Hakordia, Saatnya Refleksi Kinerja KPK dalam Sistem Batil Buatan Manusia


MutiaraUmat.com -- Peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) yang jatuh pada bulan Desember ini harus menjadi momen koreksi kinerja KPK dalam memberantas praktik korupsi di Indonesia. Berdasarkan Laporan ICW, pada tahun 2022 KPK menangani 36 kasus dengan 150 tersangka. Adapun pada 2021, KPK menangani 32 kasus dan menetapkan 115 tersangka. Angka ini jelas tak menunjukkan penurunan yang berarti. Kinerja KPK semakin menjadi sorotan saat Firli Bahuri selaku ketua KPK sendiri menjadi tersangka dalam kasus dugaan pemerasan atau gratifikasi terkait perkara korupsi di Kementerian Pertanian dan dugaan kepemilikan rumah mewah di Kertanegara, Jakarta Selatan (Tirto.id, 09/12/2023).

Entah ungkapan seperti apa yang patut dilabelkan kepada lembaga yang digadang-gadang menjadi lembaga harapan rakyat dalam membinasakan kasus korupsi di negeri tercinta. Rakyat teramat berekspektasi tinggi pada KPK dalam memperjuangkan keadilan ataupun mengevaluasi petinggi dalam mempergunakan aset-aset negara sesuai dengan porsinya masing-masing. Nyatanya siapapun ketuanya, pelaksananya, ataupun aturannya tetap saja tak ada yang bisa diandalkan dalam upaya pemberantasan kasus korupsi. 

Para aktivis antikorupsi menilai ada beberapa faktor yang mempengaruhi tidak konsistennya kerja KPK. Seperti revisi UU KPK yang menjadi pemicu goyangnya kinerja KPK, polemik tes wawasan kebangsaan (TWK), masuknya komisioner yang dianggap tidak mumpuni hingga pelanggaran kode etik oleh sejumlah petinggi KPK sendiri. 

Dari sejumlah analisa yang digambarkan oleh para aktivis antikorupsi, rakyat harus paham bahwa sistem yang menaungi KPK saat ini bukan sistem yang ideal. Tak perlu teramat berharap pada jajaran petinggi dalam sistem ini, karena solusi dalam setiap permasalahan korupsi adalah solusi partial yang tidak memberantas hingga ke akar. Selain itu, solusi dalam setiap masalah dalam sistem hanya sebagai penutup terhadap kesalahan atau solusi lain yang dianggap tidak menyelesaikan. 

Perlu dipahami, sistem saat ini adalah sistem kapitalisme yang tak akan berpihak pada rakyat. Sistem demokrasi kapitalis yang membongkar pasang pejabat pun tak akan menjadikan negeri ini bersih dari korupsi. Ditambah dengan gonta gantinya peraturan perindang-undangan yang diharapkan mampu memberikan dampak signifikan terhadap kasus dan solusinya, nyatanya malah ditunggangi kekuasaan. Bukan hal baru lagi, karena dalam sistem ini, peraturan diciptakan oleh manusia berlandaskan nafsu dan kepentingan semata.

Hanya sebuah ilusi jika mengharapkan kemaslahatan rakyat dalam sistem yang rusak. Seluruh perbuatan manusia serba bebas berdalih kebebasan (liberal) baik dalam masalah akidah, pendapat, kepemilikan, dan kebebasan pribadi. 

Sudah waktunya sistem yang usang diganti dengan sistem yang benar (shahih) yakni sistem Islam. Islam sejatinya bukan hanya sekedar agama ritual. Namun, islam adalah seperangkat aturan yang berisi panduan dalam segala sisi kehidupan bermasyarakat baik politik, jual beli, hingga pada pengaturan sumber daya alam. 

Solusi dalam setiap masalah juga berdasar hukum yang ditetapkan oleh Sang Pencipta (Al-Khaliq) melalui Al-Qur’an dan as sunnah bukan pada keputusan manusia yang bersumber dari akalnya yang terbatas. Kebebasan dalam bertingkah laku, berpendapat, ataupun kepemilikan terikat dengan hukum syarak. Sehingga, kebebasan dalam Islam tidak tumpang tindih dengan kepentingan umum ataupun negara. Negara juga wajib melakukan kontrol penuh terhadap ketakwaan individual dan masyarakat sehingga tercipta lingkungan yang kondusif dalam penerapan hukum-hukum Allah. Wallahu’alam bishowab.[]

Hima Dewi, S.Si., M.Si.
Aktivis Muslimah 

0 Komentar