. Indonesia kalah bersaing dibanding Uganda dan Benin.

Berkaca dari pengalaman Pemilu 2019, berdasarkan temuan Bawaslu pada masa tenang Pemilu 2019 (14 April–16 April 2019), terdapat 25 kasus politik uang di 25 kabupaten/kota yang dilakukan oleh peserta pemilu dan tim pemenangannya. Kasus tersebut tersebar di 13 provinsi di seluruh Indonesia. Provinsi dengan kasus terbanyak adalah Jawa Barat dan Sumatera Utara dengan masing-masing lima kasus. Barang bukti politik uang yang ditemukan dari uang tunai, deterjen, hingga sembako (Bawaslu, 16/4/2019).

Adapun dari sisi masyarakat, berdasarkan hasil survei Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2019, 40 persen responden menerima uang dari para peserta Pemilu 2019, tetapi tidak mempertimbangkan untuk tetap memilih mereka. Sementara, 37 persen responden lainnya mengaku menerima pemberian uang dan mempertimbangkan si pemberi untuk dipilih.

Selain survei terhadap publik, pengaruh politik uang dalam Pemilu 2019 juga ditanyakan LIPI kepada tokoh atau elite yang menjadi responden. Hasilnya, 83 persen responden dari kalangan tersebut menilai bahwa pemilih mempertimbangkan pemberian uang, barang, atau jasa dari calon legislatif (partai politik) yang mereka terima saat memilih.

Sebenarnya, hukuman bagi para pelaku suap (money politic) dalam Pemilu terdapat pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999, "Barangsiapa pada waktu diselenggarakannya pemilihan umum menurut undang-undang ini dengan pemberian atau janji menyuap seseorang, baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu, dipidana dengan pidana hukuman penjara paling lama tiga tahun. Pidana itu dikenakan juga kepada pemilih yang menerima suap berupa pemberian atau janji berbuat sesuatu."

Namun meski sanksi telah ditetapkan, praktik money politic selalu ada dalam setiap Pemilu. Bagai simbiosis mutualisme. Peserta Pemilu memberi suap pada masyarakat agar memilih dirinya, sementara rakyat menerimanya karena memberi keuntungan, terlebih membantu memenuhi kebutuhan hidup meski sesaat. Fenomena tersebut mengkonfirmasi bahwa money politic tak hanya menyangkut keburukan individual atau sekelompok orang tapi problem sistemis (keburukan sistem).

'Tradisi' money politic tak lepas dari penerapan demokrasi kapitalistik liberalistik. Berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), 'wajar' bila aktivitas perpolitikan dalam demokrasi nihil dari pengamalan agama. Berganti dengan pengamalan teori politik ala manusia saja. Jadilah para politisi sebagai binatang politik. Menganut aliran Machiavelli bahwa politik adalah seni menghalalkan segala cara demi meraih kursi kuasa. 

Berkelindan dengan penerapan sistem ekonomi kapitalisme dan sistem sosial liberalisme, praktik demokrasi tidak lepas dari peraihan keuntungan (material) semata dengan cara sebebas-bebasnya. Ketika demokrasi mengutamakan peraihan banyaknya suara, money politic dipandang sebagai sarana praktis untuk mendulangnya. 

Tak lagi berhitung halal haram, yang penting mendapatkan suara terbanyak hingga mengantarkannya pada tampuk kekuasaan. "Uang habis bisa dipikir nanti. Toh untuk balik modal bisa korupsi." Begitulah realitas yang sering terjadi. Dengan demikian, selama Pemilu adalah proses demi melanggengkan demokrasi itu sendiri maka money politic akan sulit dihilangkan.


Dampak Money Politic dalam Pemilu terhadap Keterpilihan Pemimpin Berintegritas

Berkaca pada Pemilu 2019 dan Pilkada 2020, modus money politic terbagi dalam beberapa bentuk, yakni memberikan langsung, barang, dan janji. Modus memberi langsung berupa pembagian uang, voucher atau uang digital dengan imbalan memilih (kepada salah satu peserta pemilu).

Money politic tentu berbahaya karena bukan mengenai kontestasi menang atau kalah, melainkan menghancurkan mental atau akhlak warga negara dan aktor-aktor negara (para pemimpin). Selanjutnya, dampak money politic terhadap keterpilihan pemimpin yang berintegritas adalah:

Pertama, pemimpin terpilih sangat mungkin tidak memiliki kapabilitas memimpin. Karena sebenarnya dia tidak memiliki kompetensi kepemimpinan, pengetahuan, dan keterampilan memimpin. Money politic mengonstruksi satu bangunan paradigma dalam demokrasi bahwa "Isi tas lebih menentukan daripada kapasitas dan kapabilitas." "The right man (person) on the right place" atau orang yang tepat dalam posisi yang tepat, prinsip yang lama dikenal dalam pendelegasian wewenang pada manajemen sumber daya manusia, tak bisa terpenuhi.

Kedua, mereproduksi hasrat the love of power (cinta kekuasaan). Money politic adalah antitesa dan kondisi paradoks dari the power of love (kekuatan cinta) yang seharusnya ditumbuhkan sebagai jiwa kepemimpinan dan pelayanan pemimpin kepada rakyat. Bukan gila kekuasaan demi melayani kekuasaan itu sendiri. 

Ketiga, menghasilkan manajemen pemerintahan yang korup. Praktik politik uang (korupsi politik) berpotensi menghasilkan kerusakan manajemen pemerintahan (pemerintahan korup). Demi 'balik modal,' politisi terpilih berpotensi melakukan korupsi terhadap (anggaran) dana yang dikelolanya. Diduga kuat, penyebab tingginya korupsi di Indonesia adalah akibat praktik money politic. 

Keempat, pemimpin terpilih lebih mengutamakan kepentingan para donatur (pemilik modal) dibandingkan rakyat dengan memberi keistimewaan. Dalam politik berbiaya tinggi, hanya yang memiliki modal besar yang mampu maju dalam kontestasi. Baik dia memilikinya sendiri atau menjadi pendukungnya. 'Tak ada makan siang gratis.' Adagium timbal-balik ini berlaku. Pemimpin terpilih akan 'membalas jasa' sang donatur dengan membuat regulasi (izin) demi melancarkan kepentingan mereka.

Kelima, memberikan ledakan dahsyat yang menghancurkan konstruksi hukum dan keadilan. Saat money politic meledak, statistik kemiskinan bertahan atau meningkat, harga sembako mencekik dan membuat rakyat merintih, rakyat kian 'menjadi budak di negeri sendiri,' dan kesenjangan lainnya. 

Keenam, menciptakan ketidakstabilan pemerintah dalam menetapkan kebijakan yang pro masyarakat. Pemimpin korup dan lebih mementingkan kaum oligarki akan memicu distrust publik. Hingga terjadi polarisasi dan keguncangan dalam negeri. 

Ketujuh, melanggengkan praktik politik busuk. Saking seringnya dipraktikkan, money politik telah dianggap sebagai hal wajar. Baik oleh peserta Pemilu maupun masyarakat. Bahkan bila peserta kontestasi tak memberikan sesuatu, seringkali dinilai pelit oleh masyarakat. Beginilah bila keburukan terus terjadi hingga dianggap sebagai kebenaran.

Demikianlah dampak negatif dari money politic dalam Pemilu. Dari proses pemilihan pemimpin yang buruk, akan sulit melahirkan pemimpin berintegritas. Padahal integritas adalah salah satu bentuk kualitas terpenting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Hal ini menjadi salah satu PR besar bagi bangsa ini untuk menyelesaikannya.


Politik Islam Ciptakan Pemimpin Berintegritas tanpa Money Politic

Dalam Islam, money politic hukumnya haram. Praktik tersebut termasuk dalam kategori risywah, yaitu pemberian sesuatu kepada seseorang bertujuan agar orang tersebut melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 

Allah berfirman terkait larangan memakan harta dengan cara haram. "Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui." (QS. Al Baqarah: 188)

Islam memandang kepemimpinan sebagai sesuatu yang penting karena terkait pengaturan urusan umat (rakyat). Kepemimpinan dalam Islam bersifat ideologis yaitu menjadikan sistem Islam (akidah dan syariat) sebagai pijakan dalam penyelenggaraan negara. 

Ketika sistem Islam diterapkan sebagai panggilan akidah, insya Allah kesejahteraan dan keadilan akan dirasakan. Pun lahir darinya pemimpin yang berintegritas yaitu memiliki kesatuan pikiran, ucapan, dan tindakan sesuai aturan Islam. Pemimpin yang peduli rakyat, mencintai dan dicintai rakyat, saling menasihati dalam takwa dan kesabaran. 

Bagaimana sistem politik Islam menciptakan pemimpin berintegritas tanpa money politic? Berikut penjelasannya. 

Pertama, memahamkan umat bahwa pemimpin adalah pelindung dan pengatur urusan rakyat. Sekaligus bertanggung jawab atas amanah kepemimpinannya kelak di hadapan Allah SWT. Sehingga menjadi pemimpin itu karena menjalankan amanah, bukan mengejar kekuasaan belaka. "Imam adalah raa'in (penggembala) dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari)

Kedua, menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan mengangkat penguasa (pejabat) selain syarat profesionalitas. Ketakwaan akan menjadikan penguasa dalam bertugas selalu merasa diawasi Allah SWT. 

Ketiga, pelaksanaan politik secara syar'i. Dalam Islam, inti politik adalah ri'ayah syar'iyyah yakni mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai tuntutan syariat. Bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, elite rakus.

Keempat, pemimpin tertinggi memberikan keteladanan bagi bawahan. Dalam Islam iman takwa pemimpin itu penting. Namun sistem yang menjaga mereka agar tidak melenceng tak kalah pentingnya. Tidak ada yang meragukan keimanan sahabat Muadz bin Jabal. Namun Rasulullah SAW tetap menasihatinya. Pun beliau senantiasa memberikan teladan hidup sederhana walau mengelola banyak harta negara.

Kelima, mengontrol kinerja para pejabat agar tidak melakukan penyimpangan. Terkait harta kekayaan pejabat misalnya, ada lembaga sejenis Badan Pemeriksa Keuangan yang memeriksa serta mengawasi kekayaan pejabat. Sehingga dipastikan harta tidak berasal dari korupsi (suap).

Keenam, negara menegakkan sanksi bagi pelaku maksiat termasuk para pejabat yang menyelisihi syariat atau tidak amanah dalam bertugas. Tidak terjadi jual beli hukum karena yang dipakai adalah aturan Allah. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang akan menghukum posting tangan bagi putrinya, Fatimah r.a. bila terbukti mencuri.

Demikianlah mekanisme politik Islam dalam menciptakan pemimpin berintegritas tanpa money politic. Sangat kontras dengan penerapan demokrasi saat ini, bukan? Dengan asas sekularisme dan pilar kebebasan penyangga kedaulatan rakyat, memberikan peluang bagi siapa pun berkuasa. Hingga hanya para pemilik modal (oligarki) yang mampu memenangkan pertarungan menuju tampuk kekuasaan. 

Akibatnya, kedaulatan rakyat hanya utopi. Yang ada adalah dari rakyat, oleh pejabat, untuk konglomerat. Kini pilihan di tangan umat Islam, bertahan dalam lumpur kerusakan demokrasi ataukah berjuang mengganti dengan sistem politik Islam berdasar wahyu Ilahi? []


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. dan Puspita Satyawati


Pustaka:

Awasia: Jurnal Pemilu dan Demokrasi Vol. 1, No. 2, Desember 2021, hal 142-159

Melawan Politik Uang pada Pemilu 2024, theindonesianinstitute.com, 14 Agustus 2023

Massere, Agusliadi, Politik Uang Bom Waktu Kehancuran Bangsa, suaramuhammadiyah.id, 8 Oktober 2023

0 Komentar