Bagaimana Dampak 100 Hari Perang di Gaza Melawan Penjajah Zionis?


MutiaraUmat.com -- Seratus hari perlawanan kaum Muslim di Gaza terhadap entitas Yahudi tentu memiliki dampak yang signifikan. Ada beberapa catatan penting terkait hal tersebut. Pertama, keimanan dan akidah yang kuat yang dimiliki milisi Hamas dan kaum Muslim di Gaza bagaikan benteng kokoh yang tidak bisa ditembus dengan peluru atau bom mana pun. Mereka teguh melawan penjajahan entitas Yahudi tanpa ada rasa takut sedikit pun.

Kedua, dengan kekuatannya mereka telah berhasil melumpuhkan entitas Yahudi dengan menghancurkan kendaraan militer Israel dan menewaskan puluhan tentara Israel yang pengecut dan rasis. Ketiga, sekalipun sampai detik ini, Israel tetap melakukan kebrutalan dan kebiasaannya membantai umat Islam di Gaza, tetapi Hamas dan kaum Muslim di sana tidak gentar sedikit pun. Yang mereka lakukan terus menyempurnakan ikhtiar dan Allah yang akan menyempurnakan kemenangan. 

Ada beberapa dampak politik dan ekonomi terkait 100 perang di Gaza. Pertama, dalam kacamata ekonomi, perang ini tentu menghabiskan biasa yang tidak main-main. Pihak penjajah zionis mengalami kerugian. Bahkan setidaknya US$ 269 juta (sekitar Rp 4,1 miliar) per hari hilang di negeri itu. Israel terancam bangkrut, "Kerugian keseluruhan dari perang ini bisa mencapai US$ 53,5 miliar (Rp 830 triliun), hampir 10% dari PDB," menurut laporan itu mengutip data dari Institute for National Security Studies (INSS), dimuat Senin (27/11/2023) dikutip dari CNBCIndonesia.com.

Entitas Yahudi tetap memerangi kaum Muslim di Gaza walaupun merugi. Hal itu dilakukan karena kedengkian mereka terhadap umat Islam dan sokongan dari Amerika Serikat dan sekutunya. Andai saja Israel itu tidak didukung oleh negara yang tidak memiliki ideologi, pasti mudah sekali dikalahkan. Namun faktanya, justru otak dari semua penjajahan ini adalah Inggris dan Amerika Serikat. 

Kerugian yang ditaksir akibat kebrutalan entitas Yahudi di Gaza juga tidak main-main. Mereka brutal mengebom masjid, sekolah, rumah sakit, dan kamp-kamp masyarakat di Gaza. Dikutip dari BBC (2 Desember 2023), analisis data satelit menunjukkan bahwa hampir 98.000 bangunan di seluruh Jalur Gaza telah mengalami kerusakan dan sebagian besar berpusat di utara. Tentara IDF begitu brutal melakukan genosida, maka tidak disebut sebagai konflik lagi, tetapi genosida warga Muslim di Gaza dan dunia diam. Justru negeri-negeri kafir berbondong-bondong mendukung entitas stunting Israel, seperti Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Jerman, dan sekutunya. 

Kedua, dampak politik yang dirasakan umat Muslim di Palestina adalah dukungan yang makin meluas terhadap mereka. Berbeda dengan Israel yang dikecam oleh banyak negara karena kebrutalan dan penjajahan yang mereka lakukan. Seharusnya ini juga menambah kesadaran pentingnya kaum Muslim bersatu menolong Muslim di Palestina, jangan biarkan mereka berjuang sendirian. Kasihan mereka.

Faktanya, banyak negeri-negeri Muslim tidak bisa berbuat apa-apa, karena mereka dikungkung sekat nasionalisme. Mereka mendukung kemerdekaan Palestina, tetapi hanya mengecam kebiadaban entitas Yahudi. Jadi, kebrutalan entitas Yahudi hanya disaksikan dengan mata mereka tanpa ada seruan mobilisasi militer untuk memerdekakan Palestina. 

Sebenarnya negeri-negeri Muslim bisa, tetapi tangan dan kaki mereka dikunci cengkeram Amerika Serikat, sehingga mereka lebih takut dengan Amerika daripada Allah SWT yang mewajibkan seluruh kaum Muslim menjaga kesucian bumi Syam dari entitas Yahudi. Inilah yang terjadi, mereka menjadi setan bisu melihat kebiadaban entitas Yahudi, di kala mereka bisa melawannya. 

Oleh karena itu, tidak ada solusi lain, kecuali umat Islam mengupayakan kembalinya institusi politik Khilafah Islamiah yang akan menolong dan memobilisasi militernya untuk membebaskan Palestina dari penjajahan entitas Yahudi ratusan tahun ini. Umat butuh dan wajib bersatu di bawah naungan Khilafah Islamiah.

Negeri-negeri yang berasaskan demokrasi bukannya membiarkan negeri Muslim bertindak tetapi hanya beretorika kosong di depan PBB. PBB yang katanya polisi perdamaian dunia, tidak lebih seperti polisi tidur yang tidak bisa berbuat apa-apa ketika terjadi penjajahan dan kezaliman terhadap umat Islam. Dia membatu, dicor oleh semen, dan tidak bisa dibangunkan bagaikan polisi tidur di jalanan.[]

Ika Mawarningtyas, Direktur Mutiara Umat Institute 

0 Komentar