Kekerasan Seksual pada Anak Berpengaruh terhadap Kesehatan Mental, Perlu Solusi Fundamental


MutiaraUmat.com -- Fakta Kekerasan Seksual terhadap Anak

Ibarat pagar makan tanaman, demikianlah gambaran kekerasan seksual pada anak yang saat ini kasusnya makin meningkat dan pelakunya berasal dari keluarga sendiri. Bagaimana tidak, sosok yang seharusnya menjadi penjaga dan pelindung bagi anak, justru menjadi pelaku yang merusak anak tersebut. Di tahun 2023, terungkap kasus salah seorang remaja di Tanjung Redeb jadi pemuas nafsu pria yang tinggal di rumah korban dan bapak tirinya berkali-kali (https://kaltimtoday.co/kekerasan-seksual-anak-masih-terjadi-feri-kombong-pelaku-harus-dihukum-seberat-beratnya). 

Berdasarkan data kesehatan dari Rape, Abuse & Incest National Network, mayoritas pelaku kekerasan seksual pada anak adalah orang yang dikenal atau bahkan keluarga. Sebanyak 93 persen korban di bawah usia 18 tahun mengenal pelaku. Kebanyakan orang terdekat ini adalah mereka yang memiliki hubungan dengan anak, termasuk kakak kelas, teman bermain, anggota keluarga, guru, pelatih/instruktur, pengasuh, atau orang tua dari anak lain. (https://dp3appkb.bantulkab.go.id/news/waspada-ini-7-bentuk-kekerasan-seksual-pada-anak). Ketua Komisi I DPRD Berau, Feri Kombong menyatakan saat ini hampir tidak ada tempat yang membuat anak di bawah umur benar-benar aman (https://kaltimtoday.co/kekerasan-seksual-anak-masih-terjadi-feri-kombong-pelaku-harus-dihukum-seberat-beratnya). 

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen-PPPA) menyatakan Indonesia darurat kekerasan seksual terhadap anak. Berdasarkan catatan Kemen-PPPA, kasus kekerasan seksual terhadap anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Jumlah itu mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus. Untuk tahun 2023, juga menurut data Kemen-PPPA, dalam periode 1 Januari-27 September 2023 kasus kekerasan seksual pada anak tercatat sebanyak 8.585 kasus. Sementara itu di Kaltim menurut Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DKP3A) sampai dengan Maret 2023 terdapat 48 kasus kekerasan seksual yang meliputi korban perempuan dan anak. Sementara di Berau sendiri sepanjang tahun 2022 yang ditangani Polres Berau 37 kasus kekerasan seksual, sedangkan untuk tahun 2023 dari Januari sampai Juni 16 kasus kekerasan seksual. Dari data tersebut sebagian besar kasus kekerasan seksual terjadi di dalam keluarga atau kehidupan rumah tangga. 

Menurut keterangan dr.Melanny Widjaja,Sp.KJ, psikiater yang saat ini bertugas di RSUD Abdul Rivai Kabupaten Berau, kasus kekerasan seksual pada anak di Kabupaten Berau semakin meningkat. Kasus kekerasan seksual pada anak yang berdampak pada mental dan datang ke tempat praktek beliau untuk mendapatkan penanganan mental secara medis rata-rata di atas 5 kasus dalam 1 bulan. (Sumber: data primer. Hasil wawancara dengan dr. Melanny, Sp.KJ di rumah beliau tanggal 12 November 2023 dan semua pernyataan beliau dalam tulisan ini sudah mendapatkan persetujuan dari beliau).

Bentuk kekerasan seksual pada anak adalah segala tindakan yang mencakup pelecehan dan kekerasan pada anak di bawah umur. Ada 7 bentuk kekerasan seksual yang mungkin bisa terjadi pada anak, yaitu: (1) eksibisionisme atau mengekspos alat kelamin sendiri kepada anak di bawah umur; (2) melakukan kontak fisik, seperti memegang atau menyentuh; (3) melakukan hubungan intim ke anak; (4) masturbasi di hadapan anak di bawah umur atau memaksa anak di bawah umur untuk masturbasi; (5) percakapan cabul, panggilan telepon, pesan teks, atau interaksi digital lainnya; (6) memproduksi, memiliki, atau membagikan gambar atau film porno anak-anak dan (7) perdagangan seks.
Bentuk kekerasan seksual pada anak biasanya bersifat intimidatif. Seringkali pelaku menggunakan posisi kekuasaannya untuk memaksa ataupun mengintimidasi anak. Pelaku akan mengatakan kalau aktivitas tersebut adalah sesuatu yang normal dan anak menikmatinya. Pelaku kekerasan seksual juga seringkali mengancam anak, sehingga anak memendam perlakuan tersebut karena berada di bawah ancaman.

Menurut keterangan dan catatan dari dr.Melanny, Sp.KJ, kekerasan seksual pada anak bisa berdampak terhadap fisik dan mental. Dampak terhadap fisik berupa tertular Penyakit Menular Seksual (PMS) dan dampak terhadap mental terbagi menjadi 2, yaitu: (1) Efek Jangka Pendek bisa berupa depresi, kemurungan, gangguan emosional, menyendiri dan kegelisahan; (2) Efek Jangka Panjang bisa berupa gangguan disfungsi seksual, penyimpangan seksual, depresi hebat, kecemasan yang tidak terkendali, ketakutan, kecurigaan berlebih, agresivitas, antisosial, melakukan kekerasan seksual karena ingin balas dendam sampai pada keinginan suicide (bunuh diri).

dr.Melanny W.,Sp.KJ juga menyebutkan salah satu contoh kasus yang ditangani oleh beliau sebagai dampak gangguan mental anak akibat kasus kekerasan seksual yang menimpa anak tersebut adalah Skizofrenia Katatonik, dimana pasien bergerak menjauh kemudian mematung ketika berhadapan dengan laki-laki. Ini hanya salah satu contoh kasus dan masih banyak lagi kasus-kasus gangguan mental yang lain akibat dari kekerasan seksual pada anak yang terjadi di Kabupaten Berau.


Negara Tidak Mampu Memberantas Akar Masalah

Melihat perjalanan upaya pemberantasan kekerasan seksual melalui UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual) yang disahkan sejak 12 April 2022 hingga kini, UU ini tampak belum memberi dampak berarti terhadap tindak kekerasan seksual. UU ini tidak menyentuh akar masalah tentang kenapa kekerasan seksual terus terjadi dan semakin meningkat. UU ini dibuat untuk memberikan sanksi kepada pelaku kekerasan seksual, namun ternyata tidak mampu membuat pelaku takut atau jera untuk menjalankan aksinya. Sebagaimana yang disebutkan Ketua Komisi I DPRD Berau Feri Kombong, kasus kekerasan seksual pada anak di bawah umur hampir terjadi setiap tahun, ini artinya para pelaku seperti abai dan meremehkan hukuman yang ada. 

Belum lagi ditambah dengan masalah keengganan dari pihak korban untuk melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpanya, menambah panjang daftar masalah kekerasan seksual pada anak yang mungkin kasusnya jauh lebih banyak dibandingkan yang dilaporkan seperti fenomena gunung es. 

Berdasarkan catatan dr. Melanny W.,Sp.KJ, banyak korban kekerasan seksual terutama anak usia 12 tahun ke atas, memilih menyimpan sendiri kasus yang menimpanya karena merasa bersalah, malu, kotor atau takut mempermalukan diri dalam lingkup sosial serta adanya ancaman kehilangan harga diri, sehingga korban cenderung menutupi dan berusaha melupakan. Keengganan anak menceritakan atau melaporkan kasus kekerasan seksual yang menimpanya juga disebabkan oleh adanya ancaman fisik serta kekhawatiran terjadi pembalasan pada keluarga korban. Alhasil pelaku kekerasan seksual semakin menjadi-jadi menjalankan aksinya tanpa khawatir terjerat hukum. 

Akar masalah dari persoalan kekerasan seksual yang terus meningkat adalah diterapkannya paham Sekularisme dalam seluruh aspek kehidupan dan tidak diterapkannya syariat Islam secara kaffah. Sekularisme merupakan landasan dasar dari Kapitalisme (ideologi yang dianut oleh negara adidaya saat ini) dan terus berupaya disebarkan ke negeri-negeri lain agar diikuti dan dijadikan panutan. Sekularisme adalah paham yang memisahkan antara agama dengan seluruh aspek dalam kehidupan. Agama hanya dianggap sebagai ritual yang berhubungan dengan Tuhan dan tidak dibenarkan aturan agama masuk untuk mengatur kehidupan selain hanya untuk ibadah yang berhubungan dengan Tuhan. Alhasil, kekacauan dalam seluruh aspek kehidupan mulai terjadi. Miskonsepsi pendidikan, ketidak pahaman terhadap batas-batas pergaulan, kerapuhan keluarga akibat ketidakpahaman tentang tatanan keluarga yang diajarkan Rasulullah Saw, hukum yang tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku serta tidak memberikan perlindungan kepada korban dan abainya negara dalam memberikan penjagaan terhadap aqidah serta perlindungan terhadap rakyatnya.   

Terkait miskonsepsi tentang pendidikan di tengah masyarakat, pendidikan saat ini hanya dipandang sebatas proses formal di lembaga pendidikan untuk transfer ilmu, namun nihil pemahaman agama dan keterikatan terhadap aturan Allah SWT sebagai Pencipta dan Pembuat aturan manusia. Alhasil terbentuklah pribadi-pribadi yang menjunjung tinggi ide-ide kebebasan seperti Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kebebasan berperilaku tanpa memperhatikan keterikatan terhadap aturan dan hukum Allah SWT. Sebagai gambaran tentang rusaknya ide HAM ini, perzinahan akan dianggap sah-sah saja dilakukan, bukan suatu tindakan kriminal selama pelakunya melakukan perzinahan tersebut atas dasar suka sama suka, tanpa paksaan dan dianggap sebagai hak asasi bagi pelakunya. Lihatlah dampak dari ide HAM tersebut, perzinahan merajalela di mana-mana. 
Miskonsepsi tentang sosial pergaulan, dimana sudah menjadi pemakluman bahwa campur baur tanpa batas antara laki-laki dan perempuan adalah suatu hal yang biasa dan lumrah dilakukan. Antara laki-laki dan perempuan bebas bersama dan berinteraksi tanpa memperhatikan batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah SWT sebagai Pembuat aturan. Kerapuhan keluarga juga menjadi sebab maraknya kasus kekerasan seksual, dimana peran ayah sebagai pendidik istri dan anak serta bertanggungjawab penuh terhadap keluarganya dan peran ibu sebagai pendidik pertama dan utama dalam pembentukan aqidah telah tercerabut dari akarnya sebagai dampak dari penerapan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Sekularisme telah gagal memberikan solusi atas maraknya kasus kekerasan seksual, sekalipun UU-nya sudah dibuat oleh manusia dengan melalui proses panjang dan menguras dana yang tidak sedikit untuk menunjang penyelenggaraan Rapat Paripurna di parlemen dalam pengesahannya. Sekularisme justru membuat tindak kekerasan seksual tumbuh subur karena menjunjung tinggi HAM dan kebebasan perilaku.


Preventif dan Kuratif dalam Islam sebagai Solusi Fundamental

Harapan pemberantasan tuntas hanya ada pada penerapan Islam kaffah. Islam bukan hanya sebatas agama ritual untuk orang yang beragama Islam, namun ia merupakan ideologi/pandangan hidup yang memiliki segenap aturan yang bersumber dari Allah SWT dan Rasul-Nya untuk seluruh umat manusia di dunia dengan berbagai pluralitas yang akan mengantarkan pada kedamaian alam semesta melalui penerapannya dalam sistem Khilafah. Catatan sejarah tidak bisa memungkiri hal ini. Sepeninggal Rasulullah SAW, urusan kenegaraan dilanjutkan oleh para Khalifah. Hingga saat Islam melebarkan sayapnya sampai ke Jazirah Arab, Hindia, Jazirah Syam, Afrika, Balkan, sampai ke Asia Tengah sekalipun tidak membuat para Khalifah melakukan penyeragaman warga negara, apalagi melenyapkan pluralitas. Hingga kekhilafahan Islam yang terakhir, tidak terdapat satu pun pemerintahan Islam yang mewacanakan keseragaman dengan menghapuskan pluralitas, baik pluralitas agama, keyakinan, budaya, dan sebagainya. Yang terjadi justru sebaliknya; kekhilafahan berhasil menciptakan rasa aman, kesetaraan, keadilan, bahkan kesejahteraan bagi seluruh warga negara, Muslim maupun non-Muslim. 

Islam menempatkan tindak pelecehan atau kekerasan seksual sebagai kemaksiatan yang dapat menghantarkan pelakunya pada kehinaan dunia maupun akhirat. Hal ini membuat setiap individu akan berusaha menjauhinya. Dalam Islam, terdapat tiga pihak yang berkewajiban menjaga dan melindungi generasi. 

Pertama, keluarga sebagai madrasah/sekolah utama dan pertama. Ayah dan ibu harus bersinergi mendidik, mengasuh, mencukupi gizi anak, dan menjaga mereka dengan basis keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Ayah memiliki peran penting sebagai qawwam (pemimpin,pelindung,pengurus) dan pemberi nafkah dan ibu sebagai madrasah ula (sekolah pertama). 

Kedua, lingkungan. Dalam hal ini masyarakat berperan dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan generasi. Masyarakat adalah pengontrol perilaku anak dari kejahatan dan kemaksiatan. Masyarakat akan terbiasa melakukan amar makruf nahi mungkar (menyuruh berbuat baik dan mencegah perbuatan buruk) kepada siapa pun. 

Ketiga, negara sebagai periayah (pemelihara) utama. Dalam hal ini, fungsi negara adalah memberikan pemenuhan kebutuhan berupa sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan setiap rakyatnya termasuk anak. Negara juga wajib melindungi generasi dari perilaku buruk dan maksiat dengan tindakan pencegahan yang berlapis, yaitu:

Pertama, menerapkan sistem sosial dan pergaulan Islam. Di antara ketentuan Islam dalam menjaga pergaulan di lingkungan keluarga dan masyarakat adalah: (1) kewajiban menutup aurat dan berhijab syar’i (mengenalkan batasan aurat kepada anak sejak dini dan tidak boleh tidur satu kasur); (2) larangan berzina, berkhalwat (berduaan dengan nonmahram), dan ikhtilat (campur baur laki-laki dan perempuan); (3) larangan eksploitasi perempuan dengan memamerkan keindahan dan kecantikan di area publik; (4) larangan melakukan safar (perjalanan) bagi perempuan lebih dari sehari semalam tanpa diserta mahram. 

Kedua, optimalisasi fungsi lembaga media dan informasi dengan menyaring konten dan tayangan yang tidak mendukung bagi perkembangan generasi, seperti konten porno, film berbau sekuler liberal, media penyeru kemaksiatan, dan perbuatan apa saja yang mengarah pada pelanggaran terhadap syariat Islam. 

Ketiga, menegakkan sistem sanksi yang tegas dengan menghukum para pelaku berdasarkan jenis dan kadar kejahatannya menurut syariat. Hukuman yang diberikan sesuai dengan ketentuan hukum Allah dan kebijakan khalifah selaku pemegang kewenangan pelaksanaan hukuman. Jika terjadi kasus, negara akan memberikan sanksi tegas. Jika pelecehan seksual yang terjadi sampai terkategori zina, hukumannya adalah 100 kali dera bagi pelaku yang belum menikah dan hukuman rajam bagi pelaku yang sudah menikah. Sistem sanksi Islam akan memberikan efek jera sekaligus penebus dosa bagi pelaku kejahatan. Tidak heran, sepanjang penerapan syariat Islam di masa Rasulullah SAW, kita mendapati kisah-kisah para pelaku zina datang kepada Rasulullah SAW dan mengaku telah berzina serta meminta untuk dijatuhkan hukuman terhadapnya karena takut akan mendapatkan siksaan berlipat kali ganda di hari pembalasan (yaumil akhir) kelak. Negara juga memberikan perlindungan terhadap para pelapor, sebagaimana warga masyarakat pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab tidak segan-segan melaporkan berbagai masalah yang mereka hadapi. Mereka dengan sangat leluasa dapat secara langsung melapor kepada pemimpin tertinggi, karena mereka mendapat jaminan keamanan sehingga mereka tidak merasa ragu-ragu apalagi takut.

Keempat, menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Dengan sistem ini, seluruh perangkat pembelajaran mengacu pada Islam. Dengan begitu, anak-anak memiliki akidah yang kuat, orang tua memiliki pemahaman agama yang baik, dan masyarakat yang berdakwah dengan saling memberi nasihat di antara sesama.

Demikianlah solusi fundamental yang ditawarkan Islam yang bersumber dari Sang Pencipta alam semesta ini. Sudah saatnya aturan Islam diterapkan di seluruh aspek di negeri ini untuk meraih keridhaan Ilahi Rabbi demi kebahagiaan dunia akhirat yang hakiki. Wallahu a’lam bishshawab. []


Oleh: dr. Kasma
Praktisi Kesehatan

0 Komentar