Soal Kerusuhan Bitung, LBH Pelita Umat Menyayangkan Sikap Pemerintah, karena ...

MutiaraUmat.com -- Merespons kasus kerusuhan yang terjadi di Bitung, Ketua LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan, S.H., M.H. menyayangkan sikap pemerintah karena tidak tegas terhadap pelaku kerusuhan di Bitung, Sulawesi Utara yang menyebabkan satu orang meninggal dan dua orang luka-luka, ia pun menyimpulkan sepertinya konstitusi hanya berlaku pada umat Islam.

"Sepertinya konstitusi hanya berlaku pada umat Islam, ulama, itu kemudian yang dapat kita simpulkan, ungkapnya dalam Program Diskusi: Rusuh Bitung, Menguak Jaringan Zionis di Indonesia di YouTube Media Umat, Ahad (3/12/2023).

Pasalnya, ia menilai, seharusnya para pelaku langsung ditangkap, terlebih sudah jelas-jelas membawa senjata. Kalau hukum tidak tegak sebagaimama mestinya, maka akan muncul distrust pada masyarakat.

"Jadi, distrust itu pelanggaran, pembangkangan publik, makanya akhirnya ada yg bilang 'halah pancasialais! Hanya sekadar dijadikan slogan' dan seterusnya. 
Jadi orang akhirnya antipati sendiri dengan ini. Karena tidak sesuai dengan apa yang dilakukan dengan kemudian apa yg diucapkan," ungkapnya. 

Ia melihat, tragedi yang terjadi di Bitung akan menjadi berbahaya jika pemerintah tidak menindak tegas kelompok yang mengatasnamakan kelompok kesukuan tersebut.

"Kalau misalnya pemerintah tidak mengambil tindakan atau terkesan menekan kelompok keagamaan dan membiarkan kelompok kesukuan. Ini berbahaya, akhirnya khawatir menimbulkan konflik horizontal. Okelah sekarang terjadi perdamaian. Mudah-mudahan senantiasa damai terus terusan. Namun, kalau tidak diredam (tidak ditindak) organisasi itu khawatir di kemudian hari muncul kembali antara kelompok keagamaan dan kelompok kesukuan," tandasnya.

Distrust terhadap Konstitusi

Ia kembali menekankan, jika pemerintah tidak menindak dan membubarkan organisasi di Bitung yang sudah jelas melanggar pembukaan UUD 1945, maka jangan salahkan masyarakat yang kemudian distrust terhadap konstitusi.

"Jadi, jangan salahkan kalau konstitusi tergerus dengan sendirinya karena pemerintahnya tidak konsisten berkaitan dengan hal itu," ungkapnya. 

Menurutnya kalau pemerintah taat kepada konstitusinya, sudah sepatutnya kelompok yang  tidak sesuai UUD 1945 harus ditangkap dan dibubarkan.

"Sebagaimana pemerintah dulu pernah menuduh organisasi dakwah yang intelektual, yang tanpa kekerasan, damai seperti Hizbut Tahrir dan FPI. Organisasi dakwah ini dibubarkan dengan dalih tidak sesuai dengan konstitusi," mirisnya.

Ia juga mempertanyakan, kenapa pemerintah tidak berani menindak dan membubarkan organisasi yang sudah jelas bertentangan dengan konstitusi?

"Pertanyaan selanjutnya, apakah konstitusi masih sakral atau tidak? apakah konstitusi hanya berlaku pada organisasi dakwah Islam atau kepada tokoh-tokoh Islam? Itu kemudian yang menjadi pertanyaan kita," jelasnya.

Kelompok Pancasilais

Ia mengungkapkan, kelompok ini mengeklaim sebagai kelompok yang paling merasa pancasilais, paling merasa paling NKRI.

"Bahkan kadang-kadang kerja sama dengan pihak pemerintah, misalnya ganyang kelompok intoleran atau kelompok radikal. Jadi kelompok ini memang kalau kita cek bersembunyi dibalik tagline pancasilais dan NKRI harga mati," ungkapnya.

Ia melihat, tagline pancasila akhirnya runtuh oleh kelompok semacam ini yang justru mendapat dukungan dari pemerintah, kemudian masyarakat bisa menyimpulkan sendiri bahwa slogan pancasilais dimunculkan oleh kelompok kelompok yang melakukan tindakan anarkisme. 

"Ini akhirnya masyarakat mencoreng sendiri yang berkaitan dengan pancasilais, itu yang pertama. Kemudian yang kedua saya ingat betul pada tahun 2017 pemerintah sempat mengeluarkan tagline atau slogan negara tidak boleh kalah dengan organisasi preman. Slogan itu diluncurkan dan lebih spesifik preman berjubah. Jadi negara tidak boleh kalah dengan kelompok bahkan pemerintah dengan heroiknya membuat Perpu. Perpu itu isinya adalah di antaranya bagi kelompok ormas, LSM yang kemudian tindakannya misalnya anarkisme, mengambil alih tugas tugas penegak hukum, maka dia dipidana," jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan, faktanya kelompok di Bitung itu seolah mengambil tugas aparat penegak hukum, semestinya jika kelompok itu tidak setuju dengan kelompok pro Palestina bisa buat laporan ke Polisi, bukan malah mengambil alih tugas aparat.

"Kelompok ini merasa paling pancasilais, paling NKRI, sehingga kemudian berani menertibkan kelompok lain yang dituduh radikal dan intoleran. Nah ini mestinya kalau menggunakan slogan pemerintah 2017 dan Perpu no 2 tahun 2017 mestinya kelompok ini sudah dapat ditindak dan dibubarkan, mestinya begitu," pungkasnya. []Tenira

0 Komentar