MutiaraUmat.com -- Setelah berhasil menghapus institusi Khilafah Utsmaniyah pada tanggal 27 Rajab 1342 H atau bertepatan dengan 3 Maret 1924 M, kaum Imperialis Barat tidak berhenti begitu saja dalam usahanya menghancurkan Islam. Mereka terus berusaha melenyapkan sama sekali Khilafah dari benak generasi umat Islam. Tujuannya jelas, yaitu agar Khilafah tidak dapat bangkit kembali untuk mendominasi dunia. Mereka juga menyebarkan keragu-raguan terhadap ide Khilafah sendiri. Di antaranya dengan mengatakan bahwa ia bukan merupakan bagian dari ajaran Islam.
Usaha “melokalisasi” ide Khilafah hanya sebagai urusan duniawi sudah dimulai pada masa-masa awal keruntuhan Khilafah. Ali Abdurraziq, seorang mantan ulama al-Azhar, sepulangnya dari Inggris, menulis sebuah buku kontroversial berjudul, Al-Islâm wa Ushûl al-Hukm (Islam dan Dasar-dasar Pemerintahan). Buku tersebut terbit pada awal April tahun 1925, genap satu tahun selepas Khilafah dihapus di Turki. Di dalamnya penulis menjelaskan –di antaranya– bahwa peran dan langkah-langkah politik yang dijalankan oleh Nabi Muhammad saw., termasuk model pemerintahan, hanya sebatas urusan dunia semata; bukan merupakan bagian dari ajaran Islam.
Terang saja, buku tersebut mendapat penentangan keras dari para ulama al-Azhar kala itu. Akhirnya, Hai’ah Kibâr al-‘Ulamâ` (Komite Ulama Senior) menggelar sidang pada Rabu 15 Muharram 1344 H bertepatan dengan 5 Agustus 1925 M. Sidang dihadiri oleh 24 ulama senior. Sidang memutuskan untuk menanggalkan gelar keulamaan Ali Abdurraziq, menghapuskan namanya dari daftar Universitas Al-Azhar Al-Syarif, serta mencabut gelar keahliannya baik di bidang agama maupun non agama (Lihat: Radd Hai’ah Kibâr al-Ulamâ ‘alâ Kitâb al-Islâm wa Ushûl al-Hukm; Buku kecil (kutayyib) hadiah dari Majalah al-Azhar edisi Rabiul Awwal 1414 H, 4-5).
Selain tetap menyebarkan keragu-raguan akan keberadaan ajaran Khilafah, mereka juga melakukan penyesatan atas ide Khilafah. Tujuannya agar umat Islam salah dalam memahami Khilafah atau Imamah yang dijelaskan oleh para ulama. Dengan itu umat menganggap Khilafah/Imamah sebatas kepemimpinan umum, yang dapat terealisasi dengan sistem atau bentuk pemerintahan apapun, termasuk sistem demokrasi. Hal itu tampak semakin jelas saat kata khalifah dipaksakan untuk menyebut presiden, bahkan untuk menyebut presiden negara kâfir harbî muhârib[an] fi’l[an], Amerika Serikat. Tentu ini merupakan penyimpangan yang nyata, yang dapat meracuni kaum Muslim.
Pengertian Khilafah
Berdasarkan istilah syar’i kata khilâfah merupakan padanan bagi kata imâmah dan imârah al-mu’minîn. Syaikh al-‘Allamah Muhammad Najib al-Muthi’i (w. 1406 H) mengatakan, “Al-Imâmah, al-Khilâfah dan Imâratul-Mu’minîn adalah sinonim.” (Al-Majmû` Syarh al-Muhadzdzab, 19/191).
Kata khalîfah, sebagai sebutan bagi pemimpinnya, juga merupakan sinonim bagi kata imâm dan kata amîr al-mu’minîn. Asy-Syaikh al-Muhaddits Muhammad ‘Abdul Hayyi al-Kattani (w. 1382 H) menjelaskan, “Pemimpinnya disebut khalifah karena ia adalah pengganti (Arab: khalîfah) Rasulullah saw.; disebut juga imâm karena menjadi imam dan khathib pada masa Rasul saw. dan Khulafaur Rasyidin. Ini adalah kelaziman. Tidak ada yang boleh menggantikannya melainkan dengan cara pewakilan, sebagaimana dalam peradilan dan pemerintahan; juga disebut Amîrul-Mu`minîn.” (Nizhâm al-Hukûmah al-Nabawiyyah, 1/79. Lihat juga Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun, 239; Ibrahim al-Laqqani, Hidâyah al-Murîd li- Jauharah al-Tauhîd, 1279; Abu Zahrah, Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah, 19; Taqiyuddin al-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, 2/12).
Dari sini jelas, Khilafah, Imamah dan Imaratul Mukminin adalah sama. Khalifah, Imam dan Amirul Mukminin juga sama untuk menyebut pemimpinnya. Khalifah juga dikenal dengan al-Imâm al-A’zham (pimpinan tertinggi).
Melanjutkan penjelasannya di atas Syaikh ‘Abdul Hayyi al-Kattani menyatakan, “Dialah pimpinan tertinggi yang tidak ada lagi pimpinan di atasnya dan tidak pula ada yang menyamai dalam kedudukannya.”
Para ulama telah mengungkapkan dalam sejumlah redaksi yang berbeda tentang makna Khilafah, namun semuanya merujuk pada satu makna yang sama. Di antara yang terpenting adalah sebagaimana berikut:
“Imamah adalah kepemimpinan yang bersifat komprehensif dan umum, terkait dengan masyarakat umum dan khusus, dalam perkara agama dan dunia.” (Abu al-Ma’ali al-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî Iltiyâts al-Zhulam, 217).
“Khilafah mengarahkan seluruh umat berdasarkan sudut pandang syar’i dalam meraih kemaslahatan mereka di akhirat dan kemaslahatan mereka di dunia yang mengacu pada akhirat. Sebab, segala kondisi di dunia, menurut syariah, diukur berdasarkan kemaslahatannya di akhirat. Ia pada hakikatnya adalah pengganti Shahib asy-Syar’ (Rasulullah) dalam menjaga agama dan mengatur urusan dunia dengan agama.” (Ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldûn, 239).
“Kepemimpinan umum bagi kaum Muslim seluruhnya di dunia, untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam serta mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru alam.” (Dr. Mahmud al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, 229-230).
Dari sejumlah pengertian ini, jelas Khilafah merupakan bentuk kepemimpinan yang khas, setidaknya dalam 5 poin: (1) kepemimpinan umum yang berlaku atas seluruh umat Islam di berbagai penjuru dunia; (2) kepemimpinan yang mencakup urusan agama sekaligus dunia, tidak sebatas dalam urusan agama saja sebagaimana kepausan dalam agama Nasrani, juga bukan sekadar dalam urusan dunia saja seperti kepemimpinan dalam sistem sekular yang menyerahkan urusan agama kepada individu; (3) kepemimpinan yang menjadikan kemaslahatan akhirat sebagai tolak-ukurnya sehingga hanya mengacu pada syariah Islam dalam mengatur urusan rakyat; (4) kepemimpinan yang mengemban misi dakwah Islam ke seluruh penjuru alam; (5) kepemimpinan yang menaungi masyarakat umum dan khusus, termasuk di dalamnya non-Muslim.
Kelima poin ini secara normatif maupun empiris tidak dapat terealisasi secara bersamaan dalam sistem manapun selain sistem Khilafah itu sendiri.
Peran dan bentuk kepemimpinan yang demikian itulah yang telah diemban dan dijalankan oleh Nabi Muhammad saw. hingga beliau wafat. Khilafah sejatinya hanya sebatas melanjutkan “tongkat estafet” dari format kepemimpinan tersebut sepeninggal Beliau. Untuk konteks sekarang, bentuk kepemimpinan rintisan beliau ini memenuhi kriteria untuk dapat disebut sebagai negara (dawlah). Ini sebagaimana pengakuan sejumlah ilmuwan dan pemikir Barat yang dikutip oleh al-Syaikh Dr. Muhammad Dhiyauddin ar-Rays dalam An–Nazhariyât as-Siyâsiyyah al-Islâmiyyah, 28-29. Di antaranya mencantumkan keterangan Dr. V. Fitzgerald dalam bukunya, Muhammedan Law, “Islam bukan hanya sebatas agama (A Religion), tetapi juga merupakan sistem politik (A Political System)…Sungguh ‘istana’ pemikiran Islam seluruhnya dibangun berdasarkan dua aspek yang saling terkait, yang keduanya tidak mungkin untuk dipisahkan.”
Hukum Menegakkan Khilafah
Khilafah, sebagaimana gambaran di atas, wajib hukumnya menurut seluruh Ahlus Sunnah tanpa ada perselisihan sama sekali. Imam ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi (w. 587 H) menyatakan: “…Mengangkat Imam A’zham (Khalifah) adalah wajib tanpa ada perbedaan di antara Ahlul Haq (Ahlus Sunnah).” (Badâ`i’ ash-Shanâ`i’ fî Tartîb al-Syarâ`i’, 9/83).
Adanya ijmâ’ (konsensus) seluruh umat Islam atas kewajiban Khilafah juga diterangkan oleh Imam Abu Zakariya an-Nawawi asy-Syafi’i (w. 676 H) dalam ungkapannya, “Mereka (umat Islam) juga telah bersepakat bahwa kaum Muslim wajib mengangkat seorang khalifah. Kewajiban ini berdasarkan nash syariah, bukan berdasarkan akal.” (Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, 12/205).
Berdasarkan catatan para ulama, hanya terdapat segelintir orang saja dalam sejarah yang menyalahi ijmak tersebut. Mereka mengatakan bahwa Khilafah sekadar boleh, tidak wajib. Itu pun semuanya bukan dari kalangan Ahlus Sunnah. Mereka tidak layak diperhitungkan pendapatnya, apalagi diikuti. Mereka adalah: Abu Bakar al-‘Asham, Hisyam bin ‘Umar al-Futhi dan Dhirar bin ‘Amr. Ketiganya dari kalangan Muktazilah. Lalu an-Najdat (para pengikut Najdah bin ‘Amir al-Haruri) dari kalangan Khawarij. (Lihat Asy-Syaukani, Nayl al-Authâr, 8/294); Muhammad al-Amin asy-Syinqithi, Adhwâ’ al-Bayân fi Idhâh al-Qur’ân bi al-Qur’ân, 1/71; Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Al-Imâmah al-‘Uzhmâ ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, 45).
Dengan demikian perbedaan pendapat tentang hukum menerapkan Khilafah hanya berkisar pada pandangan wajib oleh seluruh Ahlus Sunnah dan mubah (boleh) oleh sekelompok nyleneh dari sebagian kalangan Muktazilah dan Khawarij saja. Tidak ada yang mengatakan makruh, apalagi haram. Karena itu tentu tidak dapat diterima pendapat yang mengatakan bahwa menegakkan Khilafah saat ini adalah haram karena bertentangan dengan kesepakatan para pendiri bangsa. Jelas, pendapat ini menyalahi Ijmak Sahabat dan ijmak ulama Ahlus Sunnah dari masa ke masa. Menyalahi ijmak adalah haram (Lihat Al-Baidhawi, Nihâyah as-Sûl fî Syarh Minhâj al-Ushûl, 4/550).
Lebih spesifik lagi, menegakkan Khilafah tergolong fardhu kifâyah (kewajiban kolektif) dan terkategori sebagai kewajiban yang cukup besar dan sangat penting. Kewajiban ini menyangkut kemaslahatan umum yang bersifat dharûrî (mendesak). Karena itu membiarkan kewajiban ini terbengkalai akan mengakibatkan dosa besar atas kaum Muslim.
Dijelaskan dalam kitab Al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhab al-Imâm asy-Syâfi’î, “Mengangkat seorang imam (khalifah) dengan format yang telah Anda lihat di atas, dan demi merealisasikan kepentingan-kepentingan yang telah lalu kami bicarakan, hukumnya adalah wajib melekat di leher-leher kaum Muslim di manapun mereka berada. Jika mereka tidak bangkit untuk itu, demi merealisasikan perintah Allah ‘Azza wa Jalla, maka mereka semuanya akan tertimpa dosa yang besar. Oleh karena ia—selain terkait berbagai urusan agama, sosial dan politik yang bersifat mendesak—merupakan sebuah syiar yang paling agung di antara syiar-syiar agama Islam yang harus tampak dan hidup di negeri-negeri kaum Muslim.” (Al-Fiqh al-Manhajî ‘alâ Madzhab al-Imâm asy-Syâfi’î, 8/277-278).
Kesatuan Khilafah
Umat Islam, khususnya Ahlus Sunnah, juga telah bersepakat bahwa Khilafah—di seluruh dunia dan pada waktu yang sama—hanya boleh ada satu saja. Imam Abu Abu al-Hasan Ibn al-Qaththan (w. 628 H) menerangkan: “Mereka (para ulama) juga telah bersepakat bahwa tidak boleh ada dua imam atas kaum Muslim pada waktu yang sama di seluruh penjuru duniab baik keduanya sejalan maupun tidak’ baik keduanya berada di tempat yang berbeda maupun di satu tempat yang sama.” (Al-Iqnâ’ fî Masâ`il al-Ijmâ’, 1/60. Lihat juga: Abu Muhammad Ibn Hazm al-Andalusi, Marâtib al-Ijmâ’, 124); Abu Zakariya an-Nawawi, Al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim, 12/231; Muhammad bin Abdurrahman ad-Dimasyqi, Rahmah al-Ummah fî Ikhtilâf al-A`immah, 253).
Hanya sebagian kecil dari kalangan di luar Ahlus Sunnah yang membolehkan imam berbilang. Mereka adalah al-Karramiyah, pengikut Muhammad bin Karram al-Sajistani (Lihat Muhammad al-Amin al-Syinqithi, Adhwâ‘ al-Bayân, 1/83).
Memang, sebagian ulama Ahlus Sunnah membolehkan imam berbilang dengan alasan jauhnya jarak (tabâ’ud al-aqthâr) saat khalifah yang ada tidak dapat menjangkau wilayah yang jauh tersebut. Karena itu boleh bagi warganya mengangkat imam baru lagi hukum-hukum syariah terlaksana dan kemaslahatan mereka terpelihara. Namun demikian, hal itu harus dipahami sebagai alasan dharûrat. Artinya, jikia alasan tersebut hilang maka hilang pula kebolehannya. Apalagi pada masa sekarang teknologi transportasi dan komunikasi telah maju sehingga alasan tersebut sudah tidak berlaku lagi. Artinya, kembali ke hukum awal, umat Islam hanya boleh memiliki satu khalifah saja (Lihat: Dr. Muhammad Khaldun Maliki, Ta’addud al-Khulâfa’ wa Wihdah al-Ummah Fiqhan wa Târîkhan wa Mustaqbalan, 217).
Khilafah Anti Penjajahan
Dunia dalam ancaman imperialisme Amerika dan negara-negara adidaya kapitalis. Mereka menyelamatkan negerinya sendiri secara politik, militer dan ekonomi melalui penjarahan negara-negara Afrika dan negeri Muslim dengan dalih demokratisasi.
Amerika memaksakan demokrasi untuk melegalkan penjajahan sosial-budaya terhadap Dunia Islam. Hal tersebut bisa dilihat dari pidato George W. Bush pada pelantikannya sebagai presiden pada 20 Januari 2005. Dia berkata: The best hope for peace is the expansion of freedom (Harapan untuk perdamaian adalah melakukan ekspansi kebebasan) (Newsweek, 31/1/2005).
Demokrasi telah memberikan ruang bebas bagi negara-negara imperialis untuk terus menjajah Dunia Islam.
Amerika menggunakan dalih demokrasi untuk menutupi borok dan bahaya ideologi kapitalis. Amerika, Eropa dan Cina mereka memiliki agenda yang sama yang menyebabkan lebih banyak bahaya terhadap negeri-negeri Muslim.
Secara empiris dan historis, hanya Negara Khilafah Islam yang memiliki kemampuan untuk menghentikan penjajahan dan pembodohan oleh peradaban Kapitalisme.
Khilafah Solusi bagi Indonesia
Indonesia dirundung banyak masalah. Akarnya adalah sekularisme yang melahirkan Kapitalisme. Kapitalisme melahirkan seperangkat aturan (sistem) yang dibuat oleh manusia. Di bidang ekonomi lahir sistem ekonomi kapitalis. Di bidang politik lahir sistem demokrasi. Di bidang sosial-budaya lahir sistem sosial-budaya yang liberal. Di bidang pendidikan lahir sistem pendidikan sekular (yang jauh dari agama). Demikian seterusnya.
Di bidang ekonomi, sistem ekonomi kapitalis gagal mensejahterakan umat manusia, kecuali segelintir saja. Di Indonesia, misalnya, jelas jauh lebih banyak orang miskin ketimbang orang kaya. Ini karena sumberdaya alam milik rakyat yang melimpah-ruah banyak dikuasai dan dinikmati segelintir orang, terutama pihak asing, daripada dinikmati oleh rakyat sebagai pemiliknya.
Di bidang politik, sistem demokrasi hanya melahirkan banyak kekacauan politik. Faktanya, DPR sebagai lembaga wakil rakyat justru banyak memproduksi UU yang menindas rakyat dan lebih memihak para pemilik modal. Pemerintah pun melahirkan banyak kebijakan yang menzalimi rakyat sekaligus memanjakan para pemilik modal tersebut. Alhasil, kedaulatan rakyat dalam demokrasi juga bohong belaka.
Oleh karena itu, berbagai persoalan yang mendera negeri ini tidak mungkin dapat diselesaikan kecuali dengan menyingkirkan sistem Kapitalisme dan sistem demokrasi. Solusinya tidak mungkin bisa didapatkan hanya dengan mengganti rezim, melainkan melalui perubahan sistem dan ide-ide umum tentang kehidupan.
Karena itu, penerapan Islam secara kâffah adalah solusi nyata bagi NKRI. Khilafah adalah satu-satunya sistem pemerintahan Islam, bukan yang lain.
Dengan Khilafah Indonesia dan umat Islam akan dipersatukan dalam satu kepemimpinan dan satu negara. Di dalamnya seluruh hukum syariah Islam diterapkan secara kâffah dan dakwah Islam disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Ketika hukum-hukum Allah diterapkan secara sempurna, niscaya Allah SWT akan melimpahkan kebaikan dan keberkahan.
Karena itu setiap Muslim hendaknya terus terlibat dalam dakwah untuk membangun kembali Khilafah Rasyidah.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []
Oleh: Ustaz Azizi Fathoni
Ulama Aswaja
0 Komentar