Mengulik Pembubaran Merpati

MutiaraUmat.com -- Presiden Jokowi resmi membubarkan PT Merpati Nusantara Airlines melalui PP Nomor 8 tahun 2023 tentang pembubaran Merpati yang ditandatangani Jokowi pada 20 Februari 2023. Pembubaran itu tak lepas dari putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 5 tanggal 2 Juni 2022 yang menyatakan Merpati Airlines pailit.

Luar biasa bukan prestasi presiden Jokowi tahun lalu telah berhasil membubarkan perusahaan penerbangan milik negara ini. Dengan alasan perusahaan jatuh pailit jadi sekalian dibubarkan saja. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Habis sudah harapan para eks karyawan bahwa Merpati akan bangkit dari kuburnya setelah dari tahun 2014 tidak beroperasi lagi. Kemudian tahun 2019 akan diprivatisasi namun 2022 dinyatakan pailit dan akhirnya Februari 2023 resmi dibubarkan.

Dan sampai tahun ini berganti, pesangon serta uang pensiun eks karyawan belum cair sampai tulisan ini diangkat. Karena  proses likuidasi membutuhkan waktu 5 tahun terhitung sejak keputusan pailit dikeluarkan. Begitulah jangankan untuk mempertahankan atau menghidupkan kembali perusahaan, untuk membayar hak-hak eks karyawan saja pemerintah sudah kewalahan. Padahal didalam Islam pemimpin adalah yang bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. Dalam Islam transportasi adalah fasilitas umum yang wajib disediakan oleh negara tanpa dipungut biaya apapun. Namun dalam sistem saat ini yakni Kapitalis Sekuler, fasilitas umum malah dikapitalisasi. Dalam sistem ini negara malah berbisnis dengan rakyat.

Jelasnya negara Kapitalis memberikan ruang yang besar disertai karpet merah bagi para Kapital untuk memonopoli transportasi penerbangan. Ini tebukti dengan menjamurnya perusahaan penerbangan swasta sampai saat ini. Sehingga Merpati dan Garuda yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) harus bersaing dengan penerbangan swasta. Perang tarif pun sering terjadi, masing-masing maskapai saling berlomba untuk memberikan tiket dengan harga yang paling murah tanpa memperhatikan aspek keamanan kondisi pesawat, kru dan fasilitas servis kepenumpang. Namun tidak jarang fenomena harga tiket "meroket" selalu kerap terjadi yakni disaat "peak season". 

Tentu saja fenomena ini tidak mengherankan karena sejatinya watak kapitalis adalah menginginkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal serendah-rendahnya. Ini bukti pemimpin dalam sistem Kapitalisme lebih mementingkan segelintir golongan yakni para Kapital dari pada kepentingan rakyatnya. Pemimpin seperti ini memang lahir dari kolaborasi penguasa dan pengusaha dalam sistem Kapitalis yang diadopsi negeri ini. Pemimpin yang menghendaki pemasukan negara dari rakyatnya dengan mekanisme jual beli dengan rakyat.

Padahal sumber pemasukan negara tidak boleh diambil dari fasilitas umum, seharusnya transportasi bisa dinikmati rakyat secara cuma-cuma. Lalu apa kabar dengan Sumber Daya Alam (SDA) negeri ini? Faktanya kekayaan  SDA yang melimpah ruah seharusnya menjadi salah satu sumber pemasukan negara, merupakan harta milik rakyat tapi diserahkan pengelolaannya kepada swasta maupun asing. Dan ini menjadi simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha, sedangkan rakyat tidak kebagian apa-apa. 

Apakah pemimpin yang berhasil menyengsarakan rakyatnya perlu diapresiasi agar menjadi contoh bagi pemimpin berikutnya? Prestasi apalagi kira-kira yang akan ditorehkan oleh pemimpin berikutnya yang katanya adalah pilihan rakyat dalam sistem Kapitalis Demokrasi ini? Atau belum jugakah saatnya umat ini sadar akan pentingnya suatu alternatif sistem kepemimpinan Islam dimana akan dipilih pemimpin yang mengerti akan tanggung jawabnya sebagai pemimpin? Bukan pemimpin yang hanya bisa menandatangani suatu keputusan yang merugikan rakyat namun pemimpin yang mau menegakkan aturan/ syariat yang sangat mendasar dan solutif untuk rakyatnya. Yakni aturan yang terpancar dari suatu sistem yang hakiki yakni sistem Islam. Saatnya campakkan sistem Kapitalis yang melahirkan pemimpin-pemimpin yang pasti sekuler juga.

Oleh: Eqhalifha Murad
Pramugari Hijrah

0 Komentar