Menuju Zero Stunting Ala Kapitalisme Mungkinkah?

MutiaraUmat.com -- Masih menjadi PR besar bagi negeri ini untuk menyelesaikan kasus stunting. Meskipun stunting bukanlah satu-satunya masalah umat yang harus diselesaikan dengan tuntas. Akan tetapi, fenomena stunting kian meningkat di berbagai wilayah negeri. Dan tentu saja, peningkatan kasus stunting dipicu beberapa faktor. 

Seperti dilansir dari Berita satu.com, anggota Komisi IX DPR RI, Rahmad Handoyo, menyoroti penanganan stunting di Indonesia yang belum optimal. Ia pun meminta, agar pemerintah dapat melibatkan masyarakat untuk mendorong program stunting.

Rahmad  sendiri mengatakan, masyarakat perlu dilibatkan lantaran program stunting, seperti penyediaan makanan-makanan bergizi untuk anak di daerah-daerah kerap di bawah standar. Padahal katanya,  pemerintah telah menggelontorkan dana yang banyak untuk stunting.

Selanjutnya, Rahmad pun menyinggung program makanan tambahan untuk mencegah stunting salah satu daerah, yaitu Kota Depok, Jawa Barat yang sempat menjadi sorotan karena temuan makanan di bawah standar. Namun jika melihat kondisi fakta di lapangan, kondisi masyarakat yang mengalami stunting dan konsumsi makanan di bawah standar, bukanlah terdapat di kota Depok saja. Masih banyak wilayah-wilayah negeri ini mengalami kasus stunting yang genting. 

Angka Stunting di Beberapa Wilayah Indonesia

 Secara global statistik PBB 2020 mencatat, lebih dari 149 juta (22%) balita di seluruh dunia mengalami stunting. Sebanyak 6,3 juta merupakan anak usia dini, dan balita stunting adalah balita Indonesia. Jumlahnya mencapai 30%. (unicef.org/indonesia). 

Kemudian kasus stunting di kelompok usia 24-35 bulan mencapai 5,6%, usia 48-59 bulan 4,5%, dan 18-23 bulan 3,6%. Anak usia 12-17 bulan yang mengalami stunting sebesar 2,3%, usia 6-11 bulan 1,6%, dan usia 0-5 bulan 0,7.(paudpedia.kemdikbud.go.id). 

Dan jiika dilihat berdasarkan provinsi, angka stunting tertinggi berada di Sulawesi Barat (39,7), Nusa Tenggara Timur (NTT) yakni 35,3%, sementara Bali dinobatkan sebagai provinsi dengan angka stunting terendah yakni 8%. 
Sementara untuk Provinsi Papua, menempati angka tertinggi ketiga tingkat stunting se-Indonesia. Menurut Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Prof. Dr. Muhadjir Effendy, M.AP dalam paparannya pada acara Roadshow Percepatan Penurunan Stunting dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem di Kabupaten/Kota Provinsi Papua, yang dilansir dari www.bkkbn.go.id (23/03/2023), Puncak Jaya kemiskinan ekstrim 28,37%, stunting 42,5%; Kabupaten Puncak kemiskinan ekstrim 14,94%, stunting 42%; kemudian Asmat untuk kemiskinan ekstrim 4,81%, kemudian stunting masih 54,5%. 

Sebanyak 14 provinsi di Indonesia masih memiliki tingkat stunting di atas nasional (27,6 persen).  Meskipun dalam tataran data, dialami oleh di wilayah Indonesia Timur dengan angka tertinggi, hakikatnya tidak jauh berbedda dengan wilayah Indonesia Barat, seperti Sumatera Utara juga. Walapun memiliki banyak sumber daya alam dan termasuk provinsi terbesar keempat serta maju, tidak lepas dari kasus stunting. 

Fakta tersebut diamini oleh Sekretaris Utama (Sestama) Badan Kependudukan Keluarga Berencana (BKKBN) RI Tavip Agus Rayanto yang diberitakan oleh sumutprov.go.id, menyampaikan bahwa pihaknya mencatat ada 1.166.929 keluarga berisiko stunting di Sumatera Utara (Sumut). 

Tidak hanya itu,  Wakil Gubernur (Wagub) Sumut, Musa Rajekshah juga turut meminta seluruh pemerintah kabupaten/kota untuk meningkatkan peran dalam menurunkan angka stunting sesuai target 14% di tahun 2024 mendatang. 
Data-data tersebut menunjukkan, betapa tingginya angka stunting di negeri yang digelari gemah ripah lohji nawi ini. seharusnya, potensi alam yang dimiliki bangsa besar seperti Indonesia, tidaklah layak menanggung beban angka stunting yang kian hari kian genting. 
Kemudian pertanyaannya adalah, bagaimana bisa angka stunting begitu tinggi dan upaya seperti apa yang seharusnya diambil oleh penguasa agar mampu mengatasi kasus stunting?

Akar Masalah Stunting dan Solusi Tuntas dengan Syariat Islam

Sebelumnya, pemerintah sudah mencoba untuk mengambil langkah dalam penyelesaian tingginya angka stanting di Indoesia. Seperti mengajak memelihara ayam bagi setipa keluarga, hingga bekerjasama dengan asing. Walaupun konon ada penurunan angka stanting di beberapa daerah, akan tetapi seiring bersamaan dengan daerah lainnya, ada yang mengalami peningkatan. 
Idealnya, jika disebut ada penurunan tidak seharusnya ada lagi peningkatan di saat yang sama. Benar, pemerintah telah mengambil langkah seperti yang telah disebutkan. Bahkan, program ke depan dalam pencegahan peningkatan stunting juga telah dirancang. 

Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan, Kementerian PPN/BAPPENAS, dan Lembaga internasional UNICEF bekerjasama melahirkan program Indonesia Gizi Ibu, Indonesia Makanan Pendamping ASI, dan membuat langkah-langkah (kerangka aksi) dalam pencegahan angka stunting. 

Sebab, program tersebut dari hasil analisis data yang menyebutkan peningkatan angka stunting di usia balita yang jumlahnya jutaan, persoalan utamanya ada pada kondisi ibu yang kurang cukup asupan makanan bergizi saat mengandung. Sehingga bayi tidak mendapatkan ASI yang berkualitas, atau bahkan para ibu menyusui tidak mampu memberikan ASI karena tidak punya nilai gizi makanan. 

Jika dilihat dari program Aksi yang dicanangkan oleh pemerintah yang  bekerjasama dengan berbagail lembaga internasional termasuk UNICEF, yaitu meliputi sistem pangan, sistem air (sanitasi dan kebersihan), sistem kesehatan dan gizi, serta sistem perlindungan sosial. 
Sekilas Aksi tersebut sangatlah bagus dan saling mendukung. Karena dalam penyelesaian stunting tentu tidak cukup hanya dengan berfikir memberikan gizi berkecukupan bagi ibu, tetapi bagaimana agar asupan gizi bisa diperoleh secara mudah, murah, dan merata bagi seluruh ibu. Karena penyelesaian stunting tentu tidak boleh hanya fokus pada penderita saja, melainkan juga harus ada pencegahan ke masa depan agar tidak terulang kembali. 

Rancangan aksi menanangi stunting yang diajukan oleh Lembaga-lembaga dunia mulai dari sistem pangan, memang telah menjadi persoalan yang besar. Khususnya di negeri ini, ketahanan pangan yang dibangun bukanlah menjadikan Indonesia sebagai negara yang mampu jadi swasembada beras dan bebas impor. Justur sebaliknya, pangan yang utamanya adalah beras malah jadi bahan impor. 

Padahal Indonesia sendiri sering mengalami surplus panen padi. Lalu ke mana hasil panen surplus tersebut? Bukankah seharusnya dengan potensi pangan yang dimiliki, mampu memenuhi kebutuhan pangan (pen. beras)? Ironis, fakta bicara sebaliknya. Beras surplus, kelaparan banyak dialami warga, impor terus ditambah. 
Selanjutnya makanan pendamping gizi lainnya seperti telur, susu, buah, dan sayuran juga terus mengalami peningkatan harga. Susu pabrikan juga mahal. Sementara untuk membeli beras saja, warga sudah susah. Bagaimana mungkin dibebankan beli susu lagi? Jika ibu tidak punya asupan gizi yang bagus, tentu berpengaruh terhadap kualiast ASI. Dan jika harus ditambah dengan membeli susu bagi bayi, uang darimana harus ditambahkan lagi?

Begitupun dengan buah-buahan. Semua sudah seperti barang lux yang sangat sulit dijangkau oleh masyarakat. Harga terus melambung, penghasilan tidak menentu. Problematika air bersih dan sanitasi juga masih banyak dialami di berbagai daerah. Padahal, dengan potensi wilayah Indonesia yang perairannya lebih luas dari daratanya, tentu tidak perlu mengalami persolan ini, karena teknologi pengairan sudah sangat canggih. Pemerintah bisa saja menngeluarkan dana untuk mengatasi kurangnya akses air bersih di berbagai daerah, khususnya di pelosok.

Kesulitan akses pada umumnya disebabkan ketiadaan alat untuk memudahkannya. Haruskah investor asing juga turun tangan dalam menangani air bersih di negeri ini? Bukankah air merupakan salah satu sumber kehidupan bagi manusia? Tentu saja sangat berdampak terhadap kesehatan dan asupan gizi jika konsumsi air tidak layak minum. Penyakit juga rentan hadir di daerah yang memiliki masalah sanitasi air, seperti diare, gatal-gatal, juga dehidrasi. 

Kemudian bicara tentang perlindungan sosial adalah salah satu problem yang belum terselesaikan oleh pemerintah. Sebab, kaum ibu atau perempuan dalam kehidupan sosial yang dibangun dalam tatanan sekulerisme-kapitalis, ramah kekerasan dan kejahatan. Seperti pelecehan maupun penelantaran.

 Ketika kaum ibu mentalnya dirusak oleh lingkungan, negara tidak hadir untuk menyembuhkannya, malah membiarkannya sendiri. Misalnya kehadiran bayi yang tak diinginkan akibat pergaulan bebas, negara malah menyodorkan tawaran aborsi. Jika bayi tersebut mati, mungkin persoalan selesai. Tetapi jika hidup, akan jadi beban si ibu, keluarga, serta negara. Bukan diurusi dan memberikan jaminan kehidupan yang layak. 

Oleh karena itu, rancangan penyelesain dan pencegahan stunting yang kian genting di negeri ini dengan program-program pemerintah atau Lembaga-lembaga dunia, hakikatnya tidak semua salah. Hanya saja, banyak yang lupa pada konteks kehidupan yang mereka bangun. Hatta menggelontorkan dana miliaran atau tiriliunan rupiah, jika tidak menyentuh akar masalah dan dilaksanakan oleh orang-orang yang amanah, hasilnya jauh dari ekspektasia. Sebab akar perosoalan utama pada kasus stunting bukanlah kekuarangan gizi atau ketiadaan dana, melainkan ketidakmampuan negara dalam mengurusi rakyatntya dengan benar. Sehingga rakyat mengalami kesulitan hidup yang bertubi-tubi. Kemiskinan akibat kurangnya lapangan kerja, ditambah mahalnya akses pendidikan dan kesehatan, diperparah dengan terus melambungnya harga-harga kebutuhan pokok, menjadi faktor-faktor penyebab munculnya stunting. 

Kemiskinan jelas tidak bisa dilepaskan dari faktor penyebab stunting. Tetapi jangan lupa, kemiskinan yang melanda rakyat bukanlah kemiskinan alami, melainkan kemiskinan yang didesign (tersistem). Sehingga, jika ingin menyelesaikan kasus stunting, harusnya menyelesaikan persoalan kemiskinan dahulu, kemudian memperbaiki item-item lagi seperti sistem pangan. 

Islam mengajarkan kepada seorang pemimpin negara untuk menjadi pengurus dan pemakmur bumi. Artinya, menjadikan bumi dan seluruh penghuninya hidup makmur dengan segala potensi alam yang telah dilimpahkan. Kekayaan alam yang terkandung di perut bumi pertiwi, seharusnya menjadikan warga negara tidak ada yang layak mengalami stunting. Namun, karena penerapan kapitalisme yang menjajah dan menjarah, menimbulkan kerusakan sosial dan struktural sehingga berdampak satu sama lain.
Jika terkait pengaturan pangan dalam Islam, maka diserahkan sepenuhnya dikelolola oleh negara.  Kehadiran negara dalam hal pangan adalah untuk menjamin atau memastikan tersalurkannya kebutuhan pokok yang berkulitas bagi rakyatnya.

 Negara juga harus memastikan agar rakyat mendapatkan kebutuhan pangan dengan cara yang mudah serta murah. Tidak bergantung pada impor, tetapi memaksimalkan hasil dalam negeri. Kecuali sudah tidak ada sama sekali. Kebutuhan pokok seperti pangan sandang, papan, kemanan, pendidikan, dan kesehatan wajib dipenuhi oleh negara. 

Begitu juga dengan perlindungan sosial yang sejatinya diciptakan oleh negara melalui kebijakan yang melindungi dan mencegah kejahatan-kejahatan terhadap kaum perempuan dan ibu. Tentu bukan hanya menerapkan hukuman yang tegas terhadap pelaku kejahatan, tetapi juga membuat benteng pencegahan. Misalnya memberlakukan aturan Islam secara menyeluruh dalam tata pergaulan sosial, dan menolak hadirnya pemikiran-pemikiran asing yang merusak tatanan sosial melalui lembaga pendidikan. 
Dengan demikian, penerapan sistem Islam secara totalitas (kafah) adalah jawaban tuntas untuk mengatasi kasus stunting. Karena penyelesaian stunting harus melibatkan  persoalan yang sistemik bukan hanya satu faktor semata. 
Allahu a’alam bissawab.

Oleh: Nahdoh Fikriyyah Islam
Analis Mutiara Umat Institute

0 Komentar