Dalam Kapitalisme, Infrastruktur Tak Pernah Beres


MutiaraUmat.com -- “Tadi pagi kita ngecek pembangunan perbaikan jalan Solo-Purwodadi yang sudah bertahun-tahun enggak pernah beres-beres, benar?” kata Presiden Jokowi di depan warga Grobogan, Jawa Tengah ketika bagi-bagi sertifikat tanah.

Gemas sekali mendengar komentar pemimpin negeri tercinta ini yang seolah peduli terhadap proyek perbaikan “jalan kecil”. Seperti yang terjadi pada Jalan Rumbia di Lampung Tengah, setelah viral di media sosial dengan kondisi jalan bak waterboom barulah diperbaiki. Padahal sebelumnya jalan yang selalu membuat para sopir berjibaku agar kendaraannya tak terguling selama bertahun-tahun tak pernah disentuh. Jalan ini sangat penting karena digunakan untuk mendistribusikan hasil panen para petani di wilayah tersebut.

Begitu pula yang terjadi di jalur Pantai Utara (Pantura). Terdapat “proyek abadi” perbaikan jalan yang konon bikin boncos pemerintah karena kudu merogoh kocek hingga Rp 6,5T tiap tahunnya. Jalur yang merupakan jalur favorit pemudik saat lebaran ini selalu menyisakan kemacetan yang mengular karena jalan berlubang dan bergelombang di sisi kanan dan kirinya.

Kerusakan jalan terjadi merata hampir di seluruh wilayah Indonesia bagai jamur di musim hujan. Jalan yang merupakan infrastruktur penting dan menjadi tumpuan rakyat malah dibiarkan terbengkalai. Kalaupun dikerjakan atau diperbaiki hanya bertahan 1-2 tahun saja. Pemerintah malah fokus pada pembangunan infrastruktur yang biasa disebut Proyek Strategis Nasional seperti proyek IKN, Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), pembangunan jalur Trans Sulawesi, dan masih banyak lainnya.

Tak segan Indonesia menggandeng investor dalam dan luar negeri untuk mengerjakan proyek-proyek ini. Tata kelola diserahkan sepenuhnya pada korporasi, sehingga mengerdilkan peran negara. Walhasil, pembangunan infrastruktur tidak mengarah pada kepentingan rakyat melainkan korporasi.

Pemerintah menutup mata dan telinga meski tampak ada fakta kerusakan lingkungan, pembacaan dampak negatif bahkan pembengkakan biaya dan molornya waktu pengerjaan. Pada kenyataannya berbagai sarana tersebut sama sekali tidak membawa kesejahteraan bagi rakyat dan bisa jadi tidak ada manfaat sama sekali bagi rakyat.

Sebab mendasar dari semua ini adalah diterapkannya sistem kapitalisme. Sistem ini meniscayakan tolak ukur seluruh aktivitas hanya berdasarkan hitungan untung-rugi bagi kepentingan para pemilik modal (kapitalis), mengabaikan kepentingan rakyat.

Sebagai Muslim sudah saatnya kembali kepada Islam yang merupakan agama sekaligus Mabda (ideologi) untuk mengatur segala urusan tanpa terkecuali. Mengapa? Karena dalam Islam, infrastruktur dipandang sebagai salah satu pilar untuk membangun peradaban bukan sekadar proyek strategis nasional yang menguntungkan segelintir orang.

Syariat menetapkan penyediaan infrastruktur sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara dan dilakukan secara independen tanpa bergantung pada investor. Dengan berbasis pada kemaslahatan rakyat, negara memastikan pembangunan infrastruktur disesuaikan dengan kebutuhan rakyat dan diserahkan kepada para ahli dengan pengawasan dan pembiayaan penuh dari negara.

Sistem Islam telah menorehkan kegemilangan selama 13 abad di segala bidang, termasuk pembangunan infrastruktur. Seperti yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang memfokuskan pembangunan kanal, jalan, dan jembatan. Membuka kembali aktivitas perdagangan di sungai yang pernah ditutup pasukan Romawi yang menyatukan Hijaz dan Mesir.

Atau pada masa kekhalifahan Sultan Abdul Hamid II yang visioner dan kharismatik, membangun jalur kereta api Hamidiye Hijaz sepanjang 1464 km bertujuan mempersingkat waktu perjalanan para jamaah haji serta mencegah penyakit nasionalisme yang merajalela kala itu dengan menggunakan Islam sebagai pengikat yang kuat.

Potret negara yang menjunjung tinggi kepentingan rakyat hanya terjadi apabila Islam diterapkan secara totalitas di kehidupan dalam naungan Khilafah Islamiyah. Negara seperti inilah yang kita rindukan maka sudah selayaknya kita berada di barisan yang memperjuangkannya. []


Ika Nur Wahyuni
Aktivis Muslimah

0 Komentar