Lagi-Lagi Impor Beras, Kedaulatan Pangan Hanya Impian


MutiaraUmat.com -- Direktur Utama Perum Bulog Bayu Krisnamurthi mengungkapkan pihaknya mendapat penugasan impor beras dari pemerintah untuk Cadangan Beras Pemerintah (CBP) sebesar 2 juta ton. Ia mengatakan kuota impor tersebut juga berpotensi bertambah.

Perum Bulog mendapatkan penugasan impor beras dari pemerintah untuk memenuhi cadangan beras pemerintah (CBP). CBP ini akan digunakan untuk menyalurkan bantuan pangan dan operasi pasar. Kedua program itu dilakukan sebagai langkah menekan harga beras yang saat ini tinggi.(detik.com, 11/1/2024)

Dilansir dari cnbcindonesia.com (2/1/2024) Presiden Joko Widodo mengungkapkan Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai Swasembada, terlebih jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah dan mereka butuh beras. Presiden mengharapkan negara tidak impor beras lagi, namun dalam praktiknya hal tersebut sangat sulit karena produksinya tidak tercapai setiap tahun. Ditambah lagi masalah kependudukan yang terus bertambah jumlahnya. Sehingga kebutuhan pangan seperti beras akan bertambah juga.

Impor beras sejatinya menjadi solusi pragmatis persoalan beras dan bukan solusi mendasar dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat. Solusi impor menggambarkan belum terwujudnya ketahanan dan kedaulatan pangan di sebuah negeri.

Hal tersebut adalah sebuah keniscayaan dalam negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalisme. Hal tersebut disadari atau tidak telah menyebabkan Indonesia terjajah secara ekonomi dan sejak reformasi globalisasi (liberalisasi) impor semakin masif, salah satunya ditandai dengan kebijakan yang dikenal dengan konsensus Washington. Kebijakan tersebut mengharuskan Indonesia melakukan penghapusan atau pengurangan subsidi dalam segala sektor termasuk pertanian.

Alhasil, pada waktu musim tanam petani dihadapkan pada harga pupuk, benih hingga obat-obatan yang mahal. Sementara saat memasuki waktu panen harga padi murah karena pemerintah tidak menghentikan impor. Selain itu, adanya penurunan tarif impor atas komoditi pangan tertentu termasuk beras menjadikan impor bahan pangan tersebut lebih murah dibandingkan dengan produksi dalam negeri. 

Kebijakan tersebut juga menuntut pemerintah mengurangi peran Bulog. Jika dahulu Bulog bisa membeli dari petani, sekarang tidak. Bulog hanya menyimpan stok dan tidak memiliki dana untuk membeli. Kondisi inilah yang menghasilkan carut-marutnya pengelolaan pertanian dan pangan di Indonesia dan Indonesia pun menjadi negara yang bergantung pada negara lain dalam persoalan pangan. Hal tersebut tentu akan merugikan petani. Sehingga banyak petani yang beralih profesi karena kebijakan impor yang merugikan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tren penurunan jumlah usaha pertanian perorangan sejak tahun 2013. Dimana pada tahun 2013 petani RI mencapai 31,70 Juta sementara saat ini, jumlah petani di Indonesia mencapai 29,34 juta petani atau turun 7,45 %.(cnbcindonesia.com, 7/12/2023)

Inilah sebenarnya kondisi yang menyebabkan ancaman pangan. Mirisnya, solusi impor beras yang terus dilakukan pemerintah cenderung menjadi cara praktis mendapatkan keuntungan. Seharusnya negara berusaha untuk mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan dengan berbagai langkah solutif dan antisipatif termasuk menyediakan lahan pertanian di tengah banyaknya alih fungsi lahan, berkurangnya jumlah petani dan makin sulitnya petani mempertahankan lahannya. 

Namun ketahanan dan kedaulatan pangan ini hanya akan terwujud dalam negara yang menerapkan sistem Islam Khilafah Islamiyah Islam.


Cara Islam Mewujudkan Ketahanan Pangan

Islam menjadikan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab menyediakan kebutuhan pokok termasuk makanan. Oleh karena itu, negara Islam akan mencari berbagai jalan agar terwujud kedaulatan pangan. Apalagi Islam akan mewujudkan negara adidaya sebagai cita-cita dalam perjalanan panjangnya. Perhatian negara akan dicurahkan untuk mengoptimalisasikan pengelolaan pertanian agar kebutuhan pangan untuk seluruh rakyat terpenuhi.

Langkah optimalisasi pengelolaan ini dilaksanakan dengan berbagai kebijakan yang harus sesuai dengan ketetapan hukum syariat agar kesejahteraan dan keadilan dapat dirasakan oleh seluruh rakyat Khilafah Islam tanpa terkecuali.

Dalam konteks ketersediaan kebutuhan pangan, maka hal tersebut merupakan hal penting yang dijamin oleh negara. Oleh karenanya, negara harus memperhatikan peningkatan produktivitas pertanian, pembukaan lahan-lahan baru dan penghidupan tanah mati serta pelarangan terbengkalainya tanah. Hal tersebut dilakukan untuk mengoptimalkan produksi lahan-lahan pertanian agar stok kebutuhan pangan selalu tersedia untuk rakyatnya.

Sebagai proteksi terhadap ketersediaan pangan, negara melarang adanya praktek penimbunan barang termasuk menimbun bahan kebutuhan pokok. Karena hal tersebut akan menyebabkan kelangkaan bahan-bahan kebutuhan pokok tersebut. Seandainya hal tersebut terjadi, maka negara harus mencegah masuknya tangan-tangan Asing dalam pengelolaan bidang pertanian ini, baik lewat industri pertanian Asing maupun melalui perjanjian multilateral, seperti WTO, FAO dan lain-lain. Karena hal tersebut sangat membahayakan kedaulatan pangan negara khilafah sendiri.

Dalam hal distribusi, apabila masyarakat mengalami kesulitan membeli pangan, maka negara diwajibkan memecahkannya dengan cara memberikan harta negara yang menjadi hak miliknya kepada orang-orang yang memiliki keterbatasan dalam memenuhi kebutuhannya dan semua itu dilaksanakan melalui mekanisme yang cepat, pendek dan merata sehingga seluruh individu rakyat dapat dengan mudah memperoleh hak-haknya terutama terkait dengan aspek vital kebutuhan mereka seperti kebutuhan pokok pangan.

Inilah sistem Islam yang akan menyejahterakan rakyat dan telah memberikan solusi dengan sistem syariahnya dalam mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan. []


Nabila Zidane
Jurnalis

0 Komentar