Kursi Panas Pemilu dan Nasib Rakyat yang Makin Pilu


MutiaraUmat.com -- Di tengah impitan ekonomi yang dialami oleh sebagian rakyat di negeri ini, nyatanya tidak sedikit pun menyurutkan para punggawa negeri untuk bersukacita mengadakan pesta. Sebuah perhelatan besar lima tahunan yang disebut dengan pesta demokrasi. Pesta perebutan kursi kekuasaan dengan biaya fantastis. Padahal saat ini, rakyat sedang dalam keadaan menderita. Berbagai persoalan datang silih berganti mengancam masa depan negeri. Mulai dari persoalan generasi, persoalan ekonomi, sampai pada persoalan kedaulatan negeri, semua berkelindan menjadi irama sumbang kehidupan di negeri ini.

Bagi rakyat tidak ada pilihan, mereka disuguhi para kontestan. Dari sekitar 277 juta penduduk Indonesia, rakyat disuguhi 3 calon pasangan presiden dan wakilnya. Seolah hanya tiga pasangan itu saja yang mampu untuk memimpin negeri ini. Namun, sekali lagi inilah politik demokrasi. Politik pragmatis yang berdasarkan manfaat dan kepentingan. Dari asas sekularisme demokrasi tegak, atas klaim bahwa pemerintah dibangun dengan prinsip dari, oleh, dan untuk rakyat, nyatanya hanya slogan belaka. Rakyat hanya dijadikan tumbal dalam sistem ini. Dan saat ini fakta kerusakan telah terpampang di depan mata.

Nasib pilu makin diperparah dengan kampanye dengan menampilkan berbagai cara bagi para kontestannya. Saling serang, saling tuding demi sebuah kekuasaan dan jabatan. Para simpatisan hampir tak luput dari aroma persaingan dan perpecahan, semua hanya gara-gara pemilu dalam sistem demokrasi. Nasib rakyat menjadi semakin pilu. Karena siapa pun yang akan memenangkan pemilu, jelas bukan rakyat yang menjadi prioritas kesatu.


Demokrasi Membuat Nasib Rakyat Makin Pilu

Indonesia sebagai salah satu dari negara yang kaya dengan SDA, jelas akan menjadi sasaran empuk bagi negara-negara pengusung ideologi kapitalis. Melalui politik demokrasinya, para kapitalis akan menguras habis SDA bangsa ini. Bukan hanya itu, kerusakan juga hampir terjadi di segala sendi kehidupan akibat sistem demokrasi. Kebebasan yang diagung-agungkan dalam sistem ini, berhasil memorak-porandakan kehidupan yang berakibat rusaknya peradaban manusia pada titik nadir. Sebagai contoh kebebasan kepemilikan, keran impor dan ekspor di setting sedemikian licik, berbasis politik ekonomi kapitalis seluruh potensi negeri ini dikeruk, hingga yang tersisa hanyalah kerusakan lingkungan dan bencana yang tidak berujung. Diperparah dengan investasi dalam beragam infrastruktur dengan skema utang ribawi, menjadikan utang negara melambung tinggi.

Sistem pendidikan pun tak luput dari cengkraman kapitalisasi, beragam kebijakan yang digelontorkan tidak mampu memberi solusi. Biaya sekolah yang mahal, kurikulum pendidikan yang kerap gonta-ganti, menunjukkan sistem saat ini miskin visi dan gagap dalam implementasinya. Kondisi ini bisa dilihat dari maraknya kriminalitas dalam dunia pendidikan seperti, pembunuhan, pemerkosaan, depresi, hingga bunuh diri sampai pada krisis generasi.

Beginilah gambaran akibat penerapan sistem demokrasi. Mantra kapitalisme dengan iming-iming kesejahteraan, jika pembangunan pesat sama sekali tidak terbukti. Hal ini tidak hanya terjadi di negeri ini, namun terjadi pada semua negara yang menerapkan sistem rusak ini. Lihatlah betapa banyak negeri-negeri yang mulai oleng. Gambaran kondisi distribusi kekayaan yang sangat jomplang dalam sistem demokrasi membuat jurang antara si kaya dan si miskin begitu lebar.


Kembali kepada Sistem Islam

Jika demokrasi sudah terbukti gagal memberikan harapan, sudah seharusnya sebagai umat Islam kembali pada sistem Islam. Islam dengan seperangkat aturannya yang bersumber dari Al-Qur’an, sunah, qiyas, dan ijmak sahabat, meniscayakan sebuah kebaikan. Bukan hanya sekadar teori, tetapi terimplementasi dalam semua ruang kehidupan.

Poin yang paling penting dalam sistem ini adalah, dalam sistem Islam negara berkewajiban memenuhi semua kebutuhan pokok individu dan kebutuhan pokok publik. Instrumen pemenuhannya pun sangat detail, individu per individu. Sehingga dengan jaminan yang detail seperti ini meniscayakan terciptanya kesejahteraan seperti yang digambarkan dalam sejarah panjang kekhilafahan yang telah menguasai sepertiga belahan bumi selama 13 abad lamanya. Masyaallah!

Dalam sistem ini negara memainkan peran yang sangat penting. Demikian juga dengan rakyat akan berkolaborasi dalam meraih ketakwaan, mengambil aturan atau hukum dari Zat Yang Maha Sempurna, Allah ‘Azza wa Jalla, bukan hukum buatan manusia yang penuh dengan kelemahan dan keterbatasan.

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al-An’am ayat 57).

Wallahu a'lam bishshawab. []


Isty Da'iyah
Analis Mutiara Umat Institute

0 Komentar