Impor Beras, Mengubur Harapan Kedaulatan Pangan

MutiaraUmat.com -- Indonesia  dikenal sebagai negara agraris yakni memiliki potensi lahan pertanian yang cukup luas dan subur. Berbagai tanaman pangan maupun holtikultura dapat tumbuh dengan baik di atasnya. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar mata pencaharian penduduknya juga sebagai petani.

Namun demikian, Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan impor beras karena sulit untuk mencapai swasembada. Hal itu juga dikarenakan jumlah penduduk Indonesia yang terus bertambah hampir mencapai angka 280 juta jiwa, sedangkan tingkat produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan stok beras tersebut. (CNBC Indonesia, 2/1/2024).

Sementara itu, peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian, mengatakan bahwa keputusan impor beras tahun ini tidak sesuai dengan data. Pasalnya, kebutuhan awal 2024 masih dapat dipenuhi dari sisa impor tahun lalu. Per Desember 2023, stok Bulog masih 1,6 juta ton, di ID Food kurang lebih 2 juta ton, dan di level daerah ada 6,7 juta. Artinya, stok beras awal tahun masih di atas 10 juta ton, sedangkan kebutuhan beras nasional per bulan berkisar hingga 2,5 juta ton (CNN Indonesia, 10/10/2024).

Hal inilah yang memunculkan polemik bagi masyarakat luas. Impor beras selalu menjadi solusi Pragmatis persoalan beras.  Bahkan kebijakan tersebut  akan sangat memukul harga gabah saat panen raya mendatang yang diprediksi mengalami kenaikan sekitar 3—5 persen ditahun 2024.

Fakta di lapangan, memang masyarakat kesulitan mengakses beras. Terlebih harga beras pun kian melonjak. Jika kita menilik hal tersebut maka akan kita dapati beberapa persolan yang menjadi sumber permasalahan beras itu sendiri. Antara lain yaitu faktor manajemen stok dan distribusi.

Berbagai kebijakan kontraproduktif  seperti konversi lahan pertanian atau alih fungsi lahan pertanian untuk proyek pembangunan perindustrian begitu masif dilakukan. Hal tersebut tentu semakin menjauhkan negri ini dari harapan swasembada pangan.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa di negri penganut demikrasi kapitalis ini distribusi sebagian besar dikendalikan pihak swasta. 

Dengan tujuan memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, maka aksesnya sulit dijangkau masyarakat luas, terlebih bagi kalangan menegah ke bawah. Negara hanya berperan sebagai regulator semata.

Islam memiliki sistem pengelolaan yang terbaik, yang akan menjamin ketersediaan cadangan pangan oleh negara dan  melindungi petani beras sehingga dapat berproduksi  optimal.
Dalam sistem Islam, kebijakan impor bukanlah solusi bagi ketahanan pangan dalam negeri.

Terdapat beberapa mekanisme untuk mewujudkan kemandirian pangan tanpa bergantung pada negara lain. 
Negara akan mengoptimalkan hasil produksi dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian.  Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah mati. Sehingga berdaya guna bagi masyarakat yang membutuhkan.

Sedangkan Intensifikasi dilakukan dengan peningkatan kualitas bibit, pupuk, dan alat-alat produksi dengan teknologi terkini. Sehingga hasil produksi semakin meningkat, Apalagi didukung oleh sumber daya manusia yang kian bertambah banyak.

Selain itu, negara juga menerapkan mekanisme pasar yang sehat. Dimana, Negara melarang penimbunan, penipuan, praktik riba, dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Untuk manajemen logistik, Negara akan memasok cadangan lebih saat panen raya. Negara akan mendistribusikan secara selektif bila ketersediaan pangan berkurang di suatu daerah. Misalnya, musim paceklik atau karena adanya bencana alam.

Kebijakan ekspor impor antar negara sebagai bentuk perdagangan luar negeri diatur sedemikian rupa. Ekspor boleh dilakukan jika seluruh rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya. Adapun impor boleh diambil dengan ketentuan syariat.

Sebagai bentuk antisipasi perubahan cuaca ekstrem yang mempengaruhi produksi pangan negeri, dilakukan  kajian mendalam tentang terjadinya perubahan cuaca. Hal ini didukung fasilitas dan teknologi mutakhir. Inilah bentuk mitigasi kerawanan pangan dalam negeri Islam (Muslimahnews.com).

Pemimpin akan bertanggungjawab secara penuh atas terwujudnya ketahanan pangan dan kedaulatan pangan tanpa campur tangan pihak asing ataupun korporasi . Kendali sepenuhnya ada di tangan pemimpin.

Sebagaimana Rasulullah Saw bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus hajat hidup rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR Muslim dan Ahmad).

Dengan potensi sumber daya alam dan energi berlimpah, akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk memutar roda perekonomian dan menyejahterakan seluruh rakyatnya.
Demikianlah negara Islam sangat memperhatikan kebutuhan pangan (pokok) rakyatnya sesuai dengan ajaran Islam. Sehingga terhindar dari krisis pangan dalam kondisi apapun. Wallahu’alam bishshowab.[]

Oleh: Dewi Ratih
(Aktivis Muslimah)


0 Komentar