Perpanjangan IUPK Freeport, Penguatan Pasak Penjajahan


MutiaraUmat.com -- Memperpanjang izin tambang untuk PT Freeport Indonesia (PTFI) selama 20 tahun sejak 2041 hingga 2061, sama artinya memperpanjang umur penjarahan kekayaan Bumi Pertiwi oleh penjajah asing. Sayangnya, alih-alih dibatalkan, sekalipun mendapat kritik dari berbagai kalangan, rencana perpanjangan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) PTFI terus menguat menuju lampu hijau. 
Hal itu tampak dari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) usai pertemuannya dengan Chairman Freeport McMoRan, Ricard Adkerson di Washington DC, Amerika Serikat pada 13 November 2023 yang menyebutkan, pembahasan mengenai perpanjangan izin tambang telah mencapai tahap akhir. 

Di tambah lagi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif juga mengatakan, saat ini pemerintah tengah melakukan proses revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (cnbcindonesia.com, 4/12/2023). Padahal, jika merujuk aturan tersebut, perpanjangan baru dapat diajukan paling cepat 5 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu kegiatan operasi produksi. 


Penjarah Emas Jadi Anak Emas

Perpanjangan diberikan pemerintah dengan alasan karena cadangan mineral di lokasi PTFI masih besar yang diprediksi sebesar 3 miliar ton, artinya cukup hingga 100 tahun lagi. Sekalipun menerabas aturan, pemerintah berdalih perpanjangan izin tambang akan memberi manfaat besar bagi negara. 

Dengan perpanjangan izin, pemerintah berharap PTFI akan membangun smelter baru di Fakfak, Papua. Smelter dinilai sangat penting untuk berjalannya program hilirisasi yang tengah digaungkan pemerintah. 

Selain itu, perpanjangan akan dibarter dengan kenaikan saham pemerintah sebesar 10%. Artinya, di tahun 2041 Indonesia akan menguasai 61% saham Freeport. Karena, pada 2018 Indonesia telah mengakuisisi 51,2% saham Freeport (sebelumnya 9,36%) melalui Holding BUMN Pertambangan MIND ID atau PT Inalum (Persero). Dengan begitu, pendapatan PTFI yang masuk ke negara pun diharapkan meningkat.

Padahal, tentu saja perpanjangan ini merugikan negara dan rakyat Indonesia. Karena, jika tidak diperpanjang, seluruh daerah pertambangan Freeport pada 2041 seharusnya menjadi milik Indonesia 100 persen. Bukan 61 persen. 

Ditambah lagi, kepemilikan 51,2% saham PTFI pun ralitasnya tidak memberi keuntungan signifikan bagi Indonesia. Mengutip infobanknews.com (20/11/2023), Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi mengatakan, pemegang saham mayoritas tidak otomatis menjadi pengendali operasional tambang Freeport. Menurutnya, berdasarkan perjanjian pada 2018, Freeport-McMoRan-lah yang mengelola dan mengontrol manajemen operasi Freeport.

Benar saja, di website resminya, pada 21 Desember 2018 (bertepatan dengan PT Inalum membayar lunas pembelian 51 persen saham PTFI senilai USD 3,85 miliar atau setara Rp55,8 triliun), Freeport mengklaim mendapat keuntungan sebesar 81,28 persen hingga 2022, jauh lebih besar dari yang diperoleh Indonesia (Kumparan.com, 30/3/2019).

Jelaslah bahwa untung Indonesia tidak ada apa-apanya, tidak sebanding dengan kerugian yang diderita. Tidak hanya kehilangan kekayaan tembaga, emas, perak, dan material lain karena dikuasai asing, rakyat Indonesia harus menanggung derita akibat kerusakan lingkungan. 
Wakil Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu menyebut, ketika Indonesia melalui PT Inalum menguasai saham PTFI sebesar 51,2%, maka tanggung jawab perbaikan lingkungan itu akan beralih ke Inalum (dpr.go.id, 20/4/2020).

Dengan begitu, perpanjangan IUPK tak ubahnya melanggengkan hegemoni perusahaan berbasis di Ameria Serikat (AS) itu atas negeri ini. Mirisnya, sekalipun beganti rezim, penguasa seakan tak berdaya menghadapinya. Penjarah emas ini terus saja menjadi anak emas.

Bukan kali ini anak perusahaan Freepoert-McMoran yang berdiri sejak 1967 itu mendapatkan perpanjangan izin untuk mengeruk kekayaan alam yang harusnya menjadi milik rakyat di lokasi Erstberg. Di awal berdiri, PTFI diberi izin operasi selama 30 tahun. Akan tetapi, kontrak yang mestinya berakhir 1997 diperpanjang di tahun 1991, setelah PTFI menemukan Grasberg yang potensinya lebih besar dari Erstberg, bahkan bisa menjadi tambang emas terbesar di dunia. 

Perpanjangan kontrak itu dengan ketentuan divestasi, yakni Freeport secara perlahan harus melepas sahamnya ke pemerintah Indonesia hingga mencapai 51% dan berakhir pada 2011. Akan tetapi, dalam kontrak karya (KK) disebutkan, jika ada peraturan perundangan baru yang mengatur berbeda maka yang diikuti adalah aturan yang berlaku. Tragisnya, Presiden Soeharto menerbitkan PP 20 Tahun 1994 yang menyatakan perusahaan asing bisa memiliki saham hingga 100%. Ketentuan divestasi itu pun gugur.

Kemudian, KK diubah menjadi IUPK di 2009 dengan harapan mampu menguatkan posisi Indonesia karena menekankan wajibnya divestasi. Meski lama, akhirnya Indonesia mengakuisisi 51,2% saham PTFI di tahun 2018. 
Hanya saja, realitasnya tidak serta merta membuat Indonesia untung besar. Konsekuensinya, pada 2018 PTFI mendapatkan perpanjangan izin pertambangan lagi hingga 2041 dengan ketentuan menaikkan royalti tambang menjadi 3,75% dari sebelumnya 1% dan membangun smelter. Padahal, mestinya berakhir di tahun 2021. 

Sekalipun perpanjangan tersebut mengikat PTFI untuk menaikkan royalti, tetapi Ekonom Rizal Ramli menilainya masih jauh dari negara lain yang membebankan kewajiban royalti 6-7 persen.
Tak cukup sampai di situ, lemahnya negara di hadapan swasta asing ini juga tampak dari terus mundurnya pembangunan smelter yang dijanjikan. Gaung hilirisasi seakan omong kosong di hadapan Freeport. Pembangunan smelter Gresik belum juga dirampungkan PTFI. 

Amanat UU nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba untuk menghentikan ekspor mineral mentah termasuk konsentrat tembaga setelah 10 Juni 2023 pun mandul. Freeport menjadi anak emas yang diizinkan mengekspor konsentrat tembaga (copper) sampai smelter yang dibangun mulai operasional pada 2024. 

Padahal, itu artinya, AS bisa lebih lama lagi mengangkut berbagai logam penting, sementara Indonesia hanya mendapatkan pajak dari transaksi tembaga. Di samping itu, yakinkah PTFI tidak akan ingkar janji, termasuk untuk membangun smelter baru di Fakfak, Papua? Akankah smelter yang dibangun adalah smelter pemurnian atau hanya smelter pembuang impuritas?


Tambang Adalah Milik Umat

Lebih dari 55 tahun PTFI ada, hampir semua kebijakan pemerintah atasnya tidak pernah menguntungkan Indonesia. Penguasaan PTFI atas tambang tembaga, emas, perak, dan mineral lainnya di Indonesia ini tidak terlepas dari hegemoni AS atas dunia sebagai adidaya pemenang perang. Dalam sejarahnya, tambang di Papua ini menjadi konsensus dukungan agar Irian (Papua) menjadi bagian wilayah Indonesia.
Karena itu, wajar saja AS dengan oligarki kapitalis global di belakangnya begitu kuat mencengkeram Indonesia lewat PTFI ini. Lewat sistem demokrasi yang ditanamkan AS, pada akhirnya tambang Freeport hanya menjadi alat politik.

Demokrasi yang berbiaya tinggi menjadi wasilah bagi AS memainkan Freeport untuk menyandera para politisi demi melanggengkan penjajahannya. Kasus 'Papa Minta Saham' yang sempat heboh pada 2015 menjadi bukti, menyibak kongkalikong perpanjangan kontrak PTFI. 

Karena itu, pertemuan Jokowi dengan Chairman Freeport McMoRan Washington November lalu dengan ‘oleh-oleh’ lampu hijau perpanjangan izin tambang PTFI di tahun politik ini, bisa diduga tak lepas dari upaya AS mencampuri pesta demokrasi mendatang demi mengunci kekuatan hegemoninya.

Kekalahan Indonseia dalam negosiasi sektor tambang ini menampakkan posisi Indonesia tak ubahnya negara yang terjajah kapitalis asing. Hal ini karena secara ideologi, dalam praktikknya negeri ini mengadopsi kapitalisme yang diusung Barat. Akibatnya, dalam sistem politik dan ekonomi pun Indonesia membebek Barat. 

Karena itu, belenggu penjajahan tidak akan sirna selama menerapkan sistem politik demokrasi. Hanya dengan sistem Islam (khilafah) negara akan mampu menghadapi hegemoni AS. Sebab, Khilafah akan menjadi kekuatan yang aple to aple melawan AS. Bahkan, Khilafah akan mengungguli karena berdiri di atas akhidah Islam, bukan sekularisme demokrasi sebagaimana negara kapitalis. 

Dengan landasan akidah Islam, khilafah akan menerapkan sistem ekonomi yang diajarkan Rasulullah saw. Sistem ekonomi Islam memiliki konsep tidak menyerahkan kekayaan (SDA) ke swasta sebagaimana sistem kapitalis. 

Sebab, syariat Islam memiliki konsep membagi kepemilikan dalam 3 kategori, milik individu, umum, dan negara. Dalam hal ini, tambang yang depositnya banyak adalah milik umum yang wajib dikelola negara (sebagai wakil rakyat), kemudian hasilnya untuk rakyat. Maka, haram diserahkan kepada swasta.

Rasulullah bersabda, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Konsep syariat Islam dalam pengelolaan tambang ini tidak akan bisa terlaksana selama sistem politiknya demokrasi. Sebab, perpanjangan izin PTFI, termasuk jelang Pemilu 2024, terbukti akan menyandera siapa pun yang akan memimpin Republik Indonesia. 

Karena itu, harus ada kemauan dan keberanian yang besar dari umat dan pemimpin untuk menerapkan sistem politik Islam. Selama sistem politik yang diterapkan tidak berasal dari Allah SWT (demokrasi), selamanya freeport akan arogan. Sementara, rakyat Indonesia tidak akan mendapat apa-apa, kecuali secuil, serta limbah dan kerusakan lingkungannya saja. []


Oleh: Saptaningtyas BFA
(Analis Mutiara Umat Institute)

0 Komentar