Menyoal Netralitas ASN Jelang Pesta Rakyat dalam Demokrasi


MutiaraUmat.com -- Hiruk-pikuk Pemilu (Pemilihan Umum) dan Pemilukada (Pemilihan Ketua Daerah) semakin terasa, hal ini terlihat dari banyaknya atribut (spanduk dan baliho), slogan dan simbol partai pendukung capres-cawapres ataupun caleg yang bertebaran baik di pinggir-pinggir jalan hingga ke media sosial. 

Jelang Pilpres dan Pilkada ini memang dijadikan momen kampanye bagi sebagian pendukung calon pemimpin. Namun tidak untuk sebagian kalangan, untuk para Aparatur Sipil Negara (ASN) yaitu orang yang bekerja pada instansi pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dituntut untuk bersikap netral dalam menghadapi Pemilu ini. Untuk menjaga netralitas para ASN, pemerintah menerbitkan SKB (Surat Keputusan Bersama) tentang pedoman Pembinaan dan Pengawasan Netralitas Pegawai ASN dalam Penyelenggaraan Pemilihan Umum dan Pemilihan. 

Mengutip dari laman KOMINFO, ASN memiliki asas netralitas yang diamanatkan dalam Undang-Undang No. 5/2014 tentang ASN. Dalam aturan tersebut termaktub bahwa ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. ASN pun diamanatkan untuk tidak berpihak dari segala bentuk pengaruh manapun dan tidak memihak kepada kepentingan siapapun.

Menjelang Pemilu pembahasan netralitas ASN menjadi pembahasan yang sangat sensitif. Banyak pihak khususnya lembaga-lembaga negara yang telah memberikan himbauan kepada para pegawai nya untuk menjaga netralitas dalam kampanye. Namun berita pelanggaran netralitas satu per satu mencuat di media, seperti yang dilansir dari tvonenews.com (06/01/24), Tokoh Masyarakat Bekasi Damin Sada meminta 10 camat yang pose memamerkan jersey nomor punggung 02 saat pertandingan sepak bola persahabatan di Stadion Patriot Chandrabaga diberhentikan secara tidak hormat. Selain itu, jawara Bekasi ini juga meminta Pj Wali Kota Bekasi Raden Gani Muhammad mundur dari jabatannya sebagai bentuk tanggung jawab atas ketidaknetralan Aparatur Sipil Negara (ASN) Kota Bekasi di bawah kepemimpinannya.

Terkini, viral di media sosial rekaman suara yang diduga Kapolres Batubara yang menarasikan dukungan untuk paslon capres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Selain itu, adapula sebuah video yang tak kalah viral yaitu seorang Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Kota Medan yang mengarahkan para guru untuk memilih calon presiden nomor urut dua, dikutip dari laman metrotvnews.com (17/01/24), dalam video berdurasi 2 menit 15 detik tersebut sempat mengeluarkan kalimat adanya perintah dari Wali Kota Medan Bobby Nasution. Sosok pengarah tersebut merupakan seorang ASN dari pejabat Disdik Kota Medan. Dalam narasi videonya, pejabat tersebut mengatakan capres nomor urut 02 memiliki kekuasaan. Prabowo sebagai Menteri Pertahanan sedangkan Gibran Wali Kota Solo yang juga anak Presiden Jokowi.

Nampaknya aturan hanyalah sekadar formalitas dalam sistem saat ini. Sekalipun sudah ada aturan tegas tentang netralitas ASN namun laporan pelanggaran netralitas nyatanya masih saja terjadi. Terlebih pelakunya menunjukan dukungan terhadap kubu yang dianggap memiliki power dalam pemerintahan. Bukankah ini menjadi bukti bahwa politik demokarasi penuh dengan praktik kecurangan? 


Abuse of Power Lumrah di Alam Kapitalisme-Demokrasi

Ketidaknetralan ASN memang bisa saja terjadi, terlebih menjelang pemilu yang semakin dekat, tentu segala upaya akan dikerahkan dalam menyukseskan kampanye Pilpres. Tidak hanya uang (politik uang) nyatanya kekuasaan juga bisa menjadi alat pengumpul suara. 

Abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan ialah penyalahgunaan yang dilakukan seorang pejabat untuk kepentingan tertentu, baik untuk kepentingan diri sendiri, orang lain, korporasi, ataupun partai politik. Penyalahgunaan kekuasaan dalam Pemilu merupakan hal yang melanggar hukum. Para pelakunya sengaja memanfaatkan kekuasaan yang ia miliki untuk memengaruhi, atau mengajak orang lain yang ada di bawah kepemimpinannya untuk ikut memilih pilihan yang ia rekomendasikan. 

Hal ini menjadi sesuatu yang lumrah dalam sistem kapitalisme-demokrasi, karena sistem ini berdiri di atas asas pemisahan antara agama dan kehidupan, sehingga untuk mencapai tujuannya mereka rela menghalalkan segala cara termasuk melakukan kecurangan ataupun kezaliman. Terlebih jika ia memiliki kekuatan baik dari sisi jabatan ataupun modal/uang. Mungkin kita sering mendengar sindiran "lu punya uang, lu punya kuasa" yang kini diplesetkan menjadi "lu punya uang, lu punya suara" faktanya itu menggambarkan cara pandang sistem kapitalisme saat ini.

Politik praktis demokrasi yang saat ini diterapkan hampir di seluruh negara memang rentan terjadi kecurangan, saling tuding mengenai pelanggaran pun kerap kita saksikan di setiap momen pemilihan pemimpin dalam demokarasi. Hal tersebut disebabkan karena aturan yang mereka gunakan adalah aturan buatan akal manusia yang terbatas, dengan asas kebebasannya mereka berpandangan bahwa manusia bisa membuat aturannya sendiri. Alih-alih mampu menyelesaikan masalah yang ada aturan-aturan tersebut justru membuat perselisihan dan menimbulkan permasalahan baru. 


Metode Pemilihan Pemimpin dalam Islam

Berbeda secara diametral dengan sistem kapitalisme-demokrasi, Islam sebagai sebuah ideologi memiliki konsep praktis dalam pemilihan pemimpinnya. Yang perlu digarisbawahi bahwasanya pemimpin yang terpilih dalam Daulah Khalifah hanya akan menjalankan hukum Syariat yang digali berdasarkan sumber hukum syarak (Al-Qur'an, As-Sunnah Rasulullah, ijma sahabat, dan qiyas), sebab Islam menempatkan syariat Allah sebagai pemegang kedaulatan tertinggi sekaligus pilar utama negara khilafah. Meskipun khalifah memiliki kekuasaan tertinggi sebagai pengambil kebijakan, namun khalifah harus taat pada aturan Islam sebagai aturan yang dilegitimasi dalam negara. 

Islam memiliki satu-satunya metode baku dalam pengangkatan khalifah, yaitu dengan cara baiat syar'i. Dalam baiat tersebut mengandung komitmen umat untuk menaati khalifah, dan khalifah dibaiat untuk berkomitmen mengamalkan Kitabullah dan As-Sunnah Rasulullah di tengah-tengah masyarakat. Sementara untuk teknis pemilihan Khalifah sebelum baiat bersifat tidak baku, atau boleh dilakukan dengan berbagai cara. Proses pemilihan pemimpin dalam Khilafah dilakukan secara sederhana, efisien, efektif dan hemat biaya dengan durasi waktu yang sangat singkat yaitu maksimal tiga hari. 

Setelah terpilih khalifah langsung menjalankan tugasnya yaitu melakukan riayah suunil umah (mengurus seluruh urusan umat). Sementara posisi wali (pemimpin Provinsi/setingkat gubernur) pemilihannya ditunjuk langsung oleh Khalifah berdasarkan rujukan Majelis Umat pada setiap wilayah. 

Dalam masa kekosongan selama proses pemilihan maka tugas khalifah akan digantikan oleh pihak lain, hal itu dilakukan jika calon khalifah adalah khalifah sebelumnya. Dengan begitu bisa menutup celah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh calon khalifah. Selain itu, self control yang lahir dari ketakwaan individu akan membuat seseorang untuk selalu bersikap jujur, dan menjauhi perbuatan curang termasuk dalam proses pemilihan pemimpin. Hal ini karena adanya kesadaran bahwa segala sesuatu yang dilakukan di dunia pasti akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di akhirat. 

Demikianlah mekanisme pemilihan pemimpin dalam Daulah Khilafah. Hanya sistem Islam sajalah yang mampu mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Untuk itu, penting adanya aktivitas menyadarkan umat bahwa agenda umat saat ini adalah berjuang untuk melanjutkan kembali kehidupan Islam di bumi ini, bukan berpesta dalam politik praktis dalam demokrasi. Wallahu a'lam bishshawab. []


Oleh: Wiwit Irma Dewi, S.Sos.I.
Pemerhati Sosial dan Media

0 Komentar