Isu Gaza Melepas Belenggu Kebodohan Umat dan Melahirkan Kekuatan Tanpa Sekat


MutiaraUmat.com -- CEO Institute Muslimah Negawaran, Dr. Fika Komara mengatakan, masalah Gaza Palestina merupakan persoalan tatanan dunia hari ini pada kehidupan bernegaranya.

“Negara-negara Barat hari ini, gelombang protes dari orang-orang di Eropa, rakyat London sampai berapa ratus ribu, rakyat Amerika pada turun ke jalan protes ke negaranya. Rakyat maupun non state actor itu sudah mati-matian turun, mau lembaga filantropis, donasi, kemanusiaan, jemaah dakwah, milisi bersenjata, milisi jihad, seperti para mujahidin yang ada di Gaza. Sekarang kita masih sibuk mempersoalkan pelaku yang menyambut seruan Allah tetapi tidak fokus mempertanyakan pada mereka yang tidak menyambut seruan Allah dan RasulNya,” ungkap Fika Komara dalam Live Streaming berjudul Genosida Gaza: Pelajaran soal Nasionalisme dan Penjagaan Perbatasan, di Kanal YouTube Institut Muslimah Negarawan pada Selasa (31/10/2023).

Fika menegaskan, ketika Hamas berusaha menyambut seruan Allah dan RasulNya untuk menegakkan jihad, malah dipertanyakan atau diragukan. Dan dipersoalkan kredibilitasnya segala macam, kenapa engga pernah kita mempersoalkan Arab Saudi, UEA, negara-negara Arab itu. Yang jelas-jelas mereka adalah state actor yang taklif, sebagai mukalaf. Sebagai pihak yang memenuhi kewajiban untuk memenuhi seruan syariat. Ini bicara dari perspektif syariat. 

Setidaknya ada dua perspektif dari Baitul Maqdis, perspektif i'tiqody yang praktikal maksudnya yang kita pakai, dan perspektif kebijakan atau syariat dari sisi politik luar negeri. Pertama bahwa tanah kaum muslimin seperti Gaza adalah ribath. Dan sebenarnya ribath itu panggilan jihad. Bagaimana Al Rasyid mengkondisikan, bahkan melembagakan ribath, sampai ulama-ulama terbaik tinggal di perbatasan, ungkapnya.

Mereka mendirikan madrasah di perbatasan untuk melahirkan sumberdaya manusia terbaik pada masa itu untuk menjaga tanah kaum muslimin. Padahal tanah kaum muslimin di sepanjang Maghribi bukan tanah suci, apalagi ini tanah suci. Harusnya panggilan jihad dipenuhi oleh negara, bukan semata-mata non state actor tadi. Karena sebenarnya syariat islam mewajibkan negara menegakkan jihad dan ribath, papar Fika.

Fika menambahkan, persoalan sebenarnya karena tidak ada faktor negara hari ini yang betul-betul menyambut seruan jihad, padahal tanah ribath adalah tanah berjaga siap siaga perang siaga satu. Tetapi lagi-lagi ada border masalah hudud, akhirnya ikutan saudara yang lain, bahwa itu masalah bangsa lain, itu menjadi persoalan. Akhirnya kita selalu terbelenggu disitu dan berlapis. 

Pertama belenggu kebodohan masalah Baitul Maqdis. Kedua belenggu kabut Dukhan, kabutisasi dalam persoalan ini mungkin propaganda. Ketiga belenggu tatanan dunia hari ini yang masih menempatkan nation state sebagai tanda negara modern sebagai solusi. 

Pakar Hubungan Internasional Prof. Siti Mulbahyadi dari UGM mengatakan, Israel ini melanggar konsep negara-negara modern karena dia mencaplok wilayah orang lain, ironisnya didukung Amerika, yang justru sebagai pendakwah konsep-konsep negara modern, demokrasi segala macam. Ini kemunafikan yang telanjang dipertontonkan dalam melihat Baitul Maqdis, sambungnya.

Kemudian dari sisi internal kebijakan dalam negeri ada ihya ul mawat, ada i’qotu daulah, ada kepemilikan individu, umum dan negara. Sisi i’tiqody ini yang membedakan. Islam memberikan perspektif yang sangat lengkap melihat persoalan-persoalan Baitul Maqdis. Dari sisi i’tiqody kita melihat bahwa Baitul Maqdis ini geobarokah atau teori circle of barokah, ungkapnya.

Bahwa Baitul Maqdis adalah titik pusat keberkahan, sebagai tanah muqoddas, karena kalau tanah harom ada Mekkah dan Madinah, ini konsep yang hanya diajarkan oleh Al-Qur’an. Kaum muslimin kalau tidak memahami ini tidak akan clear, akhirnya melihat Al Aqsha hanya masalah kemanusiaan, rebutan wilayah, hudud, atau border, padahal bukan itu, imbuhnya.

Selain tanah keberkahan, Baitul Maqdis adalah tanah kharajiyah. Yang secara legalitas, punya konsekuensi kendali penuh adalah negara, yang kemanfaatannya dikelola negara dan hasilnya harus dimanfaatkan untuk kaum muslimin. Bisa dimanfaatkan oleh individu tapi controlingnya oleh negara, manfaat dan zat tanahnya milik negara muslim tentunya yang benar, bukan negeri yang hari ini kongkalikong atau malah main mata dengan israel tadi, pungkasnya.[]Tari Handrianingsih

0 Komentar