Ketidakjelasan Nasib Pengungsi Rohingnya


MutiaraUmat.com -- Sungguh perih hati ini melihat nasib muslim Rohingnya. Di negara asalnya, mereka hendak dihabisi. Dengan kondisi kapal yang penuh sesak karena kelebihan muatan, juga bekal yang hanya seadanya, mereka terapung-apung di tengah laut selama 11 hari mencari negara yang mau menerima. Hingga sampailah kapal mereka di negara Indonesia, negara yang mayoritasnya muslim yang dimana mereka berharap dapat memberikan bantuan. Namun nyatanya, tidak ada bantuan, yang ada justru penolakan.

Sejak Selasa (14-11-2023), pengungsi Rohingnya berdatangan di kawasan Pidie dan Bireuen, Aceh, menggunakan kapal. Jumlahnya mencapai hingga 346 orang di Pidie dan 249 orang di Bireuen. Warga setempat memang membantu para pengungsi. Akan tetapi, setelah memberi bantuan mereka meminta para pengungsi untuk kembali ke kapal mereka. (Tirto, 16-11-2023).

Di sisi lain, pemerintah menolak kehadiran pengungsi Rohingnya. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Lalu Muhammad Iqbal menyatakan bahwa Indonesia tidak berkewajiban menerima pengungsi Rohingnya sebab Indonesia tidak ikut meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. 

Iqbal menegaskan, “Bahwasannya Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi, apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut.” (Tirto, 19-11-2023)

Sungguh ironis, Rohingnya telah dijajah oleh pemerintah Myanmar selama berpuluh-puluh tahun lamanya. Mereka mengalami genosida, baik oleh Junta Militer ataupun Pemerintahan pro demokrasi. 

Muslim Rohingnya ketika mengalami ancaman genosida di Myanmar, muslim Rohingnya lari ke Bangladesh, tetapi rezim Hasina mengabaikan mereka, tempat pengungsian yang disediakan untuk muslim Rohingnya pun amat buruk sehingga tidak layak untuk didiami. Nasionalisme telah membelenggu Bangladesh dari menolong muslim Rohingnya secara layak.

Dengan latar belakang yang demikian, wajar saja muslim Rohingnya melarikan diri ke Indonesia, negeri mayoritas muslim yang diharapkan memberikan tempat hidup yang layak untuk mereka. Namun lagi-lagi, rezim penguasa saat ini tidak bisa berbuat apa-apa karena terbelenggu oleh paham nasionalisme.

Mirisnya negara-negara tetangga justru menolak kedatangan mereka padahal Allah Swt telah berfirman: “Akan tetapi jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan, kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu dengan mereka. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Anfal: 72)

Pertolongan ini sulit dilakukan karena Kaum Muslim saat ini tersandera oleh sekat-sekat nasionalisme Barat yaitu Hans Kohn dalam Nationalisme: Its Meaning and History menjelaskan bahwa nasionalisme bermakna sikap pandang individu  bahwa kesetiaan, kemuliaan, dan pengabdian tertinggi diberikan kepada negara.

Oleh sebab itu, sekat nasionalisme telah menghalangi negeri-negeri muslim menganggap muslim Rohingnya sebagai warga negaranya. Akibat nasionalisme muslim Rohingnya hanya diposisikan sebagai orang-orang di kamp-kamp pengungsian. Lebih dari itu, kepemimpinan global yang dikendalikan oleh mindset kapitalisme semakin menambah enggannya negara-negara tetangga menolong Kaum Muslim Rohingnya.

Kapitalisme berorientasi pada untung dan rugi, maka filantropi yang diberikan setengah-setengah mereka hanya mencukupkan pada bentuk-bentuk perlindungan melalui undang-undang, konvensi, dsb namun nihil dalam penerapannya.

Kondisi pengungsi Rohingnya akan sangat berbeda ketika berada di dalam negara khilafah, mereka akan mendapatkan jaminan keamanan dan perhatian  termasuk kewarganegaraan. Khilafah mudah melakukan ini, sebab keberadaan khilafah merupakan pelindung bagi setiap muslim dari mana pun apalagi kaum muslimin yang mendapatkan kedzaliman. 

Rasulullah Saw bersabda; “Sesungguhnya al-Imam (khalifah) itu perisai, di mana (orang-orang) akan berperang di belakangnya (mendukung) dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan) nya.” (HR. Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, Abu Dawud).

Pun Rasulullah Saw, berpesan “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam berkasih sayang dengan sesama mereka seperti satu tubuh. Jika salah satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan bai (satu) demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari-Muslim).

Ketika di dalam naungan khilafah, Kaum Muslim tidak akan tersekat-sekat dengan batas-batas nation state mereka merupakan satu kesatuan di bawah aqidah Islam dan negara Islam. Sehingga khilafah pun tidak segan-segan membela kaum muslimin yang teraniaya.

Khilafah akan mudah mengerahkan kekuatan para tentara khilah untuk memerangi pihak-pihak yang melakukan kezaliman kepada Kaum Muslim. Dengan demikian upaya ini dilakukan sebagai bentuk penjagaan dan kemuliaan darah kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Wallahu a’lam bishshawwab.[]

Oleh: Hamsia
(Aktivis Muslimah)

0 Komentar