Bunuh Diri Anak Marak, Potret Gagal Kapitalisme


MutiaraUmat.com -- Bukti kegagalan kapitalisme yang merajai dunia makin terbuka lebar. Rapuhnya mental generasi adalah dampak yang sangat signifikan. Kelemahan daya pikir dalam menyelesaikan masalah menjadi satu di antara banyaknya daftar fakta-fakta miris yang melanda generasi.

Pada 26 September 2023 lalu, seorang siswi berinisal SR (13) Sekolah Dasar Negeri 6 Petukangan Utara, Kecamatan Pesanggrahan, Jakarta Selatan, dinyatakan meninggal dunia usai jatuh dari lantai empat sekolahnya. Dugaan kuat ia bunuh diri.

Tak kalah memilukan, dilansir dari solopos.com (23/11/2024), seorang siswa SD berinisial K, 10, mengakhiri hidupnya dengan gantung diri gara-gara dilarang bermain handpone oleh orang tuanya.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia menyebutkan bahwa kasus bunuh diri pada anak 10 persen lebih tinggi dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. (detik.com, 23/09/2023).

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Diyah Puspitarini, menjelaskan kasus bunuh diri anak dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Namun, sekitar 60 persen kasus bunuh diri yang terjadi akhir-akhir ini disebabkan oleh perundungan. Faktor lain adalah ekonomi keluarga dan asmara di antara remaja.


Harapan Solusi Hanyalah Islam 

Dalam Islam, perbuatan bunuh diri dengan cara apapun, dilarang karena termasuk dalam perbuatan dosa besar. Allah SWT berfirman, "Dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu." (QS. An Nisa ayat 29).

Sulit untuk dimengerti dan sukar untuk ditafsirkan, jika masih ada yang menganggap maraknya kasus bunuh diri pada anak hanyalah masalah umum yang biasa terjadi di negeri mana saja. Terlebih lagi, menyederhanakan persoalan dengan menganggap ini sebagai kasus kenalan remaja biasa.

Bunuh diri merupakan salah satu masalah kesehatan mental yang serius. Dari data World Health Organization (WHO) menunjukkan bahwa bunuh diri merupakan penyebab kematian tertinggi ke-10 di dunia, dan merupakan penyebab kematian ke-3 tertinggi di kalangan anak muda berusia 25-29 tahun.

Hermin Mallo dan Daniel Ronda dalam jurnalnya berjudul Analis Faktor Penyebab Utama Kecenderungan Bunuh Diri di Kalangan Remaja Berusia 15-17 tahun di Makassar, disebutkan bahwa bunuh diri adalah penyebab dari kematian ke-3 di kalangan remaja, dan meningkat 30 kali lipat dalam kurun 30 tahun terakhir. Bahkan, sekitar 70 persen remaja pernah berpikir melakukan bunuh diri, dan 27 persen pernah melakukan percobaan bunuh diri.

Di antara faktor maraknya bunuh diri di kalangan anak, adalah mudah depresi, tertekan dan tidak sabar dalam menghadapi beragam persoalan kehidupan. Lihat saja, hanya karena tidak diijinkan bermain hp, atau putus cinta, berani mengambil tindakan bunuh diri.

Pembulian juga memiliki persentasi yang besar dalam menyumbang maraknya kasus bunuh diri. Tercatat di KPAI, 13 Februari 2023 kenaikan kasus bullying sebanyal 1.138 dari kasus kekerasan fisik hingga psikis.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan fakta bahwa kasus ini paling banyak di dominasi siswa yang duduk disekolah dasar. Di Indonesia, kita di tempatkan pada posisi kelima tertinggi dari 78 negara sebagai Negara yang pelajarnya paling sering mengalami kasus ini. Informasi lainnya, hasil riset dari Programme for International Students Assessment (PISA) 2018 yang menunjukkan bahwa 41,1% siswa di Indonesia mengaku pernah mengalami kasus serupa. (literasiaktual.com, 04/05/2023).

Membangun generasi dengan jiwa kuat, sabar dan pantang menyerah memang membutuhkan support system yang baik dan benar. Dari sisi orang tua dan keluarga, mendidik anak dengan berlandaskan aqidah Islam, menanamkan pemahaman cara pandang yang benar akan kehiduoan, bahwa tujuan hidup untuk meraih ridha Allah SWT, mental yang kuat dan tangguh dengan memahamkan dan membiasakan sabar, ikhtiar, tawakkal serta senantiasa bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan.

Masyarakat dan negara juga berperan untuk memastikan terwujudnya generasi dengan akidah yang kuat serta berkepribadian Islam yang tangguh. Memahami perkara-perkara syariat secara utuh, dari akidah hingga syariah, mencakup di dalamnya adab, akhlak, termasuk respon terhadap lika-liku kehidupan yang berwarna kelak akan ia hadapi.

Demikian pula melalui kontrol sosial serta penerapan Islam dalam seluruh bidang kehidupan (pendidikan, kesehatan, sosial, sanksi, dsb) dapat dipastikan akan menjadi support sistem terbaik.
Semisal dalam aspek pendidikan. Kurikulum berlandas aqidah Islam, tenaga didik dan fasilitas yang terjamin pemenuhannya oleh negara. Bukan sebagai ajang bisnis, namun murni untuk mendidik menjadi generasi berkualitas yang berkepribadian Islam, berakhlak baik, jauh dari sikap buruk seperti pembulian, bahkan menjadi sosol pengayom, sayang kepada yang lebih muda dan hormat kepada yang lebih tua. Bukankan demikian yang kita rindukan? Wallahu a'lam. []


Oleh: Linda Maulidia, S.Si.
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar