MutiaraUmat.com -- Pakar Fiqih Kontemporer K.H. Shiddiq Al-Jawi menegaskan bahwa haram hukumnya seorang Muslim ikut-ikutan merayakan tahun baru masehi.
“Haram hukumnya seorang Muslim ikut-ikutan merayakan tahun baru masehi,” ujarnya di acara Kajian Fiqih: Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi Bagi Muslim, di YouTube Khilafah Channel Reborn, Jumat (29/12/2023)
Menurut Kiai Shiddiq, Perayaan tahun baru Masehi (new year’s day, al-ihtifal bi ra’si as-sunah) bukan hari raya umat Islam, melainkan hari raya kaum kafir, khususnya kaum Nasrani.
Menurutnya, penetapan 1 Januari sebagai tahun baru yang awalnya diresmikan Kaisar Romawi Julius Caesar (tahun 46 SM), diresmikan ulang oleh pemimpin tertinggi Katolik, yaitu Paus Gregorius XII tahun 1582. Penetapan ini kemudian diadopsi oleh hampir seluruh negara Eropa Barat yang Kristen sebelum mereka mengadopsi kalender Gregorian tahun 1752)
“Bentuk perayaannya di Barat bermacam-macam, baik berupa ibadah maupun non ibadah: Pertama, aktivitas ibadah, seperti layanan ibadah di gereja (church services).
Kedua, aktivitas non-ibadah, seperti parade/karnaval, menikmati berbagai hiburan (entertaintment), berolahraga seperti hockey es dan American football (rugby), menikmati makanan tradisional, berkumpul dengan keluarga (family time) dan lain-lain,” ujarnya.
Ia menjelaskan, ada dalil umum yang mengharamkan kaum Muslim menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffar) firman Allah swt dalam Surah Al-Baqarah ayat 104: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan, (kepada Muhammad) “rāa'inā.” Akan tetapi, katakanlah, “unẓhurnā” dan dengarkanlah. Orang-orang kafir akan mendapat azab yang pedih.
“Jadi ayat ini melarang para sahabat mengatakan raa’ina kepada Nabi Muhammad saw, raa’ina artinya perhatikanlah kami, apa yang diperintahkan oleh Allah? Jadi dilarang mengucapkan raa’ina, namun yang diperintahkan oleh Allah swt adalah unzhurna, sebenarnya artinya sama, memperhatikan lah kami Nabi,” terangnya.
“Kenapa raa’ina dilarang? tetapi unzhurna di perintahkan?, karena kata raa’ina ini diucapkan juga oleh orang-orang Yahudi, tapi diplesetkan sambil bergumam itu ucapan samar tapi tidak jelas, seolah-olah raa’ina, tapi raa’una sebenarnya yang diucapkan oleh orang-orang Yahudi dimasa itu, raa’una artinya bodoh sekali, itu mereka mengejek Nabi Muhammad saw sebagai orang yang bodoh,” tambahnya.
Menurut Kiai Shiddiq, Mereka (Yahudi) menghina nabi dengan kalimat raa’una itu hampir mirip dengan raa’ina. Maka menurutnya, kaum Muslim dilarang mengucapkan kata raa'ina karena memiliki arti ganda, artinya pertama perhatikanlah kami, yang kedua itu adalah pelesetannya dari raa’ina yaitu raa’una yang artinya penghinaan atau ejekan orang Yahudi kepada Nabi yang artinya bodoh sekali.
Oleh karena itu menurutnya, Imam Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah swt telah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai orang-orang kafir (tasyabbuh bi al-kuffar) dalam ucapan dan perbuatan mereka. Karen orang Yahudi menggumamkan kata raa'una (bodoh sekali) sebagai ejekan kepada Rasulullah saw seakan-akan mereka mengucapkan raa’inaa (perhatikanlah kami). (Tafsir Ibnu Katsir, 1/149)
Selain itu menurut Kiai Shiddiq, Ayat-ayat yang melarang umat Islam menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffar), antara lain firman Allah swt dalam Surah Al-Baqarah ayat 120: “Dan orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepadamu (Muhammad) sebelum engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya).” Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak akan ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah.”
“Ayat lain yang melarang umat Islam menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffar), firman Allah swt dalam Surah Al-Baqarah ayat 145: Dan walaupun engkau (Muhammad) memberikan semua ayat (keterangan) kepada orang-orang yang diberi Kitab itu, mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan engkau pun tidak akan mengikuti kiblat mereka. Sebagian mereka tidak akan mengikuti kiblat sebagian yang lain. Dan jika engkau mengikuti keinginan mereka setelah sampai ilmu kepadamu, niscaya engkau termasuk orang-orang zalim,” jelasnya.
Kiai Shidiq menerangkan firman Allah QS. Al-Imran: 156 “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu seperti orang-orang kafir yang mengatakan kepada saudara-saudaranya apabila mereka mengadakan perjalanan di bumi atau berperang, “Sekiranya mereka tetap bersama kita, tentulah mereka tidak mati dan tidak terbunuh.” (Dengan perkataan) yang demikian itu, karena Allah hendak menimbulkan rasa penyesalan di hati mereka. Allah menghidupkan dan mematikan, dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.”
Kemudian menurutnya, ada ayat lain yang melarang umat Islam menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffar), firman Allah swt (QS. Al-Hasyr: 19): “Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, sehingga Allah menjadikan mereka lupa akan diri sendiri. Mereka itulah orang-orang fasik.
“Ini ayat yang melarang kita umat Islam, seperti orang-orang yang lupa kepada Allah swt, lupa kepada Allah swt maksudnya apa? lupa perintahnya, sehingga karena lupa ada perintah tidak dijalankan atau lupa larangannya sehingga dilarang malah dilakukan. Nah ini tidak boleh seperti orang-orang kafir,” jelasnya.
“Misalnya orang-orang nasrani dilarang oleh Allah untuk makan Babi, ternyata mereka makan babi kan berarti ini termasuk melupakan Allah swt, melupakan larangan Allah swt,” lanjuntnya.
Menurutnya ada dalil umum lainnya dari hadis Nabi Muhammad saw yang melarang umat Islam menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffar), antara lain Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.” (HR. Ahmad, 5/20; Abud Dawud nomor 403)
“Hadis tersebut telah mengharamkan umat Islam menyerupai kaum kafir dalam hal-hal yang menjadi ciri khas kekafiran mereka (fikhasha ishihim), seperti aqidah dan ibadah mereka, hari raya mereka, pakaian khas mereka, cara hidup mereka, dan lain-lain,” bebernya.
Selain itu menurut Kiai Shiddiq, terdapat dalil khusus yang mengharamkan kaum Muslim merayakan hari raya kaum kafir. Dari Anas Ra dia berkata: "Dahulu kaum jahiliyyah mempunyai dua hari raya setiap tahun untuk bermain-main (bersenang-senang), maka ketika Nabi saw datang ke kota Madinah, Rasulullah saw bersabda “Dahulu kalian punya dua hari raya untuk bermain-main pada dua hari itu dan sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan yang lebih baik, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.” (HR. Abu Dawud, no. 1134)
Oleh karena itu ia menegaskan bahwa berdasarkan dalil-dalil tersebut, haram hukumnya seorang Muslim merayakan tahun baru, misalnya dengan meniup terompet, menyalakan kembang api, menunggu detik-detik pergantian tahun, memberi ucapan selamat tahun baru, makan-makan yang diniatkan khusus acara menyambut tahun baru dan sebagainya. “Semuanya haram karena termasuk menyerupai kaum kafir (tasyabbuh bi al-kuffar fi a’yadihim) yang telah diharamkan Islam,” tutupnya. [] Aslan La Asamu
0 Komentar