Cukong Politik dan Implikasinya terhadap Kualitas Pemilu serta Integrasi Pemimpin Terpilih

MutiaraUmat.com -- "Money is the mother's milk of politics." Uang adalah ibu susu politik. Ungkapan menarik politisi Amerika Serikat, Jesse Unruh ini bisa jadi benar. Di era kapitalisme ini, rasanya mustahil berpolitik tanpa uang. Bahkan money politic di tiap "pesta demokrasi" telah dianggap tradisi. 

Bicara money politic pasti akan merembet pada siapa sang pemilik uang? Diduga kuat, di balik kontestan Pemilu, ada cukong yang menggelontorkan dana demi pemenangannya. Cukong berasal dari bahasa Hokkien, Zhugong, artinya pemimpin, ketua, bos besar. Biasanya merujuk pada pemilik perusahaan besar di Indonesia. Dapat pula dimaknai orang atau kelompok orang yang kaya harta, pemilik modal, dan dengan hartanya mampu memengaruhi ekonomi negara. Istilah cukong dilihat dari praktiknya, sama dengan kaum oligarki.

Lantas, untuk Pemilu 2024 akankah terbebas dari belenggu cukong politik? Rasanya tak perlu analisis ilmiah untuk membuktikan bahwa ketiga capres cawapres adalah “calonnya cukong (oligarki)." Lihatlah partai pendukung masing-masing kandidat, lalu detili siapa orang kaya di dalam partai koalisi.

Pada partai koalisi pengusung Anies Baswedan (Partai Demokrat, Nasdem, PKS) ada sejumlah nama seperti Surya Paloh (Pemilik Media Group), Rachmat Gobel (Pemilik National Gobel Group), Jusuf Kalla (pemilik Kalla Group), Aburizal Bakrie (Pemilik Bakrie Group). Ganjar Pranowo didukung pemilik MNC Group Hary Tanoesoedibjo (Partai Perindo), Suharso Monoarfa (pengusaha sejumlah perusahaan sukses), dan Murdaya Poo (pemilik Central Cipta Murdaya Group). Adapun di balik Prabowo Subianto, ada Hashim Djodjohadikusuma, keluarga Cendana, dan Sandiaga Uno (kompas.com, 3/7/2023).  

Dengan demikian, tidak ada satu pun dari ketiga paslon yang luput dari dukungan cukong. Sehingga bila mereka menggunakan narasi cukong (oligarki) untuk menyerang lawan politik, padahal diri sendiri juga bagian itu, tak ubahnya seperti “Gajah di pelupuk mata tidak terlihat, tapi semut di seberang lautan nampak.” Atau "Maling teriak maling?"

Cukong dan Politik Berbiaya Tinggi dalam Pemilu

Mahalnya cost politik di Indonesia, mau tidak mau, kandidat kepala daerah hingga kepala negara harus berteman dengan cukong. Itu realitas tak terbantahkan. Yang telah, sedang dan akan dilakukan politisi di semua level. Lihatlah pertarungan Pilpres selama 10 tahun ke belakang. Semua kubu pasti didukung para pemilik modal, jika tidak mustahil pertarungan melibatkan orang-orang berpengaruh di negeri ini. 

Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti memastikan jika oligarki akan selalu turut campur dalam Pemilu sepanjang bangsa ini menerapkan sistem pemilihan langsung berdasarkan prinsip demokrasi liberal ala Barat yang faktanya sangat mahal biayanya. Menurutnya, siapa pun calon presiden Indonesia, tidak akan mampu membiayai mahalnya biaya Pilpres. Sehingga pasti melibatkan oligarki ekonomi yang selama ini mendekat ke dalam lingkar kekuasaan, baik partai politik maupun kabinet presiden (rri.co.id, 11/5/2023).

Senada, Menkopolhukam Mahfud MD menyatakan bahwa 92% calon kepala daerah dibiayai oleh cukong (cnnindonesia.com, 11/9/2020). Merekalah kekuatan oligarki yang banyak dikenal menguasai sumber daya alam (SDA) negeri ini. Padahal berdasarkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, ”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Namun, asas kemakmuran rakyat telah bergeser menjadi asas kemakmuran kaum pemodal. Jika pada periode pra proklamasi, perampasan SDA dilakukan paksa dengan kekuatan fisik, namun pasca proklamasi hingga hari ini, pola penjajah berubah menggunakan sarana nonfisik, di antaranya dengan modus investasi.

Secara filosofis, penegasian pasal 33 ayat (3) UUD 45, yang meniscayakan liberalisme ekonomi, kapitalisasi faktor produksi termasuk deregulasi dan kemudahan investasi melalui sejumlah kebijakan dan UU, sangat bertentangan dengan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Liberalisme ekonomi meniscayakan perampokan alat dan faktor produksi sebagai asas industri barang dan jasa yang dibutuhkan rakyat, oleh sekumpulan kaum kapital berdalih investasi. Negara justru menempatkan diri sebagai pelayan kaum kapital dan memfasilitasi konversi kepemilikan harta milik rakyat menjadi milik swasta, asing maupun aseng.

Secara politik, kemerdekaan politik berupa kemandirian untuk menentukan arah cita bangsa, membentuk visi dan misi politik negara, dikangkangi oleh kekuatan kapital melalui sistem demokrasi liberal. Demokrasi telah merampok kedaulatan rakyat dan memberikannya kepada kaum kapital.

Demokrasi berjalan secara prosedural, hanya seremoni kontestasi politik. Sementara kedaulatan, sejatinya tidak lagi berada di tangan rakyat melainkan para pemodal. Oligarki Kekuasaan yang merupakan kolusi antara partai politik dan para pemodal telah menguasai altar kontestasi secara mutlak. Rakyat hanyalah alat legitimasi kekuasaan yang 'dipaksa' memilih calon pemimpin melalui Pemilu yang telah disediakan dalam etalase politik hasil kolusi partai politik dan kaum kapital.

Setelah menjadi penguasa, kader partai politik wajib mengabdi kepada partai dan melayani kepentingan para pemodal yang membiayainya. Suara bisa dibeli dan diarahkan kepada pemenangan calon tertentu. Sistem Pemilu dan Pilkada langsung berpotensi menegasikan substansi suara rakyat sekaligus mengkhianati amanat sila keempat. 

Akibat oligarki kekuasaan, muncul anomali demokrasi politik. Dalam konteks kepemimpinan nasional, sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan secara substansi telah diabaikan. Filosofi kepemimpinan diganti dengan sistem politik demokrasi liberal. 

Tak ada lagi konsensus (musyarawah), semua keputusan termasuk pengisian jabatan kekuasaan nasional maupun daerah ditentukan melalui mekanisme demokrasi liberal yang berasaskan 'one man one vote'. Terjadi distorsi kedaulatan rakyat dan Pemilu terjebak dalam prinsip "numeric democracy." Seolah-olah rakyat dilibatkan dalam menentukan pemimpin kekuasaan, padahal sejatinya tidak. 

Ketika demokrasi liberal justru melegalkan kapital untuk membeli suara dan legitimasi dari rakyat  dalam Pemilu, yang dihitung bukan kebenaran, kebijakan atau kearifannya. Yang dipedulikan, hanyalah jumlah suara penentu kemenangan dan legitimasi kekuasaan. Akankah dihasilkan pemimpin berkualitas dari Pemilu?

Tepat jika Jefrey Winters menegaskan bahwa demokrasi di Indonesia telah dikuasai oligarki. Akibatnya, demokrasi kian jauh dari cita-cita dan tujuan menyejahterakan masyarakat. Jadi sejatinya, negeri ini menganut demokrasi atau oligarki? Sampai kapan kita bertahan mengatakan demokrasi adalah harga mati?

Implikasi Cukong Politik terhadap Kualitas Pemilu dan Integritas Pemimpin Terpilih

Kian dekat dengan hari H Pemilu 2024, penting untuk mengingat bahwa lagi-lagi rakyat bertemu Pemilu oligarkis. Pemilu oligarkis juga terjadi pada 2014 dan 2019. Dua kandidat disokong oleh para cukong sebagai pendukung dan tim pemenangan.

Ketika salah satu kandidat memenangkan kontestasi pemilu, oligarki mengonsolidasikan diri dan mampu menjalankan kepentingannya dengan mulus. Kepentingan oligarki adalah pertahanan dan ekspansi kekayaan (Winters, 2011).

Berkaca dari dua gelaran Pemilu sebelumnya, Pemilu oligarkis akan menghasilkan buah pahit bagi negeri ini. Berikut implikasi cukong politik terhadap kualitas Pemilu dan integritas pemimpin terpilih. 

Pertama, siapa pun pemenang kontestasi, sejatinya para cukong (oligark) juaranya. Pemilu tak lebih ritual formalitas lima tahunan. Substansi sebagai sarana perubahan kondisi negara ke arah lebih baik hanyalah lips service. Selebihnya ia menjadi jalan para cukong untuk mempertahankan dan meluaskan hegemoni kekayaannya melalui pengendalian pemimpin terpilih yang didanainya. Sangat memungkinkan proses Pemilu di-setting sedemikan rupa demi memenangkan kandidat tertentu. 

Kedua, terjadi state capture. Yaitu jenis korupsi politik sistemis  yang dilakukan oleh oligark dengan cara membajak institusi negara dan kebijakan publik (Dávid-Barrett, 2023). Pengesahan UU yang didorong oleh kepentingan oligarki berkali-kali terjadi, membuktikan bahwa oligark berhasil melakukan state capture. Sepanjang tahun 2019-2022, pemerintah dan DPR meloloskan setumpuk UU bermasalah antara lain; revisi UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menjadi UU No 19/2019 (UU KPK), revisi UU No 4/2009 tentang Mineral dan Batubara menjadi UU No 3/2020 (UU Minerba), UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja, dan UU No 3/2022 tentang Ibu Kota Negara (UU IKN). Seluruh produk hukum itu disahkan berpola serupa, yakni serba cepat dan menutup ruang partisipasi publik.

Ketiga, demokrasi hanyalah jargon. Salah satunya ditandai maraknya pelanggaran terhadap hak masyarakat. Freedom House sejak 2015 hingga 2023 mengategorisasi Indonesia sebagai partly free (negara separuh bebas). Kriminalisasi, serangan fisik dan digital terhadap warga dan jurnalis, hingga pembungkaman terhadap kebebasan akademik kerap terjadi.

Keempat, pengelolaan hukum dan pemerintahan tidak merdeka demi melayani rakyat. Dalam konteks hukum, baik perancangan, perundangan, serta penerapannya, Indonesia belum merdeka. Infiltrasi  kelompok pemodal dalam dunia politik, menyebabkan produk legislasi tak berorientasi merdeka demi melayani rakyat, namun terpenjara untuk melayani kepentingan para cukong. 

Lihat pada ngototnya DPR menyetujui RUU Omnibus Law Cipta Kerja menjadi UU hingga Putusan MK yang tetap menyatakan UU Cipta Kerja berlaku secara inkonstitusional bersyarat di tengah penentangan rakyat.  

Kelima, oligarki menjadi biang kerok percepatan krisis iklim. Salah satu akibatnya ialah bencana hidrometeorologi yang  dirasakan oleh masyarakat. Kebijakan serampangan dan berdampak pada kerusakan lingkungan diambil untuk memuaskan dahaga para cukong. Revisi UU KPK, UU Minerba, UU MK, dan UU Ciptaker menjadi bukti konkret oligarki sudah menguasai tata kelola pemerintahan di Indonesia. 

Mereka menyedot seluruh sumber daya untuk memperkaya kelompoknya dengan berbagai cara. Dan Pemilu menjadi salah satu jalur yang ditempuh oligarki untuk melanggengkan pengaruh dan kekuasaan mereka.

Demikian beberapa implikasi keberadaan cukong politik terhadap kualitas Pemilu yang terkesan formalitas dan berpotensi diarahkan demi memenangkan kandidat tertentu. Melihat proses Pemilu dan cukong politik di baliknya, wajar bila integritas pemimpin terpilih diragukan karena ditengarai sarat kepentingan para pemodal yang menyokongnya.

Strategi Pemilu Berkualitas tanpa Cukong dan Pemimpin Terpilih Terjamin

Intervensi para cukong (oligark) dalam prosesi demokrasi tidak sekali dua kali terjadi. Tapi selalu berulang di setiap Pemilu. Ini menjadi gejala bahwa masalah yang terjadi bukan soal individu atau kasuistik tapi problem sistemis. Akibat penerapan sistem politik saat ini yaitu demokrasi kapitalistik liberalistik. 

Sebagaimana diakui oleh Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti bahwa oligarki akan selalu turut campur tangan dalam pemilihan presiden langsung yang mahal, sepanjang bangsa ini masih menerapkan sistem pemilihan langsung berdasarkan prinsip demokrasi liberal ala Barat.

Bila akar masalahnya pada sistem demokrasi, tentu tidak cukup menyelesaikan problem keterlibatan cukong dalam Pemilu hanya pada perbaikan mekanisme Pemilu. Terlebih demokrasilah yang justru membuka peluang besar bagi masuknya oligarki dalam prosesi politik; pendirian partai politik, pencalonan pemimpin/wakil rakyat, hingga intervensi pembuatan kebijakan.

Mengapa? Karena berasas sekularisme dan berpilar kebebasan individu, praktik demokrasi jauh dari nilai agama. Konsep kedaulatan rakyat yang diagungkan hakikatnya meniadakan peran Tuhan (Allah) sebagai pihak yang berwenang menetapkan hukum bagi seluruh aspek kehidupan. 

Inilah cacat demokrasi sejak lahir. Oleh karena itu, alangkah idealnya bila penerapan sistem demokrasi diganti dengan sistem yang terbaik dan memungkinkan masyarakat hidup dalam kesejahteraan dan kebahagiaan. Tak lain sistem Islam yang bersumber dari kalam Allah SWT dan Rasul-Nya. 

Sebagai ajaran paripurna, sistem politik Islam juga mengatur tentang pemilihan pemimpin. Berikut gambaran Pemilu dalam sistem politik Islam tanpa cukong dan menjamin integritas pemimpin terpilih:

1. Pemilihan dan pengangkatan khalifah

Pemilu (intikhabat) boleh dilakukan untuk memilih khalifah. Sebab, Pemilu adalah salah satu cara untuk melaksanakan baiat, yaitu memilih khalifah yang akan dibaiat.

Mengapa cara pemilihan khalifah boleh berbeda dan berubah, termasuk boleh mengambil cara Pemilu? Sebab ada ijma sahabat mengenai tidak wajibnya (‘adamul wujub) berpegang dengan satu cara tertentu untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah), sebagaimana masa Khulafaur Rasyidin. Cara yang ditempuh (sebelum baiat) berbeda-beda untuk masing-masing khalifah: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali, ridhwânullâh ‘alayhim. Namun semuanya berpijak pada satu metode (tharîqah) yang tetap yaitu baiat. Baiat inilah satu-satunya metode untuk mengangkat khalifah (nashbul khalifah) (Zallum, 2002: 82).

Merujuk praktik Khulafaur Rasyidin, dapat diambil cara-cara pengangkatan khalifah sebagai berikut (Zallum, 2002: 72-85):

Pertama, pengangkatan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, yaitu setelah wafatnya khalifah, dilakukan 5  langkah berikut: (1) diselengarakan pertemuan (ijtimâ‘) oleh mayoritas Ahlul Halli wal Aqdi; (2) Ahlul Halli wal Aqdi melakukan pencalonan (tarsyîh) bagi satu atau beberapa orang tertentu yang layak untuk menjabat khalifah; (3) dilakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah satu dari calon tersebut; (4) dilakukan baiat in‘iqâd bagi calon yang terpilih; (5) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umumnya umat kepada khalifah.

Kedua, pengangkatan Khalifah Umar bin al-Khaththab, yaitu ketika seorang khalifah merasa wafatnya sudah dekat, dia melakukan 2 langkah berikut, baik atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat: (1) khalifah itu meminta pertimbangan (istisyârah) kepada Ahlul Halli wal Aqdi mengenai siapa yang akan menjadi khalifah setelah dia meninggal; (2) khalifah itu melakukan istikhlâf/‘ahd (penunjukkan pengganti) kepada seseorang yang akan menjadi khalifah setelah khalifah itu meninggal; (3) calon khalifah yang telah ditunjuk dibaiat dengan baiat in‘iqâd untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat kepada khalifah.

Ketiga, pengangkatan Khalifah Utsman bin Affan yaitu ketika seorang khalifah dalam keadaan sakaratul maut, atas inisiatifnya sendiri atau atas permintaan umat, dia melakukan langkah berikut: (1) khalifah melakukan penunjukkan pengganti (al-‘ahd, al-istikhlâf) bagi beberapa orang yang layak menjadi khalifah, dan memerintahkan mereka agar memilih salah seorang mereka untuk menjadi khalifah setelah dia meninggal, dalam jangka waktu tertentu, maksimal tiga hari. Setelah khalifah meninggal dilakukan langkah: (2) beberapa orang calon khalifah itu melakukan pemilihan (ikhtiyâr) terhadap salah seorang dari mereka untuk menjadi khalifah; (3) mengumumkan nama calon terpilih kepada umat; (4) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon terpilih itu untuk menjadi khalifah; (5) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat secara umum kepada khalifah.

Keempat, pengangkatan Khalifah Ali bin Abi Thalib yaitu setelah wafatnya khalifah; (1) Ahlul Halli wal Aqdi mendatangi seseorang yang layak menjadi khalifah; (2) Ahlul Halli wal Aqdi meminta orang tersebut untuk menjadi khalifah, dan orang itu menyatakan kesediaannya setelah merasakan kerelaan mayoritas umat; (3) umat melakukan baiat in‘iqâd kepada calon itu untuk menjadi khalifah; (4) dilakukan baiat ath-thâ‘at oleh umat secara umum kepada khalifah.

Itulah empat cara pengangkatan khalifah merujuk Khulafaur Rasyidin. Berdasarkan cara dibatas, khususnya pengangkatan Utsman bin Affan, Imam Taqiyuddin An-Nabhani (1963: 137-140) dan Imam Abdul Qadim Zallum (2002: 84-85) mengusulkan satu cara dalam pengangkatan khalifah. 

Diasumsikan telah ada majelis umat yang merupakan majelis wakil umat dalam melakukan musyawarah dan muhâsabah (pengawasan) kepada penguasa, cara pengangkatan khalifah terdiri 4 langkah:

(1) Anggota majelis umat yang Muslim melakukan seleksi terhadap para calon khalifah, mengumumkan nama-nama mereka, dan meminta umat Islam untuk memilih salah satu dari mereka. Di sinilah Pemilu bisa sebagai cara pelaksanaannya.

(2) Majelis umat mengumumkan hasil pemilihan umum (al-intikhâb) dan umat Islam mengetahui siapa yang meraih suara yang terbanyak.

(3) Umat Islam segera membaiat (baiat in‘iqâd) orang yang meraih suara terbanyak sebagai khalifah.

(4) Setelah selesai baiat, diumumkan ke segenap penjuru orang yang menjadi khalifah hingga berita pengangkatannya sampai ke seluruh umat, dengan menyebut nama dan sifat-sifat yang membuatnya layak menjadi khalifah.

2. Pemilihan anggota Majelis Umat

Proses untuk menjadi anggota lembaga tersebut adalah melalui pemilihan (al-intikhâbat) oleh umat, bukan melalui pengangkatan/penentuan (at-ta’yin) oleh khalifah. Mengapa melalui pemilihan? Sebab, di sini berlaku akad wakalah (perwakilan). Anggota majelis umat adalah wakil-wakil rakyat dalam penyampaian pendapat (ar-ra‘yu) dan pengawasan kepada penguasa (An-Nabhani, 1990: 90-96). Sedangkan wakil itu tiada lain dipilih oleh yang mewakilinya. Karena itu, anggota majelis umat haruslah dipilih oleh umat, bukan diangkat atau ditentukan oleh khalifah (Zallum, 2002: 221).

Dalam akad wakalah, pihak muwakkil (yang mewakilkan) berhak memberhentikan wakilnya (‘azl al-wakil), sebagaimana pihak wakil boleh pula memberhentikan dirinya sendiri. Sebab, akad wakalah adalah akad yang tidak mengikat (al-‘aqd al-ja’izah) (Lihat: Abdurrahman Al-Jaziri, Al-Fiqh ‘alâ al-Mazhâhib al-Arba‘ah, III/148). 

Maka umat berhak memberhentikan para wakilnya di majelis umah. Ini berbeda dengan akad Khilafah, sebab dalam akad Khilafah umat tidak berhak memberhentikan Khalifah (‘azl al-khalîfah). Jadi, meskipun umat yang mengangkat dan membaiat khalifah, tetapi umat tidak berhak memberhentikan khalifah, selama akad baiat telah dilakukan sempurna sesuai dengan syariat. Jika khalifah melanggar syariat Islam, yang berhak memberhentikannya adalah mahkamah mazhalim, yaitu lembaga peradilan (al-qadhâ’) yang bertugas menyelesaikan persengketaan antara umat dan penguasa/negara (Zallum, 2002: 114-115).

Demikian gambaran Pemilu dalam sistem politik Islam. Insya Allah akan menghindarkan prosesnya dari intervensi cukong politik hingga lebih menjamin integritas pemimpin terpilih. Yang mendedikasikan hidupnya untuk melayani Allah SWT dan umat melalui pengaturan urusan kehidupan berdasarkan syariat Islam. Tentu ini berbeda dengan Pemilu dalam sistem demokrasi yang menihilkan peran agama, serta tidak menjadikan pelayanan pada rakyat sebagai poros kekuasaannya.

Oleh: Prof. Dr. Pierre Suteki, S.H., M.Hum (Pakar Hukum  dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Pustaka

Al Jawi, Muh. Shiddiq, Pemilu dalam Islam: Hakikat dan Hukumnya, majelisdf.wordpress.com


0 Komentar