Sisi Kelam PIK 2, Jurang Pemisah Hunian Kaum Elite dan Kaum Sulit


MutiaraUmat.com -- PIK 2 merupakan kota mandiri seluas 2.650 hektar di Utara Jakarta yang merupakan hasil kerja sama antara Agung Sedayu dan Salim Group. Hunian berupa apartemen ini dibangun dengan megah seraya menyajikan pelbagai fasilitas dan layanan. Tidak kurang 100 fasilitas tersedia di sini, mulai dari fasilitas rekreasi, kuliner, olahraga, pusat perbelanjaan, juga sedang dibangun pusat bisnis dan industri halal terbesar di Asia Tenggara. Beragam fasilitas yang disediakan bertujuan untuk memanjakan penghuni dan masih akan ditambah lagi dengan fasilitas-fasilitas lain.

Namun di balik kemegahan serta fasilitas yang ditawarkan, terdapat sisi kelam di sana. Pembangunan megaproyek PIK 2 telah menggusur beberapa desa di tiga kecamatan, yakni Teluknaga, Kosambi, dan Pakuhaji di Kabupaten Tangerang. Selain itu, semakin tampak jelas kesenjangan pembangunan yang terjadi antara PIK 2 dengan desa-desa di sekitarnya. 

Cukup menggunakan aplikasi Google Earth, kita bisa melihat perbedaan di wilayah tersebut. Pada satu sisi tampak deretan rumah warga, sementara di sisi lain berdiri megah bangunan PIK 2. Belum lagi di sekeliling desa yang tergusur dibangun tembok tinggi sebagai pembatas atau pemisah antara PIK 2 dengan pemukiman warga. Tembok tinggi ini seakan menegaskan harus ada pemisahan antara kaum elite dan kaum sulit.

Dampaknya sangat menyedihkan, ruang hidup rakyat di pedesaan makin terbatas dan bertambah sempit. Warga mengaku kehilangan akses jalan, sering mengalami banjir, bahkan kehilangan mata pencarian. Jalan yang seharusnya dilalui hanya dengan beberapa menit menjadi lebih lama karena harus memutar sebab ditutup tembok besar. Tembok tinggi ini menciptakan dua dunia yang berbeda, yakni kampung tergusur dan pemukiman elite. 

Makin hari kita menyaksikan sengketa tanah dan konflik lahan berulang terjadi antara warga dan pemerintah. Gusur-menggusur seolah menjadi hal biasa saat terlaksana proyek pembangunan hunian, kerja sama pemerintah dengan pihak swasta. Atas nama Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU), tanah rakyat dipaksa berpindah tangan menjadi proyek swasta. Akibatnya rakyat menjadi korban, pengusaha dapat keuntungan. 

Walau warga yang tergusur oleh pembangunan PIK 2 mendapat kompensasi berupa pemberian lahan, tetap saja telah terjadi penggusuran lahan warga di lapangan. Ironis sekali, aksi menggusur tanah warga ini dibenarkan oleh pemerintah setempat demi hunian mewah. 

Konflik pembangunan hunian dan penggusuran lahan ini semakin diperparah dengan adanya kriminalisasi masyarakat atau aktivis yang memperjuangkan lahan dan lingkungan dari dampak buruk pembangunan. Bahkan parahnya, aparat yang sepatutnya membela kepentingan rakyat malah berdiri membela pemilik kapital.

Kebijakan negara yang berdiri bersama oligarki ini telah menyengsarakan rakyat. Para oligarki yang menjelma menjadi pejabat negara bagaikan eksekutor yang merampas ruang hidup rakyat. Inilah demokrasi, kekuasaan diberi hanya untuk memuaskan kepentingan korporasi. Kekuasaan menjadi wadah bagi para oligarki untuk memuluskan jalan para pemilik modal mengeruk keuntungan. Seperti inikah model kepemimpinan yang hakiki?

Padahal, tugas pemimpin sesungguhnya melindungi dan menjamin kehidupan rakyat. Jika tugas pokok ini tidak terlaksana, bisa dikatakan pemimpin tersebut khianat kepada rakyat. Rasulullah ï·º bersabda, “Imam/kepala negara adalah pengurus rakyat. Dia akan diminta pertanggungjawaban tentang rakyatnya” (HR Bukhari).

Adapun makna ar-râ’i adalah al-hâfidz al-mu’taman (penjaga, pemelihara, wali, pelindung, pengawal, pengurus, dan pengasuh yang diberi amanah). Maka, penguasa atau pemimpin wajib mewujudkan kemaslahatan siapa saja yang berada di bawah kepemimpinannya. Kemaslahatan akan terwujud ketika pemimpin menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Dan amanah kepemimpinan tidak akan sempurna terlaksana tanpa pelaksanaan sistem Islam secara kaffah.

Namun, kapitalisme dengan perangkat demokrasinya sudah jelas tidak akan mewujudkan pemimpin amanah. Sistem ini justru melahirkan pemimpin khianat dan kebijakan zalim. Merampas tanah rakyat adalah kezaliman. Menghilangkan rumah tempat hidup mereka juga bagian dari kemungkaran. Maka, masalah ini mendesak untuk dihentikan, harus segera diganti dengan menerapkan sistem kepemimpinan Islam yang amanah, berkeadilan, dan menyejahterakan melalui tegaknya Khilafah sebagai perisai hakiki bagi umat. Wallahu a'lam. []


Oleh: Fatmah Ramadhani Ginting, S.K.M.
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

0 Komentar