Ribath, Syariat Islam untuk Menjaga Perbatasan
MutiaraUmat.com -- Founder Institut Muslimah Negarawan, Dr. Fika Komara menyebutkan, bahwa ribath itu sebenarnya memang satu syariat yang digambarkan kepada kita untuk menjaga perbatasan dunia.
Dr. Fika.menjelaskan, dalam salah satu buku Dr. Majid Iksan Alqilani, dikatakan bahwa lemahnya perhatian Baghdad pada daerah-daerah subur itulah yang membuat tentara salib membaca titik lemah, mereka berhasil dengan mudah dan gemilang.
Bagi kita tragedi, bagi mereka kegemilangan merebut Baitul Maqdis, tetapi Alhamdulillah umat islam kembali bangkit kala itu. Ini yang kemudian kenapa hari ini dikenal juga murobitun. Karena di Gaza hari ini meskipun wilayahnya cuma 360 km, sangat kecil namun mereka sudah terbiasa memahami tsaqafah Islam terkait tanah ribath. Karena sehari di tanah ribat itu pahalanya sangat besar. Lebih besar dari dunia seisinya, banyak sekali hadis yang mengatakan demikian, sambung Fika.
Perbatasan paling tua dengan musuh itu Syam. Dan kemudian diabaikan di masa era 50 tahun sebelum di masa kemunduran Abbasiyah. 50 tahun sebelum lahirnya Sholahuddin Al Ayyubi, diabaikan oleh Baghdad sehingga berhasil dicaplok, pencaplokan Baitul Maqdis ke dua kali atau pertama kali itu justru tentara di era Sholahuddin Al Ayyubi, lanjut Fika.
Jadi ribath ini dikenal ketika jihad ditegakkan. Masalahnya kita menjadi asing ketika istilah ribath, karena di Indonesia khususnya sudah jarang sekali bahkan menjadi fobia ketika mendengar kata ribath. Tanah kaum muslimin saja harus dijaga. Sementara ini tanah suci, tanah muqaddas, harus dijaga lahir batin dengan nyawa. Maka Birruh Bidan Nafdika Ya Aqsha, adalah slogan yang luar biasa. Ini tadi saya sebut 88 tahun sebelum kelahiran Solahuddin Al Ayyubi, ada dilema geopolitik Syam kala itu, imbuh Fika.
Fika menjelaskan, dilema spasial Syam antara Baghdad, Andalusia dan Mesir posisi Syam kala itu bukanlah kota, ibukota peradaban Islam ada di Baghdad atau Andalusia. Tetapi kawasan perbatasan yang sebenarnya bergesekan langsung dengan peradaban asing, musuh-musuh Islam dan wilayahnya perifer atau frontier.
Lalu, Fika melanjutkan, lemahnya perhatian Baghdad menurut Dr. Majid Iksan Alqilani, pada kawasan subur dan ribath di Syam ini membuat posisinya menjadi rawan. Sementara itu tentara salib memberikan pukulan yang mematikan, Andalusia diam, Mesir dikuasai Syiah, akhirnya kaum muslimin membutuhkan 5 dekade untuk bisa membalas serangan tentara salib. Itu aku akibat lemahnya perhatian pada tanah-tanah ribath.
Ini yang harus dijadikan pelajaran buat kaum muslimin hari ini. Bahwa Baitul Maqdis itu selain tanah Muqoddas yang secara i’tiqodi tanah suci, itu harus menjadi pusat keberkahan, dalam QS. Al-Isra’ dalilnya. Dia juga menjadi tanah ribath hari ini seharusnya. Kalau bicara tanah ribath bisa berarti banyak, bukan hanya tanah muqoddas, tanah yang disucikan, bicara nanti mungkin terkait kebijakan pertanahan sebenarnya, sambung Fika.
Jadi sekilas saja kalau bicara pertanahan dalam Islam ada tiga perspektif yang bisa kita pakai: perspektif syariat atau kebijakan dalam negeri dari sisi syariat, kita harus memahami itu sebagai aturan-aturan hidup kita. Ini ada tiga status kepemilikan tanah, ada fiqh ihya ul mawat, itu dari sisi dalam negeri, tegas Fika.
Pengaturan Islam pada warga negaranya, saya tidak perlu jelaskan, disini ada lima. Kalau dalam perspektif kebijakan syariat luar negeri, dikenal pertama adanya tanah ribath. Dan kemudian setelah adanya jihad biasanya ada pemberlakuan status tanah berdasarkan jihad, ujar Fika lagi.
Tanah kharajiyah adalah tanah yang dibebaskan. Palestina itu tanah kharajiyah karena dibebaskan oleh Umar. Yang berlaku statusnya sampai yaumul qiyamah adalah milik kaum muslimin. Tanah yang dibebaskan melalui perang maupun damai, tidak bisa diubah oleh otoritas lain, ungkap Fika.
Islam yang harus bisa menegakkannya. Bagi yahudi zionis tidak berlaku, karena mereka punya doktrin sendiri. Tapi Islam pun punya doktrin sendiri bahwa selain tanah muqoddas, secara syariat dan fiqh pertanahan, status tanah Baitul Maqdis adalah tanah kharajiyah, sambung Fika.
Tanah Usriyah adalah tanah yang penduduknya masuk islam secara sukarela, seperti Indonesia, Masyaallah, ada konsekuensi hukum dan fiqhnya. Tanah Kharajiyah ada pungutan dan konsekuensinya. Di era Abbasiyah, sebelum era kemunduran (era Harun Al Rasyid) adalah era keemasan, ujar Fika.
Perhatian khalifah kepada benteng-benteng ribath di sepanjang Syam dan laut Mediterania sampai daerah Maghribi sangat besar. Mereka membangun benteng-benteng ribath. Penulisnya adalah Christopher Pickard: The Sea of Caliphate, saya melihat bagaimana laut Mediterania ini sebagai ajang, karena menyeramkan beda dengan Samudera Hindia, papar Fika.
Oleh karenanya, di situ banyak tentara romawi dan (istilahnya) Sinbad. Banyak perompakan terjadi baik dua sisi, Sinbad itu adalah bentuk ekspresi orang-orang Barat ketakutan terhadap pahlawan Islam di laut atau hutan. Tetapi mereka ubah image jadi kesannya kriminal. Padahal sebenarnya tidak, pungkas Fika.[]Tari Handrianingsih
0 Komentar