MutiaraUmat.com -- Selama periode 2009—2022, setidaknya ada 4.107 kasus konflik agraria di Indonesia, yang berdampak pada sekitar 2,25 juta kepala keluarga (katadata,12/1/2024). Konflik agraria ini terjadi secara vertikal dan horizontal. Secara vertikal berupa perebutan hak atas tanah antara rakyat dan pemerintah yang melibatkan aparat, ini berhubungan dengan kebijakan pembangunan dan proyek pemerintah. Sementara secara horizontal berupa perselisihan atas hak pengelolaan dan kepemilikan tanah antara sesama warga.
Konflik vertikal dan horizontal ini tidak jarang mengakibatkan rakyat tersakiti, tergusur bahkan sampai masuk bui hingga korban nyawa. Lebih miris lagi dengan adanya konflik agraria ini rakyat khususnya kaum perempuan dan anak banyak terkena dampak psikologis berupa stress dan trauma berkepanjangan. Sebab saat rumah-rumah mereka tergusur secara paksa maka otomatis ini berdampak pada kesiapan mental mereka tinggal di lingkungan dan suasana baru. Padahal seandainya pertanahan diatur dengan hukum-hukum Islam tentu penggusuran paksa seperti ini tidak akan terjadi.
Konflik agraria memang subur dalam sistem kapitalisme karena tanah memang diatur dengan hukum buatan manusia. Sehingga siapapun boleh membuat hukum dan biasanya orang yang membutuhkan hukum pasti sesuai dengan keinginannya dan kapasitas akalnya yang terbatas sehingga tidak heran jika ganti rezim maka kebijakannya pun ikut berubah. Faktor utamanya adalah hukum yang dibuat harus bisa melayani kepentingannya dan kepentingan donatur yang telah menghantarkan ke kursi kekuasaan.
Wajar juga meskipun isi pasal dan undang-undang tidak berubah akan tetapi pada penafsiran dan prakteknya bisa berubah. Pasal 33 ayat 1 UUD 1945 menyatakan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pasal ini pada kenyataannya telah menjadikan negara bebas mengambil , mengelola dan menyerahkan tanah pada siapapun termasuk termasuk pada korporasi dan asing dengan dalih untuk kemakmuran rakyat, supaya rakyat sejahtera dan lapangan kerja terbuka lebar. Padahal sejatinya tindakan mengambil tan menyerahkan tanah rakyat pada korporasi akan membuat rakyat kehilangan tempat tinggal, hilang pekerjaan sehingga nyaris jumlah orang miskin bertambah.
Hal ini berbeda dengan Islam, Allah adalah zat yang tidak punya kepentingan pada mahlukNya saat membuat aturan syariat. Allah membuat aturan semata demi kebaikan mahlukNya. Sehingga wajar Allah menantang manusia bahwa tidak ada hukum terbaik selain apa yang Allah turunkan.
Dalam Islam tidak akan ada penggusuran warga sebab Islam telah mengatur kepemilikan tanah. jika warga secara nyata memang telah mengelola sebidang tanah baik menanaminya maupun mendirikan bangunan diatasnya maka dia lah pemilik tanah itu sehingga siapapun tidak boleh mengambil tanahnya secara zalim. Adapun jika pemerintah ingin mendirikan proyek diatasnya harus terlebih dahulu meminta ijin dari pemiliknya bukan dan tidak boleh memaksanya untuk menyerahkan tanahnya. Jika pemilik lahan tidak mau melepaskan kepemilikan atas lahan maka pemerintah harus menghormati hak kepemilikan itu sehingga tidak boleh memaksa. Tanah individu warga harus dilindungi, sebab Rasulullah bersabda : "Siapa yang merampas sejengkal tanah, maka Allah mengalungkannya dengan tujuh lapis bumi (di Hari Kiamat)." (HR Muslim)
Terkait dengan tanah yang luas berupa hutan, perkebunan dan semisalnya maka Islam menetapkan bahwa ini adalah kepemilikan umum yang tidak boleh diberikan kepada individu. Negara mengelola kepemilikan umum ini dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Islam mengharamkan negara menyerahkan tanah kepemilikan umum ini kepada korporasi.
Berbagai proyek strategis nasional yang berjalan kebanyakan adalah lahan kepemilikan umum yang diserahkan oleh pemerintah kepada swasta untuk dikelola dan dikembangkan. Apa yang dilakukan pemerintahan sekuler ini adalah kekeliruan besar dan sebuah dosa di sisi Allah. Sebab Rasulullah bersabda: "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput dan api; dan harganya adalah haram". (HR. Ibnu Majah)
Berbagai konflik agraria yang berkepanjangan hari ini seharusnya bisa diakhiri dengan menggunakan aturan Islam secara kaffah dalam kehidupannya.
Wallahu'alam
Oleh: Nurjannah
Aktivis Muslimah
0 Komentar