Komitmen Nol Emisi Karbon Indonesia 2060 vs. Realita


MutiaraUmat.com -- Dunia saat ini dihadapkan dengan berbagai problematika lingkungan karena banyaknya dampak yang dihasilkan dari pembangunan yang terus berkelanjutan.

Untuk itu, Presiden Joko Widodo menegaskan komitmen Indonesia dalam membangun negara makmur dan berkelanjutan dengan perekonomian inklusif. Untuk mencapai hal tersebut presiden menyatakan akan terus bekerja keras dalam mencapai nol emisi karbon sebelum tahun 2060.

Pak presiden juga menyampaikan bahwa komitmen Indonesia dalam memperbaiki pengelolaan forest and other land use (FOLU) serta mempercepat transisi energi menuju energi terbarukan. Disebutkan bahwa Indonesia telah berhasil menurunkan angka deforestasi pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir, hal ini dilakukan dengan melakukan pembangunan persemaian dengan kapasitas sekitar 75 juta bibit per tahun yang disebutkan telah efektif beroperasi.

Untuk mewujudkan komitmen nol emisi karbon 2060 tersebut, presiden pun mengundang sejumlah pihak untuk bekerjasama dalam mitra bilateral investasi swasta Filantropi dan negara sahabat untuk menjalin kolaborasi pendanaan dalam mewujudkan komitmen tersebut.

Namun disisi lain presiden RI juga menyayangkan keraguan sejumlah pihak di Eropa terhadap komitmen Indonesia dalam menjaga kelestarian hutan dan lingkungan hidup (Kompas.com, 2/12/2023).

Komitmen Vs Realita

Setiap pemimpin pasti memiliki impian tersendiri untuk kebaikan negaranya namun pada faktanya dalam sistem kapitalisme sekuler saat ini yang memisahkan antara aturan agama dari kehidupan menunjukkan bahwa upaya dalam melakukan perbaikan itu bertolak belakang dari fakta yang ada. 

Di Indonesia sendiri, luas deforestasi dari tahun 2000-2020 mencapai 106,2 juta hektar.
Tentunya, deforestasi sebanyak ini menunjukkan sangat jauh panggang dari api (PalmoilaAsia, 9/8/2023).

Sebelumnya, Indonesia tergabung dalam Komitmen untuk menurunkan emisi 29% atau 41% dengan bantuan asing sampai tahun 2030. Namun Perluasan perkebunan kelapa sawit tidak sejalan dengan komitmen tersebut. 

Presiden telah menandatangani kebijakan moratorium izin sawit selama tiga tahun, namun moratorium hanya berlaku pada kawasan hutan di bawah HLHK. Saat ini, deforestasi membuang emisi gas. Green Peace Internasional pun melakukan investigasi yang mengungkapkan terdapat 25 produsen minyak sawit yang menggunduli 130.000 hektar hutan sejak tahun 2015.

Laporan ini dibarengi dengan adanya deforestasi ilegal, pembangunan tanpa izin, pembangunan sawit tanpa izin dan pengembangan perkebunan di daerah daerah yang dilindungi dan kasus kebakaran terkait penggundulan hutan. Tentu hal ini hanya menguntungkan perusahaan sawit tanpa komitmen yang kuat terhadap lingkungan sehingga dapat berdampak pada keseimbangan ekosistem (Egsa.geo.ugm.ac.id).

Pemanasan Global Dampak dari Penerapan Sistem Kapitalis

Pemanasan global yang terjadi saat ini tentu berkaitan dengan ulah tangan manusia. Antara lain adalah:

Pertama, efek gas rumah kaca, deforestasi, dan limbah Industri.
Efek gas rumah kaca banyak disebabkan dari pembakaran bahan bakar fosil salah satunya adalah batubara. Penggunaan batubara saat ini sangat meningkat, hal ini sejalan dengan menjamurnya smelter nikel yang beroperasi. Pabrik smelter nikel ini harus didukung oleh suplai listrik yang besar, di mana bahan bakarnya bersumber dari batubara yang melepaskan karbon dioksisa ke atmosfir.

Efek rumah kaca juga disebabkan banyaknya kendaraan yang menimbulkan polusi. Karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfir mendorong pemanasan global.

Kedua, Deforestasi. Deforestasi didefinisikan sebagai perubahan tutupan suatu wilayah dari berhutan menjadi tidak berhutan alias perubahan secara permanen areal hutan menjadi tidak berhutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia.

Demi meningkatkan perekonomian, penguasa terus mengizinkan penebangan hutan yang dilakukan oleh para pengusaha dibidang pertambangan, smelter nikel dan kelapa sawit.

Nikel dan kelapa sawit menjadi komoditas andalan Indonesia ini ternyata memiliki dampak pada deforestasi lahan. Dari penelitian Auriga disebutkan sebanyak 24.811 ha deforestasi karena tanbang nikel dari tahun 2000 hingga 2022.

Pembakaran lahan pada saat deforestasi juga menyebabkan emisi karbon yang berakibat meningkatnya Intensitas efek gas rumah kaca pada atmosfer hal ini membuat panas matahari terperangkap di bumi sehingga kondisi mengalami pemanasan secara global global hal ini jika terus terjadi maka akan mengakibatkan perubahan iklim.

Ketiga, Limbah Industri. Pemanasan global disinyalir awalnya terjadi di sebabkan banyaknya limbah industri. Sejumlah studi mengungkap pemanasan global dimulai pada masa revolusi industri pertama yakni sekitar pertengahan abad ke 19. Industri kertas dan plastik menjadi penyumbang limbah industri terbesar yang mendorong terjadinya global warming. Beberapa industri yang terlibat dalam produksi pupuk, semen, penambangan batu bara, dan ekstraksi minyak juga menghasilkan gas rumah kaca yang berbahaya.

Dalam sistem kapitalisme yang bertujuan untuk mencari untung sebesar-besarnya, memang sangat mustahil untuk terus menjaga kelestarian lingkungan, sebab biaya untuk mengolah limbah sangat mahal, juga demi efisiensi biaya produksi sehingga menggunakan bahan baku yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan batubara di hampir seluruh pembangkit listrik perusahaan smelter nikel. 

Sistem Islam

Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin, membawa rahmat bagi seluruh alam, Islam tidak hanya mengatur perihal ibadah saja melainkan juga mengatur bagaimana seharusnya sikap manusia terhadap alam semesta.

Allah berfirman dalam surah Al-A’raf ayat 56 yang artinya;

“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepadanya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat Kepada orang orang yang berbuat baik.”

Sistem Islam membentuk kepribadian seorang muslim untuk berperilaku seimbang, tidak serakah terhadap harta dan memiliki batas-batas tertentu dalam perbuatannya sesuai aturan syara. Sehingga dalam daulah Islam, pembangunan industri akan memperhatikan aspek lingkungan demi keberlanjutan hidup manusia secara aman.

Daulah Islam juga bersifat independen, yang mengelola sumber daya alamnya sendiri, sehingga tentu memiliki kontrol tersendiri pada industri yang sedang berkembang, bukan seperti pada industri yang dibangun atas dasar investasi swasta atau asing, yang pengelolaannya diserahkan ke pihak swasta atau asing yang memiliki kepentingan sendiri mencari keuntungan sebesar-besarnya. Sebab merasa bahwa, bukan tanggungjawabnya secara langsung untuk menjaga kelestarian di negeri tempat mereka membangun industri-industri. Wallahu'alam bishshowwab.[]

Oleh: Ira Rahmatia
(Aktivis Dakwah Nisa Morowali)

0 Komentar