Mengurai Konflik Alih Guna Lahan Sawit di Kalsel

MutiaraUmat.com -- Walhi Kalimantan Selatan dalam diskusi publik yang diselenggarakan di Banjarbaru, 9 Desember 2023 menyampaikan setidaknya ada tiga kasus konflik sumber daya alam dan lingkungan di Kalsel. Di antaranya kasus longsornya Kilometer 171, kasus banjir di Kecamatan Jejangkit dengan perusahaan sawit, dan kasus sengketa lahan tambang batubara yang mengakibatkan satu orang warga terbunuh.

Kondisi tersebut dikatakan memperlihatkan kekuasaan korporasi seperti setara dengan negara. Sebab upaya hukum yang dilakukan terlihat tidak signifikan dan sangat tumpul. “Kita seperti tidak benar-benar bernegara, padahal kita ini bukan negara kesatuan republik investor tetapi negara kesatuan republik Indonesia” tegas Kisworo Dwi Cahyono Direktur Eksekutif Walhi Kalsel. (walhikalsel.or.id)

Seringkali tidak setujunya warga dibalas perusahaan dengan penggusuran lahan dan teror dari oknum aparat penegak hukum dan preman. Padahal tanah adalah aset sekaligus sumber nafkah warga Mekarpura dan warga desa lain di Kotabaru. Apabila itu direbut secara zalim, akan timbul kemiskinan struktural secara turun-temurun.

Berdasarkan jurnal.kpk.go.id, kontribusi  sektor   kehutanan, perkebunan sawit, pertambangan,dan perikanan terhadap Pendapatan Domestik Bruto  tidak  sebanding   dengan   nilai penerimaan   negara,   baik   pajak   maupun Penerimaan  Negara  Bukan  Pajak (PNBP). Lantas, mengapa harus memaksakan alih guna lahan milik masyarakat untuk sektor yang tidak memberi sumbangsih besar untuk negara maupun kesejahteraan masyarakat setempat?

Kerakusan Biang Konflik Alih Guna Lahan untuk Perkebunan Sawit

Produksi minyak sawit telah meningkat pesat selama 50 tahun terakhir. Pada tahun 1970, dunia hanya memproduksi 2 juta ton. Minyak sawit ditanam dalam jumlah kecil di banyak negara, namun pasar global hanya didominasi oleh dua negara: Indonesia dan Malaysia. 

Pada tahun 2020, dunia memproduksi 72 juta ton kelapa sawit. Indonesia menyumbang 57% dari jumlah tersebut (44,76 juta ton), dan Malaysia memproduksi 27% (20 juta ton). 84% produksi minyak sawit global berasal dari Indonesia dan Malaysia.

Meningkatnya produksi sawit, mengikuti peningkatan pesat permintaan minyak nabati secara lebih luas. Minyak sawit adalah produk serbaguna yang digunakan dalam berbagai produk di seluruh dunia seperti makanan (68%) mulai dari margarin hingga coklat, pizza, roti dan minyak goring. Selain itu, aplikasi industri (27% ) seperti sabun, deterjen, kosmetik dan bahan pembersih serta bioenergi (5%) seperti biofuel untuk transportasi, listrik atau panas.

Sejak tahun 1980, jumlah lahan yang digunakan dunia untuk menanam kelapa sawit meningkat lebih dari empat kali lipat, dari 4 juta menjadi 19 juta hektar pada tahun 2018. Indonesia dan Malaysia menyumbang 63% dari penggunaan lahan global untuk kelapa sawit. 

Di dalam sistem ekonomi kapitalis, kelangkaan dikatakan sebagai pokok masalah ekonomi. Sehingga, ketika permintaan akan minyak kelapa sawit meningkat, mereka mendorong produksi sebanyak-banyaknya. Daratan eropa yang beriklim dingin tidak cocok untuk menanam kelapa sawit sehingga mereka memenuhi kebutuhan minyak kelapa sawit dari sini.

Padahal, jika saja manusia memahami, Allah SWT telah menghamparkan kekayaan dimuka bumi pasti cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia tanpa harus merusak alam, melakukan deforestasi apalagi merampas lahan milik masyarakat. 

Disinilah letak masalah konflik agraria yang kerap terjadi di Kalimantan Selatan. Alih guna lahan pertanian masyarakat  menjadi perkebunan kelapa sawit ditujukan untuk memenuhi kebutuhan minyak kelapa sawit dunia. Sementara, pengusaha yang berorientasi untung telah berafiliasi dan dekat dengan lingkar politik penguasa yang memuluskan regulasi bagi langgengnya perusahaan mereka.

Kombinasi inilah yang memperpanjang derita warga, termasuk perempuan dan generasi diwilayah Kalimantan Selatan yang terdampak langsung dari keberadaan perkebunan sawit. Praktik politik oligarki di daerah telah memproduksi pelaku politik yang haus kekuasaan, dan oleh sebab itu akan menyedot kekayaan alam di daerah guna membangun imperium bisnis bagi kelompoknya. Skenario akan semakin buruk ketika elite politik dan penguasa dikendalikan oleh mafia atau kekuatan yang menjadi sumber atau asal-usul kapital mereka.

Sehingga benar sabda Rasulullah SAW bahwa kerusakan akibat dua serigala lapar yang dilepas di tengah kerumunan kambing, tidaklah lebih besar dibandingkan kerusakan terhadap agama akibat ketamakan manusia untuk meraih dunia dan kedudukan. (HR. Ahmad 15784, Turmudzi 2376, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Sederhana Ala Islam Solusi Konflik Agraria

Allah SWT mengatakan bahwa seandainya para penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, maka akan Allah limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan ayat-ayat itu, maka Allah pun menjatuhkan siksaan yang disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri (QS. Al-A’raf: 96). 

Maka dari itu, kerakusan dan ketamakan khas sistem ekonomi kapitalisme yang terus menerus melakukan eksploitasi alam  untuk memenuhi keinginan (hawa nafsu) mereka telah menimbulkan kerusakan dan kemudaratan bagi manusia.

Solusinya hanya satu. Menempatkan kedudukan keinginan dan kebutuhan sesuai tuntunan syariat Islam. Ketika manusia hidup sederhana dan melakukan konsumsi barang dan jasa dengan tujuan melanjutkan hidup dalam rangka beribadah kepada Allah SWT, konflik dan perampasan lahan milik masyarakat untuk perkebunan sawit tidak akan terjadi.

Selain itu, Islam juga menempatkan distribusi sebagai masalah ekonomi yang harus diurai agar kesejahteraan dapat dinikmati individu per individu di masyarakat. Bukan mengejar produksi, karena hakikatnya Allah SWT sudah menciptakan bumi beserta isinya pasti mencukupi seluruh kebutuhan makhluknya.

Oleh: Nur Annisa Dewi, S.E.,M.Ak.
Aktivis Muslimah

0 Komentar